Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian memanfaatkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menyiapkan strategi dalam menghadapi ancaman La Nina.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi dalam Rakornas Antisipasi La Nina yang dipantau daring di Jakarta, Jumat, mengatakan pihaknya melakukan langkah pencegahan mulai dari memperbaiki saluran irigasi, mengajarkan petani menerapkan budi daya yang baik hingga menggunakan konsep sistem peringatan dini (early warning system) sebagai antisipasi.
"Sektor pertanian juga kena dampak La Nina yaitu banjir di lahan-lahan sawah. Tapi, kami berupaya untuk meminimalisir. Sebagaimana konsepnya Pak Menteri (Syahrul Yasin Limpo), setiap puso harus dikompensasi di tempat lain. Juga setelah banjir selesai harus tanam lagi," katanya.
Suwandi menyebutkan sejumlah strategi yang dilakukan Kementan untuk menghadapi ancaman La Nina.
Pertama, yaitu melakukan pemetaan daerah langganan banjir. Kementan pun telah menyiapkan asuransi bagi lahan yang kena banjir.
"Kami juga lakukan early warning system dan kami pantau rutin data dari BMKG," katanya.
Kementan juga memaksimalkan brigade yang sudah di-briefing mulai dari simulasi bagaimana jika terjadi banjir, menyiapkan pompa dan benih sehingga ada langkah meminimalisir puso.
"Brigade ini lengkap, mulai dari hama, kekeringan, banjir, maupun menyerap hasil panen jika kadar air tinggi karena kena hujan," ujarnya.
Kementan juga menyiapkan pompa-pompa untuk menyedot air jika terjadi banjir. Sebaliknya, jika terjadi kekeringan, maka pompa digunakan untuk mengisi lahan sawah dari air sungai. Selain itu, juga dilakukan rehabilitasi saluran air.
"Untuk musim hujan, sudah disiapkan benih-benih tahan genangan, yang mana sampai 15 hari tergenang masih aman. Misalnya Inpara 1-10, Inpari 29, Inpari 30 dan Ciherang," katanya.
Petani juga bisa mengajukan klaim asuransi jika mengalami puso dengan besaran Rp6 juta per hektare. Jika tidak diasuransikan, pemerintah akan membantu memberikan benih gratis.
Di sisi hilir, Kementan juga mencari lokasi-lokasi lain di luar itu untuk kompensasi daerah banjir. Begitu pula aspek hilir mulai dari harga jatuh hingga ketersediaan alat agar produksi bisa terjaga dan ketahanan pangan bisa diwujudkan di setiap daerah.
Mengutip data BMKG, NOAA, dan International Research Institute for Climate and Society pada 2021, Suwandi menjelaskan kejadian El Nino paling berat dihadapi Indonesia pada 2015.
Sementara itu, La Nina datang pada 2016-2018. Meski berdampak buruk karena menyebabkan banjir di lahan sawah, Suwandi mengatakan La Nina bisa dibilang jadi momentum yang ditunggu-tunggu petani karena membuat produksi lebih baik dengan pasokan air yang melimpah.
"Pada 2020 akhir masih ada La Nina walaupun lemah. Kondisi sekarang dan proyeksi hingga Juni 2022 sebenarnya normal, tapi di bulan sekarang sudah La Nina meski skalanya lemah," pungkas Suwandi.