Kendari, (ANTARA News) - Perkebunan kakao di Indonesia hingga di tahun 2011 tercatat seluas 1.745.789 hektare, dari areal tersebut 94 persen atau 1.641.130 hektare diantaranya perkebunan kakao milik rakyat.
Di Sulawasi Tenggara, luas areal kakao saat ini mencapai 246.502 hektare yang hampir seluruhn adalah perkebunan rakyat, meskipun kondisi perkebunan kakao rakyat hingga saat ini masih menghadapi berbagai tantangan seperti mutu masih sangat rendah dan serangan organismen pengganggu tanaman (OPT) yang masih tinggi dan masih banyak kendala lainnya.
Permasalahan lain yang dirasakan petani saat ini diantaranya kebutuhan sarana produksi yang masih mengandalkan pola bercocok tanam secara tradisional, budidaya, panen dan pasca panen, industri pengolahan coklat, dan pemasarannya.
"Capaian kinerja pada perkebunan kakao rakyat di Sultra rata-rata masih ditandai dengan rendahnya produksi dan produktivitas. Tingkat produktivitas kakao rakyat pada tahun 2009 rata-rata baru mencapai 700-792 kilogram belum mencapai 800 kg per hektare, setelah tiga tahun program gerakan nasional (Gernas) kakao meningkat menjadi 800-900 kg per hektare," kata kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra, H Achmad Haedir Nurdin.
Oleh karena itu, program Gernas kakao yang sudah akan memasuki tahun ke empat ini sebaiknya diteruskan untuk kesinambungan dan peningkatan produksi kakao petani secara menyeluruh, terutama pada wilayah sentra-sentra penghasil kakao di Sultra pada khususnya dan Sulawesi pada umumnya.
Menurut Haedir Nurdin, di Sultra masih terdapat 158.867 hektare atau baru 34 persen luas tanaman perkebunan kakao 246.502 hektare atau 66 persen yang belum tersentuh melalui program Gernas kakao.
Kondisi umum yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi sektor perkebunan di Sultra khususnya komoditas kakao ada tiga permasalahan mendasar yakni, aspek budidaya, pengelolaan dan pemasaran serta aspek Kelembagaan dan Sumber daya alam.
"Bila ketiga permasalahan ini mendapat perhatian, maka tentu produktivitas yang dihasilkan petani pun dari tahun ke tahun akan semakin membaik," katanya.
Khusus kelembagaan dan SDM, petani di Sultra belum optimal serta masih kurangnya dukungan dan peran lembaga penunjang agribisnis (Perbankan, industri dan penyuluh) serta tingkat pengetahuan dan keterampilan petani maupun petugas masih relatif terbatas,
Program Gernas kakao dengan tiga sasaran yakni kegiatan peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi, selama empat tahun terakhir kini baru menjangkau 15.350 hektare untuk kegiatan peremajaan.
Sementara kegiatan rehabilitasi baru mencakup luas 40.983 hektare dan kegiatan intensifikasi mencapai 26.133 hektare yang tersebar pada tujuh dari 12 kabupaten kota se Sultra diantaranya kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Selatan, Bombana, Konawe, Konawe Utara dan kabupaten Muna.
Bangun klaster
Kebijakan pemerintah Sultra dalam pengembangan kakao diantaranya pengembangan klaster kakao dengan mendukung Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (LP3EI).
Selain itu, pembangunan dan pengembangan infrastruktur yang meliputi, pembangunan pelabuhan laut yang kini sudah dibangun sebuah pelabuhan kontainer berskala nasional di kelurahan Bungkutoko Kota Kendari, bandar udara, jembatan dan jalan, serta penambahan jaringan daya listrik.
Untuk mendorong petani kakao lebih bergairah mengembangkan perkebunan kakao, pemerintah pusat harus bersinergi dengan daerah, dengan mengutamakan pendirian industri pabrik pada daerah sentra yang memiliki areal perkebunan kakao seperti di Sultra.
"Diakui atau tidak tantangan pembangunan perkebunan kedepan masih selali menghantui petani terutama bagaimana meningkatkan produksi dan nilai tambah produk perkebunan," kata Bambang, penggagas terbentuknya Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera khusus kakao di Sultra.
Pengembangan klaster kakao di Sultra untuk mendukung LP3EI sudah terbangun di beberapa kabupaten sentra produksi kakao seperti klaster Labandia Kabupaten Kolaka dengan luas areal 92.441 hektare dengan produksi 30.924 ton dan klaster Pakue di Kabupaten Kolaka Utara dengan luas areal 82.848 hektare dengan produksi 85.992 ton.
Kemudian klaster Lalembuu di Kabupaten Konawe Selatan dan Bombana dengan luas areal 28.585 hektare dengan produksi 13.796 ton dan klaster Besulutu yang menghimpun beberapa kabupaten seperti Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Buton Utara dan Muna dengan luas areal 33.482 hekater dengan produksi 18.018 ton.
Bambang, yang juga kasubdin Produksi Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra itu mengatakan, pembangunan klaster kakao itu adalah bagian dari uapaya pemerintah provinsi dalam peningkatan daya saing melalui program membangun masyarakat sejahterah (Bahterams).
Selama ini, perbaikan mutu kakao yang dicanangkan pemerintah sudah lebih dari dua dhasa warsa, hingga saat ini kondisi biji kakao hasil perkebunan rakyat justru semakin memprihatinkan.
Hampir seluruh produksi biji kakao dari kawasan Sulawesi termasuk Sultra dikenal sebagai kakao asalan atau tidak memenuhi standar nasional indonesia (SNI), karena tidak permentasi, kadar air masih tinggi, bercampur dengan kotoran dan kadang berjamur.
Oleh karena itu, sampai kapanpun apaya perbaikan mutu kakao fermentasi tidak akan pernah berhasil manakalah tidak dibarengi dengan dukungan regulasi kebijakan serta gerakan besar-besaran untuk menghsilkan biji kakao fermentasi melalui dukungan berbagai pihak.
Harus fermentasi
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir saat menghadiri Hari Perkebunan Nasional ke-55 di Kota Kendari (10/12) mengatakan, untuk mempertahankan kualitas dan nilai ekspor kakao di Indonesia, semua hasil produksi kakao petani harus melalui fermentasi.
"Selama ini kualitas biji kakao yang dieskpor Indonesia masih sangat rendah atau masih di bawah produk kakao negara Pantai Gading dan Ghana. Oleh karena itu tidak ada alasan petani untuk meningkatkan produksi dengan fermentasi," katanya.
Menurut Gamal Nasir, kakao merupakan salah satu komoditi ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa Indonesia, Bahkan tercatat bahwa, Indonesia hingga kini merupakan salah satu negara pemasok utama kakao dunia, setelah Pantai Gading produyksinya (1,3 juta ton) atau sekitar (38,3 persen), Ghana 0,74 juta ton (20,2 persen) dan Indonesia 0,43 juta ton
Data Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa, produksi kakao tahun 2010 pernah mencapai sekitar 838 ribu ton, namun pada 2011 turun jadi 712 ribu ton.
"Target produksi kakao 2014 adalah 1 juta ton lebih, sekitar 60-70 persen lebih itu berasal dari Sulawesi dan menyusul Sumatera," katanya.
Permintaan dunia terhadap komoditas kakao, kata Dirjen, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2011 diperkirakan produksi kakao dunia akan mencapai 4,05 juta ton, sementara konsumsi akan mencapai 4,1 juta ton.
"Ini menandakan bahwa, Indonesia masih cukup berpeluang untuk mencapai target yang diharapkan yakni satu juta ton lebih," katanya.
Pemerintah pusat selama beberapa tahun terakhir terus memberikan perhatian dan dukungan bagi sektor perkebunan khususnya kakao, salah satu program dimaksud adalah gerakan nasional (Gernas) kakao yang setiap tahun mendapat alokasi anggaran cukup besar.
Tanpa menyebut alokasi anggaran secara nasional, namun di Sultra pada tahun 2011 dan 2012 mendapat aloksi dana pusat untuk Gernas kakao itu mencapai ratusan miliar rupiah.
Gernas kakao dilanjutkan
"Oleh karena itu, agar program Gernas Kakao yang sudah berjalan empat tahun tidak sampai disini maka, harus tetap dilanjutkan," kata prof.Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomo Pertanian Unila, saat menghadiri rokshow /seminar sehari dalam rangkaian memperingari hari perkebunan nasional ke-55 di Kota Kendari.
Karena itu, kata dia, untuk meningkatkan hasil produksi kakao secara nasional, pemerintah daerah penghasil kakao tidak membiarkan petani beralih profesi dari petani perkebunan kakao ke perkebunan lainnya khususnya sawit.
Sebab beberapa daerah sentra penghasil kakao di Tanah Air dari tahun ke tahun produksinya terus mengalami penyusutan, karena selain kurangnya pembinaan pada petani, juga pasca panen belum seluruhnya petani itu mendapat bimbingan langsung dari petugas penyuluh.
Akibatnya, produksi kakao masih sangat rendah, yakni masih berkisar antara 500-650 kilogram per hektare atau sangat jauh dari potensi yang diharapkan daerah dan petaninya yang sudah mapan, yang bisa menghasilkan 1,5 ton per hektare.
Hasil survei menyebutkan bahwa pada umumnya petani di Sulawesi khususnya di Sulsel, sebagian petani kakao memanen cukup sering, padahal aturannya tidak harus begitu, disamping petani tidak melakukan fermentasi karena petani menganggap harga kakao kering dinilai lebih penting dibanding kakao fermentasi.
"Yang kita harapkan, agar Gernas Kakao, apalagi dengan teknologi kultur jaringan, menjadi harapan baru bagi peningkatan produktivitas dan mutu kakao nasional," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Presdir BT Cocoa Sindar Wijaya yang mengungkapkan, program Gernas Kakao yang dimulai tahun 2009 itu harus berkesinambungan dan perhatian pemerintah kepada daerah penghasil bahan baku terbesar di Indonesia.
"Yang kita ketahui bahwa sekitar 80 persen produksi kakao nasional itu bahan bakunya dihasilkan dari petani di sulawesi yakni Sulawesi Tengah (18,33 persen), Sulawesi Selatan (17,78 persen), Sulawesi Tenggara (16,46 persen) dan Sulawesi Barat (13,72 persen)," katanya.
Sementara provinsi lainnya dengan produksi antara 3-8 persen yakni di Sumatera Utara (8,28 persen), Aceh (3,32 persen), Sumatera Barat (3,79 persen) dan Lampung (3,26 persen). Sedangkan provinsi yang memproduksi 1-2 persen dari total nasional itu ada di Jawa Timur, NTT, Kaltim, Papua dan provinsi lainya.
Menurut Sindar, dari luas areal perkebunan kakao nasional 1,6 juta hektare itu, baru sekitar 30 persen tersentuh dengan program Gernas, atau masih sekitar 70 persen areal perkebunan itu belum tersentuh dengan program Gernas.(Ant).