Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menunggu pembiayaan dari lembaga donor untuk mengeksekusi pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia.
“Di janjimu (JETP) ada lembaga donor yang membiayai, mana ada? Sampai sekarang belum ada. Nol. Kami mau (pensiun dini PLTU), tapi ada uangnya dulu,” ujar Bahlil dalam acara bertajuk, “Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru”, di Jakarta, Kamis.
Bahlil menyatakan tidak mau mengeksekusi rencana pemensiunan dini PLTU apabila pembiayaan dari lembaga donor belum diberikan kepada Indonesia.
Ia menegaskan bahwa sikap tersebut merupakan bentuk keinginan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, tanpa harus membebani dana APBN maupun PLN untuk menutup PLTU.
“Masa kita harus memaksa dana APBN atau PLN membuat bon baru lagi untuk membiayai itu? Kalau tidak ada duitnya, sorry, bos, kami harus memproteksi kebutuhan dalam negeri dulu,” ucap Bahlil.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) Eniya Listiani Dewi menyampaikan bahwa berdasarkan pembahasan tiga menteri, yakni Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan, rencana pensiun dini PLTU masih perlu dikaji.
Selain itu, Eniya menjelaskan saat ini sedang berlangsung pendampingan oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) untuk membuat peta jalan pensiun dini PLTU.
Meskipun demikian, untuk mengeksekusi rencana pensiun dini PLTU, diperlukan pendanaan.
“Pendanaannya ini kan harus kita pastikan full package. Kalau full package itu sampai 4,8 miliar dolar AS. Nah, 4,8 miliar dolar AS ini harus tertulis, harus di depan,” ucap Eniya.
Sebelumnya, Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan penghentian dini semua PLTU batu bara di jaringan PLN tahun 2040 dapat menghindarkan 182.000 kematian dini karena polusi udara, serta mengurangi beban biaya kesehatan hingga 130 miliar dolar AS (sekitar Rp 1.900 triliun).
Meskipun langkah penghentian PLTU ini memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan, beban biaya untuk pensiun dini PLTU, utamanya biaya pensiun aset, penurunan pendapatan pemerintah, serta biaya transisi pekerja diperkirakan mencapai 4,6 miliar dolar AS hingga 2030.
Biaya tersebut meningkat sesuai dengan akselerasi pengakhiran PLTU hingga mencapai 27,5 miliar dolar AS pada rentang waktu 2040–2050.
“Oleh karena itu, dukungan pendanaan internasional menjadi sangat penting untuk memastikan transisi ini berjalan secara adil dan berkelanjutan,” ucap Deon.