Jakarta (Antara News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dituntut hukuman seumur hidup dan denda Rp10 miliar karena menerima hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan tindak pidana pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana seumur hidup ditambah pidana denda Rp10 miliar dan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang ditentukan menurut aturan umum," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Pulung Rinandoro dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam penjelasannya, jaksa menilai tidak ada hal yang meringankan dari Akil.
"Hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa dilakukan saat pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan upaya pemberantasan korupsi; terdakwa adalah ketua lembaga tinggi negara yang merupakan ujung tombak dan benteng terakhir bagi masyarakat dalam mencari keadilan; perbuatan terdakwa mengakibatkan runtuhnya kewibawaan lembaga MK sebagai benteng terakhir penegakan hukum. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga Mahkamah Konstitusi; terdakwa bersikap kooperatif dan terdakwa jujur dalam persidangan; terdakwa tidak mengakui kesalahan dan tidak menyesali perbuatannya. Hal yang meringankan, tidak ada," ungkap Pulung.
Akil dituntut berdasarkan enam pasal. Pasal pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah dengan ancaman pidana maksimal seumur hidup dan denda Rp1 miliar.
Pasal tersebut berdasarkan perbuatan dalam perkara sengketa Pilkada Gunung Mas, pemberian uang Rp3 miliar untuk Akil berasal dari bupati terpilih Gunung Mas Hambit Bintih melalui anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa pada 2 Oktober 2013.
Selanjutnya juga dalam perkara sengketa Pilkada Lebak, Akil dinilai mendapatkan Rp1 miliar dari calon bupati Lebak Amir Hamzah melalui pengacara mantan anak buah Akil, Susi Tur Andayani. Uang tersebut berasal dari pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang merupakan adik dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Ada sejumlah penerimaan dari pengurusan sengketa pilkada yaitu perkara sengketa pilkada Kota Palembang, Akil dinilai menerima uang sebesar Rp19,87 melalui Muhtar Ependy yang diberikan calon wali kota Romi Herton yang mengajukan permohonan keberatan ke MK Romi Herton. Uang tersebut ditransfer ke Akil ke rekening giro atas nama perusahaan milik istrinya CV Ratu Samagat.
Selanjutnya, sengketa pilkada kabupaten Empat Lawang, Akim mendapat Rp15,5 miliar melalui Muhtar Ependy dari bupati petahana Budi Antoni Aljufri yang mengajukan keberatan ke MK.
Dalam perkara sengekta pilkada kabupaten Lampung Selatan, Akil dinilai menerima Rp500 juta melalui Susi Tur Andayani yang berasal dari pasangan bupati terpilih Rycko Menoza dan Eki Setyanto.
Sengeketa pilkada kabupaten Buton Akil menerima Rp1 miliar yang diberikan ke rekening CV Ratu Samagat oleh pasangan calon bupati Samsu Umar Abdul Samiun dan La Bakry.
Perkara sengketa pilkada kabupaten Pulau Morotai, Akil menerima Rp2,99 miliar dari calon bupati Rusli Sibua.
Sengketa Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah, Akil menerima Rp1,8 miliar yang diduga diberikan oleh bupati terpilih Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang.
Sengketa Pilkada Jawa Timur, Akil Mochtar baru mendapatkan janji menerima uang Rp10 miliar dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah I Golkar Jawa Timur yang juga ketua bidang pemenangan pilkada Zainuddin Amali.
Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dengan ancaman penjara maksilam 5 tahun dan denda Rp250 juta.
Perbuatan Akil adalah menerima dari Wakil Gubernur Papua 2006-2011 Alex Hesegem sebesar Rp125 juta sebagai imbalan konsultasi mengenai perkara permohonan keberatan Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat dan Kabupaten Boven Digoel.
Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Akil mendapatkan hadiah sejumlah Rp7,5 miliar dari Tubagus Chaeri Wardana dalam sengketa Pilkada Provinsi Banten yang dikirimkan ke rekening CV Ratu Samagat secara bertahap dengan keterangan "biaya transprotasi dan sewa alat berat serta "pembayaran bibit kelapa sawit".
Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp10 miliar.
Perbuatan Akil yaitu menyamarkan harta kekayaan hingga Rp161 miliar saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013. KPK menduga sejumlah harta kekayaan Akil itu merupakan hasil tindak pidana korupsi sejak 22 Oktober 2010 sampai 2 Oktober 2013.
Padahal selaku hakim konstitusi MK selama Oktober 2010-2013, penerimaan resmi Akil dari gaji dan tunjangan seluruhnya hanya berjumlah Rp8,68 miliar.
Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun kurungan dan denda Rp15 miliar.
Akil Mochtar berdasarkan pasal tersebut dinilai menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.
Padahal penghasilan sebagai anggota DPR dan hakim konstitusi periode 17 April 2002 sampai 21 Oktober 2010 dari gaji dan tunjangan hanya sebesar Rp7,08 miliar dengan pengeluaran rutin selama 2002-2010 adalah Rp6,041 miliar. Sedangkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelengara Negara (LHKPN) Akil per 31 Juli 2002 dan 31 Desember 2006 aset harta bergerak dan tidak bergerak hanya senilai Rp454,32 juta.
Artinya, Akil menerima Rp63,315 miliar sebagai hadiah terkait pengurusan 9 sengketa pilkada di MK, Rp10 miliar dalam bentuk janji untuk satu sengketa pilkada.
Akil dan tim kuasa hukumnya akan menyiapkan nota pembelaan (pledoi) yang akan dibacakan pada Senin, 23 Juni 2014.