Jakarta (ANTARA) - Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengatakan, meski digitalisasi saat ini semakin marak, perseroan tidak akan meninggalkan nasabah non milenial yang sudah belasan atau bahkan puluhan tahun menjadi nasabah.
"Kalau BCA kan nasabah kita dari tahun 1957 kita berdiri, ada yang puluhan tahun lebih jadi nasabah. Jadi isinya itu masyarakat umum yang terdiri dari para milenial pasti ada, tapi kita juga memiliki banyak sekali senior milenial. Mereka ini yang relatively kadang-kadang agak gaptek. Ini harus ada dua market yang kita layani," ujar Jahja dalam seminar daring The Finance bertajuk "How can digitalization hep financial sector coping with crisis & COVID-19 impact" di Jakarta, Kamis.
Jahja menuturkan, memang kini adalah masa teknologi dan digitalisasi.
Namun, lanjutnya, ada hal yang paling penting yaitu bagaimana bank terus meningkatkan edukasi kepada nasabah non milenial namun sembari tetap terus melayaninya. BCA sebelumnya telah memiliki fasilitas internet banking, fasilitas yang lebih senang digunakan oleh kaum non milenial karena produknya yang tidak sering berubah.
"Namun di sisi lain, kita punya produk yang kita katakan mobile banking download apps dan di situ banyak sekali variasi untuk new things. Ini lah yang disenangi oleh para milenial. jadi ada dua market yang harus kita capture, harus kita bisa layani," kata Jahja.
Ia menceritakan pengalamannya soal edukasi kepada para kaum non milenial. Salah seorang teman lamanya di Perth, Australia, meminta dirinya mengirimkan token yang baru karena token lama yang ia pakai untuk bertransaksi via internet banking rusak.
"Saya bilang saya bisa kirim langsung tapi logistiknya saya tidak bisa jamin kapan diterima di Perth. Akhirnya saya bilang mau gak coba m-banking BCA, nanti dari contact centre akan hubungi anda, dia bilang oke boleh coba," katanya.
"Saya minta Halo BCA untuk kontak lalu dibantu untuk download mobile banking berupa apps. Lalu dia pake. Besokan saya tanya lagi perlu gak saya kirim, dia bilang oh gak usah ini mobile banking enak bisa saya pake. Ini satu bukti nyata senior milenial pun kalau dapat edukasi mencoba itu gak susah juga, mereka pasti bisa menggunakan produk yang diminati oleh para milenial," tutur Jahja.
Terkait pandemi sendiri, Jahja mengatakan dampaknya memang dirasakan oleh perbankan yang sulit mengembangkan kredit karena para merchant atau para pedagang tidak bisa berjualan sehingga akhirnya pun tidak melakukan peminjaman.
"Kredit kan namanya kredit modal kerja, kredit investasi. Kredit investasi itu jelas setiap bulan disetor ulang, dikembalikan ke bank dan outstandingnya menurun terus. Kemudian kredit modal kerja, kalau barang yang dijual menciut, kredit moda kerja pun kebutuhannya menciut. Buat apa mereka kredit gede-gede bayar bunga, biarpun bunganya murah, tetap namanya bunga adalah cost. Ini lah yang menjadi dilematis," ujarnya.
Ke depan, ia meyakini dengan adanya vaksin pada 2021 perekonomian akan membaik, meski tidak akan pulih seperti sebelum terjadinya pandemi COVID-19. Oleh karena itu, digitalisasi layanan jasa keuangan menjadi krusial agar industri bisa terus bertahan dan bertumbuh.
"Kita akan masuk ke new normal, suatu normal yang baru di mana kapasitas belum bisa full seperti sebelum covid tapi jauh lebih baik dari masa-masa pandemi 2020 ini. Itu harapan kita. Artinya semua sistem digitalisasi ini harus kita kembangkan dan berani invest di sini dan berani educate nasabah kita untuk masuk ke sini. Dan jangan lupa yang mereka sudah terbiasa dan punya pengalaman manis dengan digitalisasi, akan melupakan cara yang lama," kata Jahja.