Kendari (ANTARA) - Oleh:
Laode Azizul Kadir
Ketua Kemaritiman PP Pemuda Muhammadiyah
Langkah Pemerintah Indonesia mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, merupakan sinyal positif yang perlu diapresiasi secara kritis.
Di tengah meningkatnya desakan untuk mempercepat transisi energi berbasis nikel, langkah ini menjadi angin segar bagi masa depan lingkungan hidup Indonesia yang kian terdesak oleh logika ekstraksi. Namun lebih dari itu, pencabutan ini menyentuh persoalan mendasar tentang keadilan ekologis, kedaulatan sumber daya alam, dan konstitusionalitas perlindungan lingkungan hidup.
Raja Ampat: Surga Biodiversitas yang Terancam
Raja Ampat bukan hanya gugusan kepulauan eksotis, melainkan kawasan dengan biodiversitas laut tertinggi di dunia. Wilayah ini menyimpan lebih dari 1.500 spesies ikan, 600 jenis terumbu karang, dan menjadi rumah penting bagi spesies endemik, serta ekosistem hutan hujan tropis yang menjaga keseimbangan iklim lokal maupun global. Ketika wilayah seindah dan sepenting ini diberikan kepada korporasi tambang, maka jelas yang dikorbankan bukan hanya keindahan alam, melainkan masa depan ekologi Indonesia.
Keadilan Ekologis: Hak Alam dan Generasi Mendatang
Pencabutan IUP di Raja Ampat harus dipandang dalam bingkai keadilan ekologis, sebuah gagasan yang berkembang dari gerakan keadilan lingkungan (environmental justice) dan teori kritis lingkungan hidup. Dalam perspektif ini, alam bukan sekadar objek eksploitasi ekonomi, melainkan subjek yang memiliki nilai intrinsik—yang berhak dilindungi dari kehancuran sistematis.
Menurut Vandana Shiva, seorang ekologis dan filsuf asal India, "kekayaan alam bukan untuk dikuasai, tetapi untuk dirawat dan diwariskan." Dalam konteks ini, pencabutan IUP bukan hanya melindungi hutan dan laut, tetapi juga bentuk pengakuan terhadap hak-hak ekologis, yakni hak sungai untuk tetap mengalir, hak hutan untuk tetap hidup, dan hak spesies lain untuk tetap ada.
Teori Keadilan Ekologis menyatakan bahwa kebijakan pembangunan harus adil tidak hanya bagi manusia saat ini, tetapi juga bagi seluruh makhluk hidup lintas generasi. Maka keputusan pemerintah mencabut IUP menjadi cermin keberpihakan terhadap prinsip intergenerational justice—keadilan bagi generasi mendatang yang juga berhak menikmati bumi yang sehat dan lestari.
Landasan Konstitusional: Pasal 33 UUD 1945 dan Amanat Ekologis
Langkah pencabutan IUP juga selaras dengan konstitusi Republik Indonesia, khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Namun makna “kemakmuran” di sini bukan sekadar keuntungan ekonomi jangka pendek, melainkan keseimbangan antara nilai ekonomi, sosial, dan ekologis. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013, MK menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus didasarkan pada prinsip keberlanjutan, keadilan, dan keterlibatan masyarakat.
Lebih lanjut, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan negara untuk melakukan penegakan hukum lingkungan, termasuk dalam hal pencabutan izin jika terbukti mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat. Maka pencabutan IUP bukanlah tindakan sewenang-wenang, melainkan tindakan konstitusional yang selaras dengan mandat hukum.
Dari Ekonomi Ekstraktif ke Ekonomi Regeneratif
Pembangunan ekonomi Indonesia selama ini masih terjebak dalam model ekstraktif: mengeksploitasi sumber daya alam mentah untuk kepentingan jangka pendek. Nikel, yang disebut-sebut sebagai “logam masa depan” karena dibutuhkan untuk baterai kendaraan listrik, seolah menjadi pembenar baru bagi pertambangan masif di berbagai wilayah, termasuk Papua.
Namun kita harus bertanya: pembangunan untuk siapa? Apakah masyarakat adat di Raja Ampat mendapat manfaat dari pertambangan itu? Atau justru mereka menjadi korban penggusuran, kehilangan ruang hidup, dan tercemar lingkungannya?
Di sinilah pentingnya pergeseran paradigma menuju ekonomi regeneratif, yakni model pembangunan yang tidak hanya “mengurangi kerusakan”, tetapi juga secara aktif memulihkan ekosistem, memperkuat masyarakat lokal, dan menciptakan nilai tambah berkelanjutan.
Sejalan dengan itu, Teori Pembangunan Berkelanjutan mengajarkan bahwa pembangunan harus memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Maka, mencabut IUP tambang yang merusak kawasan lindung seperti Raja Ampat adalah bentuk nyata dari implementasi prinsip pembangunan berkelanjutan.
Peran Masyarakat Adat dan Demokrasi Ekologis
Dalam banyak kasus di Indonesia, masyarakat adat adalah pihak pertama yang merasakan dampak buruk dari tambang. Mereka kehilangan tanah ulayat, sumber air, dan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Oleh karena itu, demokrasi ekologis—konsep yang diperjuangkan oleh aktivis lingkungan seperti Naomi Klein—menegaskan pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup.
Pemerintah harus menjadikan masyarakat adat sebagai subjek dalam kebijakan, bukan sekadar objek yang harus diberi kompensasi. Dalam kasus Raja Ampat, banyak tokoh adat dan pemuda lokal yang selama ini konsisten menolak tambang demi menjaga tanah leluhur. Pencabutan IUP adalah juga kemenangan suara akar rumput.
Dari Pencabutan Menuju Pemulihan
Namun, pencabutan IUP tidak boleh berhenti sebagai keputusan administratif. Harus ada rencana pemulihan ekologis (ecological restoration) yang jelas dan terukur. Kawasan yang sempat dirambah untuk eksplorasi tambang harus direhabilitasi. Hak masyarakat adat harus dipulihkan. Dan kawasan Raja Ampat perlu ditetapkan sebagai wilayah bebas tambang (mining-free zone) untuk selamanya.
Sebagaimana dikatakan oleh Emil Salim, tokoh lingkungan hidup Indonesia, “Lingkungan hidup yang sehat adalah hak setiap warga negara, dan negara berkewajiban untuk menjaganya.” Maka, langkah pencabutan IUP ini harus dilanjutkan dengan komitmen kebijakan yang lebih luas—moratorium tambang di wilayah ekologis penting, revisi RTRW yang lebih ekologis, dan investasi pada energi terbarukan yang tidak merusak bumi.
Penutup: Sebuah Awal yang Layak Dirayakan
Pencabutan IUP nikel di Raja Ampat adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih adil secara ekologis. Ini adalah momen untuk mengoreksi arah pembangunan nasional agar berpijak pada nilai-nilai keberlanjutan, keadilan, dan partisipasi rakyat. Keputusan ini tidak hanya menyelamatkan bentang alam Raja Ampat, tetapi juga memberi harapan bahwa negara masih mungkin berpihak pada bumi.
Mari kita jaga momentum ini. Karena bumi bukan warisan nenek moyang yang bisa diambil sesuka hati, tetapi titipan dari anak cucu yang harus kita kembalikan dalam keadaan utuh dan lestari.