Kendari (ANTARA) - Boleh jadi Desa Lalomerui hanyalah noktah kecil yang tak pernah diperhitungkan oleh para calon legislator dan politisi Senayan dalam peta elektoral Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Desa sunyi yang terletak di lembah Lalomerui, perbatasan Sulawesi Tenggara-Sulawesi Selatan itu, memang hanya dihuni 95 kepala keluarga (KK), hanya terdapat 52 rumah, warganya hanya 500 jiwa, dan jumlah pemilihnya hanya 184 orang. Sungguh jumlah yang tak terlalu berarti, bahkan untuk sekedar mendulang satu kursi di Senayan.
Hingga kurang dari sepekan menjelang hari pencoblosan pada 17 April 2019, belum satu pun calon wakil rakyat, baik DPR maupun DPD yang menyambangi desa itu.
"Kami tahu jumlah calon DPD dari Sultra, 49 orang, tetapi kami tidak tahu orangnya, karena tidak ada satu pun calon DPD pernah datang ke desa ini. Kalau capres, sudah tahu semua," kata warga Lalomerui, Gipson (27).
Dimaklumi jika tak banyak legislator yang bertandang ke desa itu. Menembus Lalomerui memang bukan perkara mudah. Tidak ada akses langsung dari Unaaha, ibukota Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menuju desa yang dihuni oleh mayoritas suku Tolaki, suku terbesar yang mendiami jazirah Sulawesi Tenggara
Untuk mendatangi desa yang terhimpit dua bukit itu, orang harus melintasi Kabupaten Konawe Utara, menyusuri jalan trans Sulawesi menuju Sulawesi Tengah, melintas Desa Tetewatu Kecamatan Wiwirano, dekat perbatasan Sultra-Sulteng, baru kemudian orang akan menemukan akses menuju Desa Lalomerui, yakni melalui jalan sempit yang kanan kirinya dirimbuni kebun sawit dan hutan lebat.
Jarak Lalomerui-Unaaha sekitar 270 kilometer. Namun karena jalannya susah untuk dilewati kendaraan roda empat maupun roda dua, waktu tempuh Lalomerui-Unaaha bisa seharian penuh atau lebih, tergantung kondisi cuaca. Jika hari hujan, pasti lebih lama. Terkadang orang harus bermalam di tengah hutan di pondok-pondok yang biasa dihuni pengolah kayu rimba.
Lalomerui memang terpencil, namun jangan ragukan semangat warganya menyambut pesta raya demokrasi, Pemilu serentak 2019. "Meski kami tinggal jauh dari pusat kota dan tidak ada jaringan seluler, tetapi kami tidak masa bodoh dalam hal informasi kepemiluan. Kami berusaha mencari tahu sendiri dari teman-teman atau warga yang datang dari kota, atau orang yang kebetulan sekadar lewat di desa ini," kata Gipson.
Informasi terbaru mengenai pemilu yang mereka dapat, akan disampaikan ke tetangga secara berantai dari mulut ke mulut. Oleh karena itu Gipson tahu tentang jenis-jenis surat suara, cara mencoblos yang sah, termasuk mengenai peserta pemilu.
"Walaupun sosialisasi Pemilu 2019 tidak banyak dilakukan di desa ini, namun kami sudah mengetahui bahwa pemilu tahun ini hanya berlangsung sekali dan secara serentak memilih presiden dan wakil rakyat," kata warga lainnya, Rusmayadi (34).
Rusmayadi menilai pemilu adalah perhelatan yang penting. Warga Lalomerui selalu menganggap pemilu adalah pesta yang ditunggu-tunggu, karena mereka sadar akan pentingnya memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat. "Walau desa terpencil, tetapi kami semangat menghadapi dan menyongsong pemilu, kami berharap pemilu berjalan baik dan lancar," katanya.
Sebagai warga negara yang baik, Rusmayadi mengaku siap meninggalkan aktivitasnya sebagai salah seorang karyawan perkebunan kelapa sawit di daerah itu untuk menggunakan hak pilihnya pada 17 April.
"Kami sudah bersepakat bahwa apapun kondisinya hak suara harus digunakan, karena dengan menggunakan hak suara diharapkan terjadi pemerintahan yang lebih baik, negara dan daerah bisa lebih maju," katanya.
Ia berkisah, pada pemilihan 2014 lalu warga Lalomerui berangkat berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak pilih. Warga juga akan menyaksikan saat perhitungan suara, untuk mengetahui hasil pesta demokrasi di TPS-nya. “Ada kepuasan tersendiri, ketika yang kita coblos seperti presiden terpilih menjadi pemenang. Meskipun mereka tidak tahu kita ini,” katanya.
Optimisme pemilu berjalan baik juga disampaikan warga lainnya, Asmadin (48). Ia menginginkan pemilu yang damai, agar pemimpin yang lahir merupakan hasil pemilu demokratis yang diawasi seluruh masyarakat.
"Semoga setelah pemilu, kondisi pemerintahan kembali membaik, harga hasil pertanian juga membaik," kata Asmadin, yang juga menjadi petani merica di desa itu.
Ia ingin hasil pemilu dapat memulihkan harga lada yang saat ini sedang tidak baik. "Harga lada turun hingga Rp40 ribu sampai Rp50 ribu per kilogram," katanya. Sebelumnya, harga lada pernah melambung sampai Rp140 ribu per kilogram. Ini memotivasi warga untuk terus memperluas lahan tanam lada mereka.
"Meskipun saat ini harga lada sedang tidak baik, tetapi kami tidak berhenti melakukan penanaman dan perawatan. Suatu saat kami yakin harganya akan naik lagi, mungkin setelah pemilu," katanya.
Seperti itulah semangat warga Lalomerui dalam menyongsong pemilu 17 April 2019. Mereka tidak mengenal golput alias tidak mau menggunakan hak pilihnya. Karena mereka anggap satu suara itu sangat berarti dalam menetukan pemimpin masa depan serta wakil-wakil rakyat di dewan.
Anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) Desa Lalomerui, Darmon mengatakan, seluruh warga desa itu telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 184 orang, terdiri 104 pemilih laki-laki dan 80 pemilih perempuan.
Komisioner KPU Konawe, Andiransyah Siregar, mengatakan pihaknya juga telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Konawe sebanyak 167.836 Pemilih yang terdiri dari 85.267 Pemilih laki-laki dan 82.569 pemilih perempuan. Untuk DPT Kecamatan Routa Kabupaten Konawe sebanyak 1.977 orang terdiri 1.096 lakilaki dan 881 pemilih perempuan. Warga Desa Lalomerui masuk dalam DPT Kecamatan Routa.
Terdapat pula satu warga Lalomerui yang menjadi calon anggota DPRD Kabupaten Konawe melalui Dapil IV Konawe meliputi Kecamatan Routa, Abuki, Asinua, Latoma, Pandanguni dan Tiongauna, yang akan memperebutkan lima kursi.
"Ini membuktikan bahwa semangat demokrasi di daerah terpencil ini tinggi. Hingga ada warga kami juga yang tertarik untuk menjadi caleg DPRD Konawe. Tetapi soal siapa yang dipilih termasuk calon presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan kabupaten, itu hak warga. Saya yakin mereka sudah punya pilihan," kata Darmon.
Ia mengaku, selama ini tidak susah dalam melakukan pendataan pemilih di daerah itu, karena warga rata-rata memiliki KTP elektronik. "Sedangkan warga yang belum memiliki KTP elektronik, maka saya bersama kepala desa berusaha membantu mereka mengurus hingga Konawe," katanya.
Terpencil tapi tak terabaikan
Meski tinggal di wilayah terpencil, warga Lalomerui tidak sepenuhnya merasa tidak terabaikan. Sebagian mereka justru amat bersyukur tinggal di Lalomerui.
Sejak setahun lalu, warga bisa menikmati air bersih. Itu berkat dana desa yang digunakan membangun sarana distribusi air bersih. Sumber airnya berasal dari gunung yang mengapit desa itu.
Sumber air dari gunung dibendung dan dialirkan ke rumah warga menggunakan pipa. Meskipun tidak pakai mesin penjernih atau bahan penjernih, air yang sampai ke rumah warga jernih, kalau dipakai mandi sangat segar terasa di badan, kata Kepala Desa Lalomerui, Taswin (46).
Di Lalomerui juga terdapat satu Sekolah Dasar (SD), satu SMP, masjid, dan Puskesmas Pembantu. Kantor Desa juga ada, namun tidak representatif. Butuh renovasi secepatnya, karena kondisinya rusak, kata Taswin.
Menurut Taswin Lalomerui sejak 25 Maret 2019 lalu baru saja menikmati listrik yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) mini, yang juga dibangun menggunakan dana desa. "Alhamdulillah, sejak kami menikmati listrik, warga sudah bisa nonton TV tentang informasi pemilu. Kami juga sudah nonton debat capres," kata Taswin.
Nonton TV saat ini menjadi sarana bagi warga Lalomerui mengetahui informasi aktivitas peserta pemilu, sehingga masing-masing warga sudah memiliki referensi pilihan terutama untuk Capres.
Selebihnya, Taswin dan warganya hanya menginginkan lembah Lalomerui menjadi bagian dari semangat demokrasi yang terajut kental di Bumi Pertiwi. Demi Indonesia yang lebih maju dan lebih baik.