Jakarta (ANTARA) - Puluhan ribu pekerjaan hilang, industri lokal tertekan, dan target pertumbuhan delapan persen per tahun tampak seperti mimpi di atas kertas.
Target ambisius Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pun menjadi ujian nyata: apakah Indonesia mampu menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045 jika daya saing industrinya rapuh?
Fakta menunjukkan bahwa posisi Indonesia dalam IMD World Competitiveness Ranking 2025 menurun drastis, dari posisi 27 menjadi 40 dari 69 negara, sementara di ASEAN kita tertinggal di belakang Singapura dan Thailand.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm bahwa pengawasan terhadap kualitas produk dan regulasi industri harus menjadi prioritas utama.
Sejarah membuktikan kekuatan industrialisasi. Menurut Bank Dunia pada 1980–1990-an, manufaktur meningkat dari 13 persen menjadi 27 persen Produk Domestik Bruto (PDB), menjadikan Indonesia bagian dari “East Asian Miracle”.
Namun krisis 1997 memutus jalur ini. Liberalisasi IMF mendorong modal beralih ke ekspor komoditas mentah, dan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sejak awal 2000-an bahwa kontribusi manufaktur turun ke 18 persen PDB pada 2022.
Kini, pemerintah mendorong hilirisasi, misalnya larangan ekspor bijih nikel sejak 2020. Subsektor logam dasar memang tumbuh 14 persen per tahun, tetapi dampak sosial dan lingkungan tidak bisa diabaikan: pekerja lokal tersisih, kecelakaan kerja berulang, kerusakan ekosistem, dan keuntungan terkonsentrasi pada segelintir oligarki.
Hilirisasi tidak boleh menjadi tujuan akhir; ia hanya titik awal menuju industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan.
Standar Jadi Kunci
Salah satu penyebab utama melemahnya daya saing adalah lemahnya pengawasan standar. Banjir produk impor murah, terutama dari China, telah menyebabkan lebih dari 500 ribu pekerja sektor tekstil kehilangan pekerjaan sejak 2023.
Banyak produk yang beredar tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), merugikan industri lokal yang mematuhi aturan.
Pengawasan SNI memiliki dasar hukum kuat, meliputi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, berbagai Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri Perindustrian.
Mekanismenya terbagi dua, yaitu pertama, pengawasan produk yang dilakukan di pabrik atau pasar melalui dokumen dan uji petik; serta kedua, pengawasan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), dilakukan minimal setahun sekali atau berdasarkan laporan masyarakat untuk memastikan kompetensi dan integritas dalam menerbitkan sertifikasi.
Hasil nyata pengawasan membuktikan efektivitasnya. Tingkat kepatuhan produk meningkat dari 65,3 persen pada 2022 menjadi 90,01 persen pada 2023.
Dari 113 merek yang diawasi pada 2024, 21 merek dilimpahkan ke Penyidik Pegawai Negeri Sipil karena dugaan pelanggaran tindak pidana. Contohnya, 15.000 kg bubuk kakao impor, 120.000 kg Rockwool merek, dan 6.047 unit alat pemadam api portabel disita karena tidak sesuai SNI dan diekspor kembali atau diproses penyidikan.
Pengawasan terhadap LPK juga menghasilkan pencabutan puluhan sertifikat SNI untuk produk peralatan makan impor.
Langkah ini menegaskan bahwa SNI adalah alat strategis untuk melindungi pasar domestik dan meningkatkan daya saing industri.
Namun, pengawasan tidak bisa dilakukan satu kementerian saja karena lemahnya sinergi lintas lembaga dan tumpang tindih regulasi membuat produk ilegal tetap masuk pasar.
Kolaborasi antara Kemenperin, BSN, Bea dan Cukai, serta Kementerian Perdagangan menjadi krusial. Partisipasi masyarakat dan asosiasi industri juga dapat memperkuat ekosistem pengawasan, menjadikan standar bukan sekadar aturan administratif, tetapi alat strategis untuk menghadapi persaingan global.
Pengawasan untuk Masa Depan
Pengawasan efektif menjadi fondasi pertumbuhan yang tangguh. Diversifikasi manufaktur akan lebih realistis bila produk lokal mendapat perlindungan dari kompetisi tidak sehat.
Sektor tekstil, elektronik, dan otomotif ringan bisa tumbuh optimal bila ada pengawasan yang mencegah masuknya barang ilegal. Strategi pengawasan juga harus mengadopsi inovasi regulasi, digitalisasi sertifikasi, dan risk-based approach agar industri tidak dibebani prosedur yang kaku.
Pengalaman internasional menguatkan argumen ini. Arturo Bris, Direktur Pusat Daya Saing Dunia (IMD), menekankan, “Dalam dunia yang terfragmentasi, penting bagi sektor publik dan swasta untuk bekerja sama.” Ia menyatakan efisiensi pemerintah menjadi kunci mempertahankan daya saing di tengah persaingan global.
Senada, William Milner, Direktur Asosiasi IMD, menambahkan bahwa negara yang berhasil meningkatkan daya saing adalah mereka yang mampu beradaptasi melalui kebijakan inovatif dan kolaboratif.
Pendapat kedua ahli ini menegaskan bahwa pengawasan efektif dan sinergi antar sektor bukan pilihan, tetapi kebutuhan mutlak.
Vietnam menjadi contoh yang relevan. Negara ini berhasil menggabungkan insentif investasi asing dengan penguatan kapasitas industri lokal, sebagian karena kepastian regulasi dan standar yang konsisten.
Indonesia dapat mencontoh model ini dengan memadukan standar nasional ketat, dukungan riset, insentif teknologi, dan perlindungan bagi UMKM agar naik kelas.
Hilirisasi dan diversifikasi industri tetap penting, tetapi tanpa pengawasan yang efektif, strategi tersebut bisa runtuh.
Standar adalah pengawal daya saing yang memastikan produk lokal mampu bersaing, tenaga kerja terlindungi, dan pertumbuhan ekonomi inklusif.
Mimpi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar angka target, melainkan hasil nyata dari pengawasan, regulasi, dan sinergi lintas sektor yang kuat.
*) Rioberto Sidauruk adalah tenaga ahli di Komisi VII DPR RI yang membidangi industri, UMKM, ekonomi kreatif dan Lembaga Penyiaran Publik

