Jakarta (Antara News) - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang permohonan pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang mengatur sistem rekapitulasi berjenjang yang diajukan LSM Warga Bela Negara.
LSM Bela Negara yang terdiri dari 12 pemohon, yaitu Antonius Ratumakin, Budi Permono, Lili Hayanto, Bahrulhadi Nursyamsul, Wije, Ahmad Yanuana Samantho, Izharry Agusjaya Moenzir, Syarbini AG, Mario Purwanto, Mirzan Insani, Andreas Harut dan Ramses Desemberata Arwan ini menguji Pasal 141 hingga Pasal 156 UU Pilpres.
"Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang merupakan pemilih pada Pilpres 2019. Para Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan tersebut," kata Kuasa Hukum Pemohon, RM Tito Hananta Kusuma, saat sidang di MK Jakarta, Selasa.
Menurut dia, rekapitulasi berjenjang ini mengakibatkan kecurangan-kecurangan sistemik dan secara langsung mengurangi atau menambah suara seorang kandidat yang kemudian berdampak langsung pada hasil akhir itu sendiri.
Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan sistem rekapitulasi suara berjenjang pada pasal 141 sampai dengan pasal 156 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hokum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Sidang pengujian UU Pilpres terkait rekapitulasi berjenjang ini dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didampingi Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Hakim Konstitusi Aswanto sebagai anggota panel.
Menanggapi permohonan ini, Ahmad Fadlil menilai permohonan pemohon belum menjelaskan secara rinci kerugian konstitusional para pemohon.
"Harus diceritakan sebagai warga negara yang punya hak konstitusional, berlakunya pasal ini merugikan apa, argumentasinya mana," kata Fadlil.
Fadlil juga menilai permohonan ini belum menjelaskan pertentangan pasal dengan UUD dan tidak menjelaskan akbat dari penghitungan berjenjang ini.
Untuk itu majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.