Jakarta, (Antara News) - Komisi Pemberantasan Korupsi juga menyangkakan Ketua Mahakamah Konstitusi non-aktif Akil Mochtar melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU), selain sangkaan tindak pidana korupsi yaitu penerimaan suap.
"Forum ekspose (gelar perkara) di KPK pada beberapa hari lalu setuju untuk meningkatkan surat perintah penyidikan (sprindik) TPPU atas tersangka AM (Akil Mochtar)," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui pesan singkat di Jakarta, Sabtu.
Akil disangkakan pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Ancaman pelanggar pasal tersebut adalah maksimal 20 tahun dan denda Rp10 miliar.
"KPK juga ingin mengucapkan terima kasi atas informasi yang diberikan publik atas aset dan kekayaan tersangka MA, juga tersangka lainnya seperti TCW (Tubagus Chaeri Wardana)," tambah Bambang.
Bambang memastikan bahwa KPK memblokir dan menyita aset dan rekening Akil.
"Seluruh rekening yang diketahui KPK sudah diblokir dan sebagian aset yang sudah diketahui juga telah dilakukan upaya paksa sita," ungkap Bambang.
Namun, pengacara Aki Menurut Otto penyitaan barang yang dilakukan KPK tidak ada kaitannya dengan pokok perkara karena melakukan penyitaan barang yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara.
"Persoalan sekarang barang diangkat (disita), dikembalikan, dan disita lagi, akan tetapi kepada Akil tidak pernah disebutkan (Pasal 12 B). Ini ke mana pasal ini? Dasar hukumnya di mana? Berarti sewenang-wenang," kata Otto pada Jumat (25/10).
Otto bahkan menyatakan bahwa Akil dan tim pengacara belum diberi tahu tentang penerapan Pasal 12 B yang dijadikan pasal penyitaan dan penetapan Akil dengan sangkaan menerima gratifikasi.
Sebelumnya KPK sudah menerapkan pasal 12 huruf c atau pasal 6 ayat 2 Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili pada 3 Oktober 2013.
Selanjutnya, Akil juga disangkakan pasal 12 huruf B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya pada 16 Oktober 2013.
Akil Mochtar menjadi tersangka penerima suap Pilkada Kabupaten Gunung Mas dan Lebak bersama dengan lima tersangka lain sejak 3 Oktober.
Tersangka dugaan penerimaan suap dalam perkara Pilkada Kabupaten Gunung Mas bersama dengan Akil adalah anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, sedangkan pemberi adalah Bupati Gunung Mas Hambit Bintih dan Cornelis Nalau dari pihak swasta dengan barang bukti uang senilai sekitar Rp3 miliar.
Sedangkan dalam kasus sengketa Pilkada Lebak, Akil Mochtar dan Susi Tur Handayani menjadi tersangka sebagai penerima suap, sementara Tubagus Chaery Wardhana dan kawan-kawan selaku pemberi suap, KPK juga menyita uang senilai Rp1 miliar di rumah orangtua Susi sebagai barang bukti.
Panel hakim konstitusi yang dipimpin Akil Mochtar pada 1 Oktober 2013 memutuskan untuk mengabulkan permohonan pasangan dari Partai Golkar Amir Hamzah-Kasmin sebagian yaitu memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang di seluruh TPS di Kabupaten Lebak.
Sedangkan untuk sengketa Pilkada Gunung Mas, MK memutuskan menolak permohonan pemohon dalam sengketa Pilkada Gunung Mas pada Rabu (9/10), sehingga pihak termohon yaitu pasangan Hambit Bintih-Arton S Dohong tetap menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati Gunung Mas.