Jakarta (ANTARA) - Defisit bahan kebutuhan pokok di sejumlah provinsi mengungkap lagi persoalan klasik tentang tata kelola distribusi yang belum efektif. Maka, semua Kementerian dan lembaga terkait harus segera memperbaiki tata kelola distribusi, agar defisit bahan kebutuhan pokok tidak menambah persoalan baru selama periode pandemik COVID-19.
Peningkatan efektivitas distribusi bahan kebutuhan pokok di tengah periode pandemik COVID-19 sangat jelas urgensinya. COVID-19 sudah mewabah di semua provinsi. Pembatasan sosial dengan segala konsekuensinya menyebabkan masyarakat tidak nyaman. Jangan sampai defisit bahan kebutuhan pokok menambah persoalan.
Efektivitas distribusi bahan kebutuhan pokok harus segera ditingkatkan agar tidak ada lagi daerah yang harus mengalami kekurangan bahan kebutuhan pokok. Siapa pun paham bahwa ketika defisit kebutuhan pokok mencapai skala yang ekstrim, persoalan akan melebar tak karu-karuan.
Semua kementerian dan lembaga (K/L) terkait perlu menggarisbawahi dua pernyataan Presiden Joko Widodo yang sudah dipublikasikan. Pertama, pernyataan tentang defisit kebutuhan pokok di sejumlah daerah itu. Kedua, ketika Presiden mengingatkan potensi gelombang kedua penyebaran dan penularan COVID-19 di dalam negeri dan memerintahkan semua aparatur negara memperketat pengawasan pada klaster-klaster baru penyebaran COVID-19.
Klaster-klaster susulan itu meliputi lalu lintas pekerja migran, Jamaah Tabligh di Gowa, Sulawesi Selatan, dan rembesan pemudik. Presiden sudah menerima data tentang 89.000 pekerja migran yang telah tiba di Indonesia. Bahkan, ada kemungkinan 16.000 lagi pekerja migran akan tiba.
Siapa pun tidak mengharapkan terjadinya gelombang kedua penyebaran dan penularan COVID-19 di dalam negeri. Sebaliknya, kerja nyata memutus rantai penularannya harus makin diintensifkan. Itu sebabnya Presiden mengajak semua elemen masyarakat menargetkan penurunan jumlah pasien COVID-19 sepanjang bulan Mei 2020 ini.
Namun, skenario terburuk harus tetap diperhitungkan. Jika gelombang kedua penularan itu menjadi kenyataan, durasi pandemik COVID-19 menjadi berlarut-larut. Ketidaknyamanan yang sekarang dirasakan bersama pun akan berkepanjangan pula. Agar tidak mengeskalasi masalah baru sepanjang pandemik COVID-19 itu, persoalan defisit bahan kebutuhan pokok tingkat provinsi tidak boleh terjadi lagi.
Di masa lalu, faktor konektivitas antar-pulau dan faktor transportasi sering mengganggu distribusi bahan kebutuhan pokok di seluruh wilayah. Faktor lain yang juga patut dicermati adalah kemungkinan perbedaan data antar-institusi atau K/L tentang kebutuhan dan stok. Persoalan ego-sektoral pun tak jarang menjadi faktor yang merusak koordinasi antar-institusi.
Kemudian, kalau temanya tentang pengelolaan kebutuhan pokok tingkat provinsi atau wilayah, kepedulian dan kemauan untuk pro-aktif para kepala daerah menjadi sangat penting. Tinggi-rendahnya permintaan dan stok bahan kebutuhan pokok daerah itu harus menjadi perhatian para kepala daerah dari hari ke hari. Persoalan-persoalan ini hendaknya segera diatasi oleh semua K/L terkait dan para kepala daerah untuk menghindari defisit bahan kebutuhan pokok masyarakat.
Apalagi, sejak pandemik COVID-29 memunculkan kecemasan akan ketersediaan bahan pangan, masyarakat sudah diberi tahu bahwa pemerintah menjamin dan sudah mengamankan 11 bahan kebutuhan pokok masyarakat. Stok beras, daging sapi dan ayam, minyak goreng, telur, bawang putih, bawang merah, aneka cabai dan gula dipastikan tersedia dalam jumlah yang cukup.
Jaminan dari pemerintah itu pun sudah terbukti sebagaimana dilaporkan oleh sejumlah daerah. Karena melimpah, harga telur ayam bahkan sampai turun. Demikian juga dengan beras, gula, daging sapi dan daging ayam. Pertanyaannya, mengapa ada begitu banyak daerah defisit bahan kebutuhan pokok? Sudah pasti karena pola distribusi yang belum efektif. Distribusi dari daerah sentra produksi atau daerah surplus ke pasar di seluruh wilayah Tanah Air belum berjalan sebagaimana seharusnya.
Kepedulian Daerah
Padahal, oleh faktor kesuburan tanah dan faktor kecocokan tanaman pangan, sentra-sentra produksi bahan pangan di dalam negeri sudah terbentuk dengan sendirinya sejak dahulu kala. Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, serta sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan tarcatat sebagai lumbung beras nasional. Komoditas pangan lainnya seperti tanaman sayuran, bawang, cabai hingga gula memiliki sentra produksinya masing-masing.
Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi pemasok daging sapi yang dibutuhkan banyak provinsi lainnya. Sentra produksi telur dan daging ayam tersebar di berbagai daerah. Tantangannya adalah mewujudkan konektivitas semua sentra produksi bahan pangan itu ke seluruh provinsi agar bahan pangan itu bisa terdistribusikan ke pasar-pasar di setiap daerah.
Defisit bahan kebutuhan pokok yang terjadi pada periode pandemik COVID-19 sekarang ini hendaknya mendorong pemerintah sebagai regulator, khususnya semua K/L terkait, membenahi dan meningkatkan efektvitas distribusi bahan pangan. Tata kelola distribusi yang terjaga tidak hanya menjamin ketersediaan, tetapi juga menjadi instrumen yang mampu mencegah gejolak harga.
Tidak kalah pentingnya kepedulian pimpinan daerah, baik gubernur, bupati atau wali kota. Sepanjang periode pandemik COVID-19, semua kepala daerah hendaknya tidak hanya fokus pada penerapan pembatasan sosial untuk cegah-tangkal penularan COVID-19, tetapi juga peduli dan sensitif terhadap stok kebutuhan pokok masyarakat setempat.
Untuk mencegah panic buying, kekurangan stok setiap bahan kebutuhan pokok tidak boleh mencapai skala yang ekstrim. Karena itu, para menteri ekonomi dan semua kepala daerah harus peduli sekaligus mengamankan rantai distribusi semua bahan kebutuhan pokok masyarakat. Efektivitas koordinasi harus terus diperbaiki dan ditingkatkan. Penerapan pembatasan sosial hingga PSBB (pembatasan sosial berskala besar) tidak boleh memutus atau merusak rantai distribusi bahan kebutuhan pokok.
Belum lama ini, Presiden sendiri yang mengungkap terjadinya defisit bahan kebutuhan pokok di sejumlah daerah atau provinsi. Kalau hal ini harus disuarakan langsung oleh Presiden, tentu karena para pembantu presiden dan para kepala daerah terlambat atau belum menangani persoalannya. Misalnya, defisit stok beras terjadi di tujuh provinsi. Stok jagung defisit di 11 provinsi, stok cabai besar defisit di 23 provinsi, stok cabai rawit defisit di 19 provinsi, stok telur ayam defisit di 22 provinsi dan stok gula pasir defisit di 30 provinsi.
Kekurangan stok bahan kebutuhan pokok di beberapa daerah itu mestinya bisa dihindari, karena ketersediaannya di dalam negeri dilaporkan lebih dari cukup. Telur ayam melimpah di pasar. Begitu juga gula pasir dan ketersediaan jagung. Bahkan stok beras dilaporkan surplus hingga Juni 2020. Kalau ada daerah yang mengalami defisit beras, jagung, telur ayam hingga gula pasir, masalahnya tentu pada lalu lintas informasi antar-institusi yang tidak efektif.
Akibatnya, komoditas yang tersedia tidak terdistribusikan ke daerah yang butuh atau daerah defisit. Masalah lain yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan terganggunya rantai distribusi dari daerah surplus ke daerah defisit akibat penerapan pembatasan sosial. Hal ini harus segera diatasi oleh para menteri dan kepala daerah untuk mencegah panik masyarakat.
Dalam situasi ketika pandemik COVID-19 masih berlangsung, kepedulian semua kepala daerah terhadap keamanan stok bahan kebutuhan pokok masyarakat di daerahnya masing-masing sangat penting. Penerapan pembatasan sosial memang masih harus dilanjutkan. Tetapi perhatian pada penerapan pembatasan sosial itu tidak boleh mengurangi kepedulian atau urgensi mengamankan stok kebutuhan pokok masyarakat di setiap provinsi.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI