Jakarta (ANTARA) - Di berbagai belahan dunia, diskursus mengenai kenaikan upah minimum sering kali menjadi bahan perdebatan terutama dari sisi kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dan kekhawatiran atas dampaknya terhadap stabilitas ekonomi.
Di Indonesia, isu ini menjadi sangat relevan ketika Presiden Prabowo resmi mengumumkan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2025 naik sebesar 6,5 persen pada Jumat, 29 November 2024.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) sendiri menyambut gembira kebijakan kenaikan upah minimum yang diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo itu.
Bahkan KSPSI sempat bertemu langsung dengan Presiden membahas perkara substantif dan produktif tersebut.
Ketua Umum KSPSI Jumhur Hidayat setelah bertemu Presiden mengatakan bahwa hasil pertemuan dengan Presiden sangat menggembirakan, karena kenaikan upah minimum yang ditetapkan sudah memadai. Apalagi untuk Upah Minimum Sektoral juga diberlakukan dengan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Di sisi lain, Pemerintah juga akan menghadirkan beberapa kebijakan yang mendukung bergairahnya sektor industri dengan menindak tegas pelaku masuknya barang-barang impor ilegal dan juga membatasi impor barang-barang yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
Dengan kebijakan itu, maka permintaan pasar dalam negeri akan meningkat. Artinya, kegiatan industri padat karya akan beroperasi dalam keadaan kapasitas terpasang yang penuh.
Namun terkait kenaikan upah buruh, studi-studi empiris yang telah dilakukan di Indonesia menunjukkan hasil yang tidak selalu positif, sehingga kenaikan UMP harus benar-benar dipahami implikasinya secara menyeluruh karena mengandung kompleksitas dalam berbagai dimensi.
Sebuah penelitian oleh Rahmi dan Riyanto (2022) yang dipublikasikan dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik mengungkap dampak upah minimum terhadap produktivitas tenaga kerja di industri manufaktur Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan adanya spillover effect dari kenaikan upah minimum terhadap peningkatan upah pekerja, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Temuan ini mengindikasikan bahwa kebijakan upah minimum dapat digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor manufaktur.
Namun, dampak kenaikan upah minimum tidak selalu positif. Studi oleh SMERU Research Institute (2001) menemukan bahwa kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor formal perkotaan, terutama bagi pekerja perempuan, muda usia, dan berpendidikan rendah.
Elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap upah minimum ditemukan sebesar -0,112, yang berarti setiap kenaikan 10 persen dalam upah minimum riil dapat mengurangi penyerapan tenaga kerja sebesar 1,12 persen.
Penelitian lain oleh Sholeh (2005) yang diterbitkan dalam Jurnal Ekonomi dan Pendidikan menganalisis dampak kenaikan UMP terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan upah secara positif berdampak terhadap kesempatan kerja. Artinya, peningkatan upah dapat mendorong peningkatan kesempatan kerja di daerah tersebut.
Selain itu, disertasi oleh Indria Nurhakim (2015) dari Universitas Indonesia mengkaji dampak implementasi kebijakan upah minimum terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Kota Tangerang Selatan.
Dalam kajian ini menemukan bahwa UMKM menghadapi kesulitan dalam memenuhi ketentuan upah minimum, yang dapat mempengaruhi keberlanjutan usaha mereka.
Berdasarkan studi-studi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kenaikan UMP sebesar 6,5 persen pada 2025 memiliki implikasi yang kompleks.
Di satu sisi, kenaikan upah dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan kesempatan kerja di sektor tertentu.
Namun, di sisi lain, hal ini dapat mengurangi penyerapan tenaga kerja di sektor formal perkotaan dan menimbulkan tantangan bagi UMKM dalam memenuhi ketentuan upah minimum.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan pendukung yang komprehensif untuk memitigasi dampak negatif dari kenaikan upah minimum.
Langkah-langkah seperti pelatihan keterampilan bagi pekerja berpendidikan rendah, insentif bagi UMKM, dan dialog sosial antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja menjadi krusial dalam memastikan bahwa kebijakan upah minimum mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan kesejahteraan pekerja tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja.
Karena, pada prinsipnya kenaikan UMP sebesar 6,5 persen pada 2025 merupakan langkah yang secara teori bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah kondisi perekonomian yang tidak pasti.
Dua Dimensi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahunan (year-on-year) Indonesia pada September 2024 tercatat sebesar 1,84 persen, menurun dari 2,12 pereen pada Agustus 2024. Dengan demikian, kenaikan UMP kemudian dianggap cukup untuk memberikan ruang hidup yang layak bagi buruh.
Namun, apakah kebijakan ini benar-benar akan memberikan dampak positif yang signifikan, atau justru memunculkan tantangan baru bagi dunia usaha?
Secara prinsip, kenaikan UMP memiliki dua dimensi utama yakni dimensi sosial dan ekonomi. Dari sisi sosial, kenaikan ini merupakan bentuk pengakuan atas kebutuhan dasar hidup layak bagi pekerja, yang terus meningkat seiring inflasi dan urbanisasi.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, biaya hidup telah melampaui standar UMP saat ini, memaksa banyak buruh untuk bekerja lebih lama atau mencari pekerjaan tambahan demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Kenaikan 6,5 persen dapat sedikit meringankan beban tersebut, meskipun belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan mendasar tentang kesenjangan upah yang tinggi di Indonesia.
Namun, dari sisi ekonomi, dampaknya tidak sesederhana itu. Dalam konteks perusahaan kecil dan menengah (UMKM), yang menyumbang lebih dari 60 persen produk domestik bruto (PDB) nasional, kenaikan upah sering kali menjadi beban tambahan yang sulit diatasi.
Kenaikan upah minimum di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, ditengarai dapat mengurangi tingkat profitabilitas UMKM dalam jangka pendek, terutama di sektor manufaktur dan perdagangan.
Hal ini sering kali memaksa pelaku usaha untuk melakukan efisiensi tenaga kerja atau bahkan mengalihkan biaya tambahan kepada konsumen, yang pada akhirnya dapat mempercepat laju inflasi.
Fenomena ini menciptakan kontradiksi, di satu sisi, kebijakan upah minimum bertujuan meningkatkan kesejahteraan buruh, tetapi di sisi lain, kebijakan ini dapat memperburuk tingkat pengangguran, terutama di sektor informal.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa kenaikan upah minimum tidak otomatis meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Peneliti Ekonomi dari Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, Maghfiroh dan Widiyanto dalam Economic Education Analysis Journal pada 2020 menulis tentang Pengaruh Upah, Pendidikan Dan Pelatihan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Industri Shutllecock.
Peneliti mencatat bahwa dampak positif kenaikan upah terhadap produktivitas hanya terjadi jika kebijakan tersebut diiringi dengan investasi pada pelatihan dan pengembangan keterampilan tenaga kerja.
Di Indonesia, perhatian terhadap aspek ini masih terbatas. Anggaran pelatihan tenaga kerja, terutama bagi buruh sektor informal, sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Akibatnya, kenaikan upah cenderung hanya menjadi beban biaya tanpa memberikan keuntungan jangka panjang dalam bentuk peningkatan kualitas tenaga kerja.
Selain tantangan domestik, ada pula implikasi global yang harus diperhatikan. Dalam era globalisasi, perusahaan multinasional semakin sensitif terhadap struktur biaya di berbagai negara.
Kenaikan UMP sebesar 6,5 persen dapat mempengaruhi daya saing Indonesia sebagai destinasi investasi, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam atau Filipina, yang menawarkan upah buruh lebih rendah dengan produktivitas yang lebih tinggi.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat mempengaruhi strategi investasi perusahaan-perusahaan asing, yang mungkin memilih untuk relokasi ke negara-negara dengan struktur biaya yang lebih kompetitif.
Kendati demikian, kenaikan upah minimum tidak seharusnya hanya dilihat sebagai beban. Dalam jangka panjang, peningkatan daya beli buruh dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi domestik.
Kuncinya adalah menciptakan keseimbangan antara kepentingan buruh dan pengusaha melalui dialog sosial yang inklusif dan berbasis data.
Maka kemudian, kenaikan UMP sebesar 6,5 persen pada 2025 merupakan kebijakan yang penuh tantangan, tetapi juga membuka peluang besar jika dikelola dengan baik.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berfokus pada angka kenaikan, tetapi juga pada strategi pendukung, seperti pemberian insentif bagi UMKM, penguatan pelatihan tenaga kerja, dan pengendalian inflasi.
Tanpa pendekatan holistik, kebijakan ini berisiko menjadi pedang bermata dua yang menguntungkan sebagian pihak tetapi merugikan pihak lainnya.
Pelajaran dari praktik global menunjukkan bahwa keseimbangan antara kesejahteraan buruh dan daya saing ekonomi adalah kunci keberhasilan kebijakan upah minimum, dan Indonesia tidak boleh mengabaikan hal ini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Implikasi dan kompleksitas kenaikan UMP 6,5 persen