Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta pada 6 dan 7 Maret 2016 akan membahas persoalan Palestina dan Yerusalem memiliki arti strategis di tengah perpecahan meluas negara-negara Islam di Timur Tengah yang tidak menguntungkan perjuangan Palestina.
Perpercahan itu terkait dengan konflik Suriah, hubungan Saudi-Iran, dan gesekan Turki-Irak. Akibat pertikaian itu isu kemerdekaan Palestina menjadi agak terabaikan dunia Islam. Maka, Israel kemudian dengan leluasa menjarah tanah Palestina serta menindas warga sipilnya.
Penembakan Israel terhadap warga sipil Palestina, terutama di Tepi Barat yang dekat dengan Yerusalem hampir terjadi tiap hari. Tanah milik Palestina di kawasan Yerusalem dan Tepi Barat setiap waktu diambil alih secara paksa oleh rezim Zionis Israel.
Di sisi lain permukiman Yahudi yang didirikan di atas tanah milik bangsa Palestina di wilayah pendudukan menjadi rintangan serius bagi usaha mencapai perdamaian.
Sementara itu, Piagam PBB secara spesifik menyatakan tidak sah perebutan wilayah dengan kekerasan, dan Konvensi Jenewa Ke-4 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Masa Perang pada 1949 secara khusus melarang kekuatan pendudukan agar tidak memindahkan bagian dari penduduknya sendiri ke wilayah yang didudukinya.
Israel terus-menerus melanggar kedua perjanjian internasional itu. Sejak 1967 Israel menduduki Jerusalem Timur Arab, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur Gaza melalui tindak kekerasan dan pada saat yang sama terus mendirikan permukiman-permukiman Yahudi di semua wilayah tersebut.
Gelombang pencaplokan tanah Palestina melalui invasi pemukim Yahudi ilegal di Tepi Barat terus meningkat. Saat ini sudah mencapai 406 ribu lebih pemukim Yahudi yang tinggal Tepi Barat dan Jerusalem.
Fakta ini disampaikan mantan Anggota Knesset Yaakov Katz, Sabtu (20/2). Yaakov menyatakan bahwa permukiman Israel tersebar di 11 blok permukiman, dan yang terbesar terletak di Lembah Yordan, sedangkan yang paling padat penduduknya adalah permukiman blok Benjamin.
Hanya dalam dua tahun terakhir telah terjadi peningkatan lebih 4,4 persen dalam jumlah pemukim di Tepi Barat. Di samping 350.000 pemukim yang telah menetap di 20 blok permukiman di Yerusalem Timur.
Jumlah pemukim di Tepi Barat yang diduduki diperkirakan akan mencapai 1,2 juta pada 2036. Jumlah ini membengkak drastis. Pada 1948 hanya ada tujuh komunitas Yahudi di tanah-tanah yang diduduki sejak 1967, dan pemilikan tanah Yahudi paling hanya satu persen di daerah-daerah itu.
Perkembangan ini jelas menunjukkan Israel mengabaikan sama sekali hukum internasional dan tekanan dunia internasional.
Bahkan sekutu paling dekat Israel, yakni Amerika Serikat dari mulai Presiden Nixon di tahun 1960-an hingga Barack Obama di tahun 2016 ini tetap menegaskan Yerusalem bukan bagian dari Israel dan menentang klaim Israel atas wilayah-wilayah yang diduduki pada 1967.
Mereka menyebut pendudukan itu pelanggaran atas Piagam PBB dan Konvensi Jenewa Ke-4 tentang Perlindungan terhadap Orang-orang Sipil di Masa Perang dan karenanya tidak sah. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil posisi serupa.
Duta Besar AS untuk PBB pada masa pemerintahan Presiden Gerald Ford, William W. Scranton menyatakan pada Dewan Keamanan pada 23 Maret 1976 bahwa permukiman-permukiman Israel di wilayah-wilayah pendudukan adalah tidak sah dan bahwa klaimnya atas seluruh Jerusalem tidak berlaku.
Konvensi Jenewa ke-4 juga membicarakan secara langsung masalah pemindahan penduduk dalam Artikel 49 dengan menyebutkan bahwa penguasa pendudukan tidak boleh mendeportasikan atau memindahkan bagian-bagian dari penduduknya sendiri ke dalam wilayah yang didudukinya.
Presiden AS Jimmy Carter adalah pemimpin AS yang paling sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan mengenai tentangan AS terhadap permukiman Yahudi di bumi Palestina.
Baik Presiden Carter maupun menteri luar negerinya, Cyrus Vance berbicara secara terbuka dan menyatakan permukiman-permukiman Israel adalah tidak sah.
Pada 21 April 1978, penasihat hukum Kementerian Luar Negeri AS Herbert Hansell secara resmi mengemukakan posisi hukum Washington, dengan mengatakan bahwa permukiman-permukiman itu tidak sesuai dengan hukum internasional. Opini itu juga menegaskan bahwa Konvensi Jenewa Ke-4 berlaku untuk Tepi Barat dan Gaza.
Hampir semua komunitas Internasional juga sepakat bahwa Yerusalem Timur adalah hak sah dari Palestina dan mengecam pencaplokan Israel, sehingga Uni Eropa menjatuhkan sanksi atas tindakan ilegal Israel.
Sikap yang sama dilakukan oleh Rusia Network seperti Tiongkok. Berbicara untuk pertama kalinya di markas Liga Arab di Mesir awal 2016, Presiden Xi Jinping menekankan bahwa masalah Palestina perlu diprioritaskan.
"China dengan tegas mendukung proses perdamaian Timur Tengah dan mendukung pembentukan Negara Palestina. Bangsa Palestina harus menikmati kedaulatan penuh atas dasar perbatasan tahun 1967 dan dengan Yerusalem Timur sebagai Ibu kotanya," ujar Presiden Xi di depan para delegasi Liga Arab, Jumat (22/1/2016), seperti dikutip Russia Today.
Dengan uraian di ata jelas bahwa Yerusalen dan Tepi Barat adalah bagian dari Palestina dan bukan bagian Israel. Karena itu pula sampai saat ini hampir tidak ada perwakilan diplomatik asing untuk Israel yang berkantor di Yerusalem.
Tapi persoalannya Israel terang benderang mengabaikan dengan mengusir warga Palestina di daerah tersebut dengan mendirikan permukiman-permukiman Yahudi. Bahkan kantor resmi PM Israel beralamat di Yerusalem.
Kini dengan jelas bahwa tekanan diplomatik dunia internasional tak efektif memengaruhi Israel. Satu-satunya jalan efektif adalah penggunaan kekuatan, tapi pasti dihalangi sekutu utama Israel, terutama Amerika.
Lagi pula kekuatan militer Israel di atas kertas berada di atas angin. Adalah Mordechai Vanunu yang "menjual" kisahnya kepada surat kabar Inggris Sunday Times pada Oktober 1986. Vanunu melaporkan bahwa Israel sedikitnya memiliki 100 hingga 200 senjata nuklir.
Dengan demikian Israel dapat dimasukkan sebagai negara pemilik nuklir terbesar abad 20. Tidak ada yang menyanggah pernyataan Vanunu. Namun, Vanunu berhasil ditangkap pihak berwenang Israel dan dijatuhi hukuman penjara 20 tahun.
Dari paparan tersebut, dunia tertama PBB kini harus membuka mata bahwa Israel dengan pemilikan senjata nuklirnya merupakan ancaman nyata bagi perdamaian dunia, terutama kawasan Timur-Tengah.
Bila PBB terutama Amerika selama ini hanya mempersoalkan Iran yang masih mengembangkan nuklir di tingkat permulaan. Kini saatnya juga perlu lebih memberikan perhatian untuk melucuti persenjataan nuklir Israel yang telah berkembang begitu besar.
Dengan penumpukan kekuatan begitu besar, wajar kemudian Israel berani melanggar hukum internasional dan mengabikan tekanan dunia. Tetapi sayang di tengah ketidakseimbangan itu dunia Islam justru semakin mengalamai perpecahan yang parah.
Menarik juga untuk diamati bahwa negara-negara yang dimusuhi Oleh Saudi dan Turki terkadang juga Qatar adalah negara garis keras yang tidak mau mengakui Israel seperti Libya, Suriah, Yaman, Iran dan Irak.
Sementara negara-negara Arab yang "dekat" dengan Israel seperti Mesir, Yordania dan Maroko malah nisbi aman tak terusik. Suriah adalah negara Arab garis depan perang melawan Israel 1967 dan 1973 dan konsisten tidak mau mengikuti jejak Mesir dan Yordania yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Suriah juga satu-satunya negara Arab yang secara terbuka memberikan dukungan pada Hammas yang Sunni dalam melakukan perlawanan Israel dengan menyediakan negara sebagai Markas perjuangan Hammas.
Tetapi negara dan kelompok perlawanan anti-Israel seperti Suriah, Libya, dan Ikhwanul Muslimin sekarang ini kian lemah karena intervensi yang melibatkan beberapa negara OKI sendiri.
Kini, di tengah kemelut negara-negara muslim di Timur Tengah, maka KTT Luar Biasa OKI Jakarta yang memiliki anggota 57 negara dan peninjau seperti Rusia menjadi penting.
KTT Luar Biasa OKI memang "luar biasa" karena dengan mengangkat isu Palestina dan Yerusalem pertemuan itu diharapkan bisa mendorong internal OKI ke front yang sama serta membantu mengurangi perpecahan akibat adanya beberapa negara yang yang mulai condong ke Israel.
Tentu saja apa yang harus diputuskan oleh KTT OKI ini menjadi penting untuk dikaji secara serius serta jangan hanya seremonial dan kesepakat di atas kertas.
KTT OKI di Jakarta harus membuka semua Opsi agar Israel menarik diri dari tanah Palestina yang didudukinya dan menghentikan pembantaian atas rakyat Palestina. Opsi Militer walaupun berat harus dipertimbangkan, paling tidak untuk menggertak Israel.
Pilihan lain adalah segera mengultimatum Israel dengan tenggat waktu yang terukur agar Israel kembali ke posisi sebelum 1967 serta menekankan pentingnya penghapusan program nuklir Israel.
Opsi yang juga ekstrem, OKI harus memutuskan agar semua negara anggotanya segera memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel. Dengan kata lain melakukan embargo yang meluas terhadap Israel.
Daya tonjok kepada Israel akan semakin kuat apabila juga diikuti dengan menekan Dewan Keamanan PBB supaya menerapkan sanksi "No-Fly Zone" kepada Israel.
Berikutnya adalah menyiapkan tim gabungan pengacara Internasional untuk menyeret para pemimpin Israel ke Mahkamah Internasional atas tuduhan kejahatan kemanusiaan pada rakyat Palestina.
Jika itu semua dilakukan, maka OKI akan memberikan konstribusi besar dalam penyelesaian masalah Yerusalem dan Palestina.
*) Penulis adalah Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)