Jakarta (ANTARA) - Korps Bhayangkara mengemban berbagai tugas penting dalam menjaga keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap ancaman yang datang dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah radikalisme.
Segenap daya dan upaya terus dituangkan oleh pihak kepolisian untuk menangkal berkembangnya radikalisme dalam segala lapisan masyarakat.
Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) adalah cabang dari kepolisian yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan salah satu tugasnya adalah mengayomi masyarakat dan mencegah berkembangnya paham radikal dalam masyarakat.
Salah satu anggota kepolisian yang mengabdikan dirinya untuk tugas mulia tersebut adalah Brigadir Kepala (Bripka) M. Kundoro. Dia bertugas di Polres Kendari, Polda Sulewesi Tenggara. Hanya saja caranya menangkal radikalisme sama sekali tidak menggunakan cara yang keras.
Bentuk pengabdiannya untuk tugas menangkal radikalisme adalah dengan menjadi guru di sebuah bimbingan belajar (bimbel) gratis bagi anak-anak jalanan dan anak-anak tidak mampu di wilayah tugasnya, yakni Kelurahan Bonggoeya dan Anawai di Kecamatan Wua-Wua, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Di Kota Kendari ada sebuah wilayah yang disebut Kampung Rawa-Rawa, di tempat inilah Bripka Kundoro meminjam sebuah rumah milik warga setiap sore untuk mengajar anak-anak jalanan dan anak-anak dari kalangan tidak mampu di sekitar.
Kegiatan bimbel ini mulai dia jalankannya sejak 9 Desember 2016. Ide untuk mengadakan bimbel gratis.
Pada saat itu dia sedang bertugas mengunjungi sebuah tempat di Kota Kendari yang dikenal dengan nama Kampung Rawa-Rawa. Saat itulah dia mengidentifikasi bahwa sebagian anak-anak di sini masih membutuhkan pelajaran dan juga edukasi.
Sejak awal berdirinya, 9 Desember 2016, kata Bripka Kundoro, pihaknya melaksanakan kegiatan belajar mengajar mengidentifikasi sebagian di daerah ini masih membutuhkan pelajaran dan juga edukasi yang bermanfaat.
Saat ditemui di lokasi bimbel yang berada di tengah permukiman warga di Kampung Rawa-Rawa, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu, dia juga sempat menjelaskan kenapa wilayah sebenarnya berada di dalam kota tersebut mendapat nama Kampung Rawa-Rawa.
"Tempat bimbel Bhabinkamtibmas ini disebut dengan Kampung Rawa-Rawa kenapa dikatakan demikian? Karena kami berada di posisi Kali Wanggu yang setiap tahun banjir," ujarnya.
Materi yang diajarkan Bripka Kundoro di bimbel ini adalah mata pelajaran umum yang diajarkan di sekolah, seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Bahasa Indonesia, Matematika, dan baca tulis Alquran.
Selain itu, ada juga sejumlah mata pelajaran yang sebenarnya sangat penting namun tidak diajarkan di sekolah, yakni bahaya narkoba dan kekerasan terhadap anak.
Kundoro mengatakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di bimbel ini juga menyertakan unsur deradikalisasi, yakni menanamkan kepada anak-anak tersebut agar memahami bahaya radikalisme sejak dini.
"Alhamdulillah, mereka sudah tidak ada yang terpengaruh dengan apa yang namanya paham-paham ekstrem yang seperti itu," tuturnya.
Dia berharap murid bimbingannya yang saat ini berjumlah lebih dari 50 orang ini bisa bertambah banyak lagi. Selain itu, dia berharap muridnya bisa maju dan menciptakan terobosan-terobosan baru untuk kemajuan bangsa.
Caranya mengajar juga sangat bersabat dengan anak-anak, bahkan anak didik Bripka Kundoro tidak lagi memanggilnya dengan sebutan Pak Polisi, tetapi menyebut Pak Guru.
“Tempat kami ini bahwasanya statusnya masih pinjam pakai, jadi kami mengajar dengan apa adanya, kami mengajar dengan suasana dan semangat generasi bangsa yang seperti ini kami tidak bisa tinggal diam kita turun langsung. Alhamdulillah, saya di sini dipanggil Pak Guru bukan lagi Pak Polisi,” ucapnya.
Pesantren Terbesar
Sosialisasi program deradikalisasi terhadap anak-anak juga digelar Polda Sulawesi Tenggara di Pondok Pesantren Ummusshabri yang merupakan pondok pesantren terbesar dan tertua di Kendari, Sultra.
Kegiatan itu dipimpin oleh Kanit III Subdit 4 Ditintelkam Polda Sultra Komisaris Polisi Jumsah yang juga menjadi pembicara utama kegiatan di Pondok Pesantren Ummusshabri.
Ia juga menjelaskan mengenai Polda Sultra yang mempunyai subdirektorat yang khusus menangani masalah radikalisme, yakni Subdirektorat 4 Ditintelkam Polda Sultra.
"Saya dengan tim ditugaskan untuk mendata pondok-pondok pesantren yang diduga terpapar radikalisme, termasuk salah satu pesantren yang besar di Sultra inilah ummusshabri kurang lebih 2.000 santri menjadi sasaran utama kami," kata Jumsah saat ditemui di Pondok Pesantren Ummusshabri, Kamis (5/12).
"Kegiatan kontra radikal itu berarti mencegah untuk santri-santri jangan sampai terpapar radikalisme," katanya melanjutkan.
Kompol Jumsah mengatakan bahwa para santri yang duduk di tingkat sekolah dasar ini mempunyai minat yang sangat tinggi untuk memahami lebih jauh soal kontra radikal ini.
Animo tinggi sekali karena mereka sangat awam apa itu radikalisme, apa itu deradikalisme, apa itu kontra radikal, kemudian dia menjawab satu per satu sehingga mereka paham makna dari kegiatan radikalisme itu.
Ia berharap kegiatan ini bisa membuka mata dan wawasan para santri soal radikalisme dan bisa menolak paham yang hanya akan merugikan diri sendiri dan negara tersebut.
Soft Approach Deradikalisasi
Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhardt mengatakan bahwa metode soft approach dengan memberikan pemahaman dan pendekatan kepada masyarakat oleh binmas dan intelijen Polda Sutra menjadi andalan program deradikalisasi di Sulawesi Tenggara.
Polda Sultra mengedepankan fungsi intelijen dan fungsi binmas, tentunya kegiatan deradikalisasi ini dalam rangka untuk memberikan pemahaman kepada warga masyarakat untuk tidak terpapar paham-paham antitoleran, kemudian juga antikebersamaan, kata AKBP Harry saat ditemui di Kendari, Sabtu.
Harry Goldenhardt mengatakan bahwa kegiatan serupa seperti yang dilakukan oleh unsur Binmas dengan membuka bimbel untuk anak-anak tidak mampu yang menyisipkan materi deradikalisasi dan unsur intelijen yang memberikan kelas dengan materi deradikalisasi di pesantren akan terus dilaksanakan untuk membendung menyebarnya paham radikalisme di generasi penerus bangsa.
Kegiatan-kegiatan ini, kata dia, tentunya akan terus dilakukan dan dilaksanakan untuk membendung dan meminimalisasi paham-paham radikalisme yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara. Meski untuk sementara tidak ada, program deradikalisasi tetap dilaksanakan dengan menyentuh masyarakat.