Jakarta (Antara News) - Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) KPK Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa kelembagaan KPK harus masuk ke dalam Undang-undang Dasar sehingga menjadi lembaga permanen.
        "Lembaga ini harus dibuat permanen. Saya setuju kalau ada perubahan. Jadi tidak apa-apa UUD kita lebih lengkap," kata Jimly dalam tes wawancara dengan panitia seleksi capim KPK di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Selasa.
        Jimly adalah calon pimpinan KPK mengikuti tes wawancara.
        "Jadi Bapak tidak sepakat dengan Ibu Megawati?" tanya anggota pansel Harkristuti Harkrinowo merujuk pada pernyataan Presiden ke lima Megawati Soekarnoputri yang menyatakan bahwa KPK sebaiknya dibubarkan saja bila korupsi sudah dapat diberantas.
        "Harus dipahami bahwa (pernyataan Megawati itu) adalah ekspresi kekecewaan bukan hanya Ibu Mega tapi politisi kita juga kesal dengan cara kerjanya (KPK). Mudah-mudahan saya bisa meyakinkan orang supaya jangan dibubarkan lembaganya tapi kita perkuat," ungkap mantan Ketua MK tersebut.
        Terkait usulan hukuman mati bagi koruptor, menurut Jimly, wacana tersebut perlu dipikirkan lebih matang.
        "Kita melihat kalau mengikuti emosi saya setuju saja. Waktu itu saya marah kepada Akil sehingga mengatakan dihukum mati saja. Kebijakan pidana mati dalam jangka panjang sesuai kemanusiaan yang adil dan beradab, harus mengikuti standar itu, maka seyogyanya kebijakan hukum mengurangi hukuman mati," ujar Jimly.
        Menurut Jimly, perlu dipikirkan rancangan KUHP dan berbagai sejumlah UU untuk mengurangi hukuman mati.     Â
  Dia mengatakan ada delapan undang-undang yang memuat mati yang seharusnya dikurangi.
        Pidana korupsi, katanya,  seharusnya berupa perampasan harta karena merugikan keuangan negara.
        "Kalau menjadi komisioner KPK, yang menjadi tuntutan adalah pimpinan KPK jangan terlalu 'high profile', tapi bapak ini kan 'high profile', bagaimana menyikapinya?" tanya Ketua Pansel Destry Damayanti.
        "Iya sih," jawab Jimly.
        Tapi menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu itu, ia pun terkenal karena institusinya yang terkenal.
        "Makanya sebetulnya saya tidak banyak bicara, cuma orang tidak tahu saja. Waktu saya ketua MK, saya membatasi (bicara) cuma karena pekerjaan kita membuat keputusan yang setara DPR, otomatis kita diberitakan, jadi bukan saya yang hebat tapi institusinya. Saya sendiri sudah berusaha, saya korban kalau ikut terkenal gara-gara ketua MK. Di KPK juga sama. Itu juga yang dialami Mahfud, Abraham (Samad), bukan pribadi kita yang hebat tapi institusinya,"  kata  Jimly.
        Pada hari ini, ada tujuh orang yang mendapat giliran tes wawancara yaitu Giri Suprapdiono (Direktur Gratifikasi KPK), Hendardji Soepandji (Presiden Karate Asia Tenggara SEAKF), Jimly Asshiddiqie (Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI), Johan Budi Sapto Pribowo (Plt Pimpinan KPK), Laode Muhamad Syarif (Lektor FH Universitas Hasanudin), Moh Gudono (Ketua Komite Audit UGM), Nina Nurlina Pramono (Direktur Eksekutif Pertamina Foundation).