Kendari (ANTARA) - Pengelolaan tambang dengan mengedepankan asas berkelanjutan di Sulawesi Tengah (Sulteng) mulai di lantangkan seiring dampak negatif lingkungan yang terus terjadi. Aktivitas pertambangan yang kebanyakan tidak mementingkan aspek alam dan sosial di wilayah itu, menjadi persoalan berlarut di kalangan masyarakat.
Sulteng yang sejatinya merupakan wilayah kaya nikel tengah menghadapi dilema besar dalam menemukan jalan tengah, antara menggali sebanyak-banyaknya sumber daya alam tersebut atau membatasi aktivitas pertambangan untuk menjaga lingkungan tetap asri.
Pasalnya pemanfaatan nikel secara maksimal dinilai bisa meningkatkan perekonomian Sulteng, terbukti komoditas ini kerap menjadi salah satu penyumbang ekspor paling besar. Di sisi lain, isu lingkungan juga sering disuarakan mengingat berhubungan erat dengan kelangsungan hidup dan masa depan anak-anak di sana.
Maka dari itu, beberapa kalangan pun coba memberikan solusi, kedua aspek harus terjaga tanpa mengorbankan satu sama lain. Bisa dilakukan, namun perlu ada keseriusan. Intinya, perusahaan pertambangan kini dituntut untuk mulai berkomitmen menerapkan pengelolaan secara berkelanjutan.
Humas PT Vale Indonesia Tbk, Suparam Bayu Aji dalam rilis yang diterima, Selasa mengatakan, pada umumnya, nikel di Indonesia, termasuk di Sulteng ini berjenis laterit atau endapan yang berasal dari proses pelapukan (laterisasi) pada batuan induk (batuan ultramafik).
Nikel yang dekat dari tanah ini memiliki tantangan terbesar dalam hal pengelolaan airnya. Artinya ketika nikel melalui proses penambangan, air yang berada di lokasi itu pasti akan keruh dan bisa mencemari air di sekitar lokasi.
Oleh karena itu, perusahaan tambang seharusnya menggunakan kolam pengendapan terlebih dahulu untuk menyaring cemaran lingkungan, supaya kerusakan tidak terjadi dan air di sekitar lokasi tambang tetap bisa digunakan oleh masyarakat sekitar.
"Di Sorowako kita punya 120 kolam pengendapan. Hasilnya bisa dilihat di Danau Matano yang hingga saat ini masih jernih. Metode serupa akan kami lakukan di Morowali, bahkan sebelum kita memulai aktivitas tambang sama sekali," ujarnya.
Bayu menambahkan, jika Danau Matano sejatinya selama ini menjadi wadah limpasan air tambang. Namun dari hasil uji lab, total suspended solid (TSS) air danau tersebut bahkan lebih rendah dari air minum kemasan.
Artinya kejernihan Danau Matano masih terjaga meskipun berada di dekat lokasi tambang, bahkan hingga saat ini masih dijadikan sumber air minum bagi warga sekitar. Hal tersebut bisa terjadi akibat komitmen pihaknya menerapkan pertambangan berkelanjutan, salah satunya pengelolaan air melalui kolam pengendapan.
"Ini bukti bahwa tambang kita, kalau dikelola dengan baik tidak menghasilkan air yang coklat. Kami buktikan selama lima dekade beroperasi di Sorowako, termasuk diantaranya dengan menggunakan teknologi pengelolaan air minum untuk mengelola air tambang di LGS," paparnya.
Ekonom Universitas Tadulako, Mohammad Ahlis Djirimu menyatakan banyaknya pertambangan, termasuk nikel, di Sulteng telah menyebabkan laju deforestasi yang tinggi. Sekitar lebih dari 200.000 hektare lahan di wilayah ini dijadikan konsesi untuk pertambangan.
Akibatnya, efek lingkungan seperti pencemaran air di masyarakat terjadi, bahkan lebih besar lagi dampaknya pada terjadinya banjir dan longsor. Kondisi ini jelas mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.
Ahlis menambahkan, pertambangan nikel memberikan dampak ekonomi yang baik bagi Sulteng. Hampir separuh cadangan nikel dunia berada di wilayah ini dan Maluku Utara, yang membuat Sulteng memiliki masa depan cerah dalam menopang ekonomi daerah dan nasional.
Namun meskipun memberi dampak ekonomi yang menjanjikan, pengelolaan pertambangan juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan. Jika itu tidak dijaga, maka yang terjadi ke depan hanya menyisakan sisi negatifnya saja.