Jakarta (Antara News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar merasa sudah sejak awal diposisikan sebagai penjahat dalam kasus dugaan pemberian suap dan tindak pidana pencucian uang.
"Maka pernyataan pimpinan KPK yang mengatakan bahwa surat dakwaan adalah kejutan untuk Akil menunjukkan sejak semula saya sudah diskenariokan sebagai penjahat bahkan bukan hanya sejak saya menjabat sebagai hakim dan ketua MK," kata Akil dalam sidang eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Ia melanjutkan sejak menduduki jabatan publik sebagai anggota DPR 1999 dengan alasan yang dicari-cari, sehingga membuat dia seakan sudah melakukan berbagai kejahatan yang sesungguhnya fitnah yang kejam, untung saja jaksa KPK tidak mengatakan dirinya sudah menjadi penjahat sejak lahir ke dunia.
Akil dalam surat dakwaan KPK disebut menerima Rp63,315 miliar sebagai hadiah terkait pengurusan sembilan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK, Rp10 miliar dalam bentuk janji untuk satu sengketa pilkada, serta pencucian uang dengan menyamarkan harta sebesar Rp161 miliar pada 2010-2013 dan harta sebanyak Rp22,21 miliar dari kekayaan periode 1999-2010.
"Kejutan dari keempat pimpinan KPK yang mengatakan akan menuntut saya seberat mungkin padahal proses persidangan masih digelar. Demikian juga pengamat bodong, sampai bakal calon presiden yang sudah mengkhayal menjadi presiden, termasuk profesor di bidang hukum yang tidak mengerti persoalan tapi asal bunyi untuk pencitaan diri seolah-olah mereka yang paling benar dan mereka yang mengadili. Komentar dan pernyataan demikian berupaya untuk merongrong pengadilan," tambah Akil.
Ia pun menyebutkan sejumlah kejutan sekaligus keganjilan dalam kasusnya.
"Penangkapan dilakukan terhadap diri saya tidak sesuai dan tidak memenuhi definisi tertangkap tangan. Oleh penyidik KPK saya tidak pernah dinyatakan ditangkap melainkan mereka menyatakan menangkap Chairun Nisa dan Cornelis Nalau yang berada di luar rumah. Sedangkan rumah tersebut dalam keadaan tertutup dan terkuci. Saya berada dalam rumah dan tidak mengetahui adanya kejadian penangkapan itu," jelas Akil. Menurut Akil, pada peristiwa 2 Oktober tersebut ia diberi tahu petugas jaga ada tamu sehingga membuka pintu dan keluar. Kemudian Akil bertemu dengan penyidik KPK yang menyatakan penyidik telah menangkap chairun Nisa dan Cornelis Nalau.
"Penyidik meminta saya menyaksikan penggeledahan keduanya.
Sesaat kemudian, mereka meminta saya untuk ikut guna memberi keterangan di kantor KPK sehubungan dengan peristiwa itu. Namun, ternyata sejak itu saya tidak pernah meninggalkan KPK karena kemudian saya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan tanpa pernah ditunjukkan surat penahanan terhadap saya," ungkap Akil.
Menurut Akil, dua surat perintah penyidikan yang diterapkan kepadanya adalah untuk pemberian janji terkait pilkada Lebak dan Gunung Mas berdasarkan pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP, sehingga dilakukan penyitaan dan penggeledahan di rumah dinas Akil dan rumah pribadinya.
"KPK melakukan penyitaan yang tidak sah terhadap barang-barang yang tidak relevan terhadap sangkaan dikenakan, lalu untuk menutupi kesalahan itu, diterbitkan sprindik baru. Kalau KPK berpikir bahwa sudah benar melakukan penyitaan tentu tidak perlu seolah-olah barang itu dikembalikan lalu disita kembali, ini kejutan kedua," jelas Akil.
KPK, menurut Akil, juga mendakwakan kesalahan kepada AKil tanpa ia diperiksa sebagai tersangka padahal sangkaan awal yaitu menerima gratifikasi ternyata tidak jadi didakwakan kepada diri mantan anggota DPR fraksi Partai Golkar tersebut.
Sehingga Akil menilai bahwa surat dakwaan jaksa KPK tidak cermat karena ia merasa tidak pernah menerima uang dan tidak menjelaskan hubungan Akil dengan sejumlah nama dalam kasus-kasus yang didakwakan kepadanya yaitu kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), kabupaten Lebak (Rp1 miliar), kabupaten Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS), kota Palembang (Rp19,9 miliar), kabupaten Lampung Selatan (Rp500 juta), kabupaten Buton (Rp1 miliar), pilkada kabupaten Pulau Morotai (Rp2,99 miliar), pilkada kabupaten Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar), pilkada Banten (Rp7,5 miliar) dan janji untuk memberikan Rp10 miliar dari sengketa pilkada Provinsi Jawa Timur.