Jakarta (ANTARA) - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan, penanganan kasus anak berinisial MAS (14) yang menusuk ayah dan neneknya hingga tewas serta melukai ibunya di Lebak Bulus harus dilakukan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangan diterima di Jakarta, Selasa, mengatakan, aparat penegak hukum (APH) beserta jajaran harus mengidentifikasi akar masalah kasus tersebut dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana prinsip penanganan kasus anak berkonflik dengan hukum (ABH).
“APH harus tetap berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU SPPA; dan APH beserta jajaran yang wajib mengimplementasikan UU SPPPA, seharusnya mampu mengidentifikasi akar masalah dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak,” kata Maidina.
Menurut ICJR, prinsip kepentingan terbaik bagi anak dimaksud dapat dilakukan dengan kolaborasi antara APH, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial, dan berbagai pihak yang terkait dalam penanganan ABH sesuai UU SPPA.
Selain itu, ICJR juga mendorong para pihak untuk memastikan ketersediaan penelitian masyarakat (litmas) yang berkualitas dan hasil penelitian yang substansial. Pendampingan hukum dan non-hukum yang proporsional penting pula untuk diperhatikan.
Lebih lanjut, ICJR meyakini bahwa anak yang melakukan kekerasan didasari oleh banyak faktor. Pasalnya, berbagai penelitian komprehensif dengan metode meta-analisis membuktikan, tidak ada faktor tunggal yang menentukan mengapa anak melakukan kekerasan.
Menurut ICJR, perilaku kekerasan yang dilakukan anak dalam kasus ini merupakan salah satu bentuk perilaku agresif anak, yaitu perilaku untuk menyakiti orang lain secara fisik, verbal, maupun psikologis.
Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku agresif tersebut ialah keluarga. Dalam hal ini, kata ICJR, pola pengasuhan orang tua dalam mendidik anak berperan dominan membentuk perilaku agresif, seperti pengasuhan yang otoriter.
“Pola pengasuhan otoriter biasanya ditandai dengan sikap orang tua yang tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan pendapat dan perasaannya, memaksa anak untuk mengikuti perintah, hingga membatasi dan mengontrol anak. Sikap demikian pada akhirnya mengakibatkan kemarahan dan rasa terganggu pada anak yang sering kali berujung pada perilaku agresif,” terang Maidina.
Di sisi lain, ICJR juga menyayangkan munculnya stigma dan narasi penghukuman berat yang muncul menyusul pemberitaan kasus ini. Menurut ICJR, penghukuman berat berupa pemenjaraan untuk anak bukan solusi karena hal itu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari.
Mengingat kompleksnya faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak, ICJR meminta agar kasus MAS ini ditinjau lebih komprehensif dengan tidak mengedepankan pemidanaan dan tidak pula mengamini narasi hukuman berat pada anak.
Sebelumnya, seorang remaja berinisial MAS (14) menusuk ayah (APW) dan neneknya (RM) hingga tewas, serta melukai ibunya (AP) di Perumahan Bona Indah, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (30/11).
Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Ade Rahmat Idnal di Jakarta, Senin (2/12) mengatakan MAS tidak ditahan di Polres Metro Jakarta Selatan, melainkan dititipkan di rumah aman milik balai pemasyarakatan. Kepolisian juga berkomitmen untuk berpedoman pada UU SPPA dalam menangani kasus ini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: ICJR: Penanganan kasus anak bunuh ayah-nenek harus sesuai UU SPPA