"Dalam fit and proper test di DPR saya bahkan cukup mengagumi OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK, itu caranya bagaimana ya tahu-tahu bisa tangkap tangan? Saya ingin OTT bisa diperluas, bisa diperbanyak," kata ketua KPK Agus Rahardjo usai menandatangani pakta integritas seusai melakukan serah terima jabatan di gedung KPK pada 21 Desember 2015.
Agus saat itu mengingatkan agar KPK hanya melakukan OTT untuk pelaku kelas besar.
"Mungkin bisa dibagi kalau ternyata hasil OTT kecil, maka ditangani ke teman yang lain, kalau besar kita tangani sendiri, sebaliknya kalau berbenturan tapi berdampak luas sebaiknya kita ambil. Perkara big fish atau menangani perkara yang kecil itu penting, kalau saya pribadi akan sangat indah kalau bisa memposisikan di kasus-kasus yang besar di KPK sedangkan kasus kecil didelegasikan ke lembaga lain dengan pengawasan dari KPK," tambah Agus.
Agus juga mengaku akan menyatukan visi dan misi kelimanya dalam visi dan misi pimpinan KPK jilid IV dalam satu peta jalan yang akan melibatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan korupsi.
"Insya Allah nanti ada road map untuk rakyat kalau masuk ke puskesmas dan rumah sakit itu harus melakukan apa dan kalau masuk sekolah bagaimana, mudah-mudahan program-program itu ke depan akan kita kedepankan," ungkap Agus.
Bila Agus mengedepankan untuk mendorong OTT, lain lagi Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan yang mendorong adanya koordinasi supervisi (korsup) dengan penegak hukum lain.
"Salah satu fungsi KPK adalah koordinasi dan supervisi, tugasnya itu. Maksudnya kalau nanti ada kasus-kasus di kepolisan yang tidak dijalankan dengan baik atau ada polisi yang nakal-nakal maka fungsi KPK untuk koordinasi dan supervisi, dan juga boleh dilimpahkan," kata Basaria pada acara yang sama.
Implementasi kerja
Meski belum mempublikasikan Peta Jalan yang dijanjikan dalam pemberantasan korupsi, Agus dan empat pimpinan lain selama 300 hari kerja jelas-jelas melakukan peningkatan kegiatan penindakan dengan ditunjukkan dalam 13 kali OTT di berbagai tempat di Indonesia.
OTT pertama dilakukan terhadap anggota Komisi V DPR dari PDI-P Damayanti Wisnu Putranti pada 13 Januari 2016. Ia ditangkap bersama Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama Abdul Khoir, serta dua rekan Damayanti: Dessy A. Edwin serta Julia Prasetyarini. Keempatnya menjadi tersangka korupsi proyek dana aspirasi pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara dengan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dalam pengembangan penyidikan, KPK juga menetapkan anggota Komisi V dari fraksi Golkar Budi Supriyanto dan dari fraksi PAN Andi Taufan Tiro sebagai tersangka sedangkan dari Kementerian PUPR ada Kepala Balai Badan Pembangunan Jalan Nasional IX wilayah Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary ikut menjadi tersangka.
Kedua, pada 12 Februari 2016, KPK melakukan OTT terhadap Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna, pengusaha Ichsan Suaidi dan pengacaranya Awang Lazuardi Embat. Perkara ini adalah suap penundaan pengiriman salinan kasasi Ichsan yang divonis lima tahun penjara oleh MA.
Ketiga, pada 31 Maret 2016, KPK menambankan Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko, Senior Manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno, serta pengusaha Marudut Pakpahan. Ketiganya diduga akan menyuap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu sebesar Rp2 miliar terkait penyelidikan dugaan korupsi yang dilakukan PT Brantas.
Meski Sudi Dandung dan Marudut sudah dinyatakan terbukti bersalah sebagai penyuap, namun KPK hingga saat ini belum menetapkan tersangka penerima suap meski sudah memeriksa Sudung dan Tomo di tingkat penyidikan maupun penuntutan.
Keempat, masih pada 31 Maret 2016, KPK menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Personal Assistant PT Agung Podomoro Land (APL) Trinanda Prihantoro. Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja kemudian juga menyerahkan diri. Ariesman terbukti menyuap Rp2 miliar Sanusi untuk mempercepat pembahasan rancangan peraturan derah reklamasi Teluk Jakarta.
Meski mengkategorikan koruspi ini sebagai "grand corruption" tapi KPK tampak berhenti mengusut kasus ini hanya sampai pada Ariesman dan Sanusi padahal dalam persidangan tampak peran pihak lain seperti pendiri Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan maupun peran Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi dan Ketua Balegda Mohamad Taufik yang juga kakak kandung Sanusi.
Kelima, berselang tidak sampai dua pekan, KPK melakukan OTT kepada Bupati Subang Ojang Sohandi pada 11 April 2016. Ia diamankan bersama dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang Jajang Abdul Holik, dan istri Jajang, Lenih Marliani.
Ketiganya disangka menyuap Jaksa Kejati Jabar yang menangani perkara itu yaitu Devianti Rochaeni dan Fahri Nurmalo. Dalam pengembangannya, Ojang juga disangkakan menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang.
Keenam, pada 20 April 2016, KPK melakukan OTT terhadap panitera Pengadilan Jakarta Pusat Edy Nasution. Ia disangkakan menerima suap Rp150 juta dari pengusaha Doddy Aryanto Supeno untuk mengurus tiga perkara yang dihadapi Lippo Group di PN Jakarta Pusat.
KPK pun sudah menggeledah rumah Sekretaris MA Nurhadi, namun KPK tampak kehilangan arah karena tidak kunjung menemukan supir Nurhadi bernama Royani yang menjadi penghubung kegiatan Nurhadi selama ini.
KPK juga tidak menemukan komisaris Lippo Grup Eddy Sindoro yang dalam setiap pemeriksaan saksi di penyidikan dan penuntutan disebut sebagai orang yang paling punya inisiatif dalam mengatur perkara di pengadilan dan MA.
Ketujuh, masih terkait tubuh pengadilan, KPK menangkap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba, Panitera Pengganti PN Bengkulu Badarudin Bacshin, Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu Toton, mantan Kabag Keuangan RS M. Yunus Safri Safei, dan mantan Wakil Direktur Umum, dan Keuangan RS M.Yunus Edi Santoni pada 23 Mei 2016.
Hakim Janner dan Toton diduga menerima Rp780 juta dalam perkara tipikor dalam terkait honor Dewan Pembina RSUD M. Yunus Kota Bengkulu TA 2011 yang melibatkan Edi Santoni dan Safri.
Kedelapan, KPK pada 15 Juni 2016 melakukan OTT terhadap kakak pedangdut Saipul Jamil, Samsul Hidayatullah bersama pengacara Saipul Berthanatalia Ruruk Kariman dan Kasman Sangaji, dan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi.
Samsul, Bertha dan Kasman diduga menyuap Rohadi sebesar Rp300 juta untuk mengatur majelis hakim dan mengurani putusan Saipul dalam perkara asusila. Dalam pengembangannya, KPK juga menetapkan Rohadi sebagai tersangka penerimaan gratifikasi karena ditemukan uang Rp700 juta di mobil Rohadi saat OTT padahal bukan dari Samsul cs.
Rohadi yang bergaji Rp8 juta per bulan itu juga disangkakan tindak pidana pencucian uang karena memiliki sejumlah rumah mewah di Jakarta hingga rumah sakit, kapal dan usaha rental mobil di Indramayu.
Kesembilan, pada 28 Juni 2016 KPK mengamankan anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Demokrat I Putu Sudiartana bersama dengan staf ahlinya Noviyanti, orang dekat Sudiartana Suhemi, Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Suprapto dan Pengusaha Yogan Askan.
Putu diduga menerima Rp500 juta untuk meloloskan Dana Alokasi Khusus (DAK) kegiatan sarana dan prasarana penunjang tahun anggaran 2016 untuk provinsi Sumatera Barat. Dalam persidangan juga terungkap Rp500 juta itu juga ingin disetorkan kepada Partai Demokrat.
Kesepuluh, anggota PN Jakarta Pusat kembali tertangkap pada 30 Juni 2016. Kali ini KPK melakukan OTT terhadap panitera Santoso bersama dengan staf Wiranatakusumah Legal & Consultant Ahmad Yani, selanjutnya pemilik firma hukum tersebut yaitu Raoul Adhitya Wiranatakusumah menyerahkan diri beberapa hari selanjutnya.
Keduanya disangkakan menyuap sebesar 28 ribu dolar Singapura kepada dua hakim PN Jakpus Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya melalui Santoso. Partahi adalah anggota majelis hakim dalam perkara terdakwa Jessica Kumala Wongso dituntut 20 tahun penjara karena dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, sedangkan Casmaya adalah hakim yang juga banyak menangani perkara korupsi salah satunya anggota majelis hakim dalam perkara suap kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu.
Ke-11, KPK menangkap Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, Kasubag Rumah Tangga Pemkab Banyuasin Rustami, Kepala Dinas Pendidikan Banyuasin Umar Usman, Kepala Seksi Pembangunan Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Banyuasin Sutaryo, Pengusaha Kirman, dan Pemilik CV Putra Pratama Zulfikar Muharrami pada 4 September 2016. Yan Anton disangka menerima Rp1 miliar dari pengusaha untuk biaya ibadah haji bagi dirinya dan istrinya.
Ke-12, KPK pada 17 September 2016 mengamankan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman bersama dengan Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi karena diduga menerima Rp100 juta sebagai ucapan terima kasih karena Irman memberikan rekomendasi ke Bulog agar Xaverius dapat memperoleh jatah untuk gula impor di Sumbar.
Selain ketiganya, KPK juga menetapkan jaksa Kejati Sumbar Farizal sebagai tersangka karena diduga menerima Rp365 juta dari Xaveriandy sebagai jaksa yang mengusut perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton di mana Xaverius merupakan terdakwanya.
Ke-13, KPK mengamankan Ketua Komisi A DPRD Kebumen dari fraksi Partai Demokrat Yudhy Tri H dan Pegawai Negeri Sipil Dinas Pariwisata Pemerintah Kabupaten Kebumen Sigit Widodo karena diduga menerima Rp750 juta terkait proyek pengadaan di Dinas Pendidikan dan Dinas Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kebumen dengan total nilai proyek Rp4,8 miliar.
Selain itu KPK mengamankan empat orang lain yang masih berstatus saksi yaitu Ketua Fraksi PDI-Perjuangan DPRD Kebumen Dian Lestari, anggota DPRD Kebumen dari fraksi PAN Suhartono, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kebumen Andi Pandowo serta Direktur PT OSMA cabang Kebumen Salim.
Namun baru Yudhy dan Sigit yang ditetapkan sebagai penerima suap. KPK belum menetapkan pemberi suap dan baru menghimbau Direktur PT OSMA yang berada di Jakarta, Hartoyo untuk datang ke KPK dan memberikan klarifikasi.
Dari sisi kuantitas, perkara OTT memang meningkat, tapi apakah dari sisi kualitas OTT juga terjadi perbaikan ditinjau dari subjek, besaran suap hingga perkara yang ditangani?
Apakah KPK tidak lagi memprioritaskan aktor-aktor intelektual seperti yang pernah dilakukan pada kepemimpinan jilid III dengan penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, penetapan tersangka mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Menteri ESDM Jero Wacik, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq hingga mantan Kakorlantas Polri Djoko Susilo? Dan cukup mengamankan para panitera, pengusaha, kepala dinas, kasubdit maupun anggota DPRD?
Selain bidang penindakan, di bidang pencegahan, KPK membentuk Gerakan Nasional untuk Mewujudkan Kedaulatan Energi melalui Koordinasi dan Supervisi Pengelolaan Sektor Energi bersama empat kementerian dan 32 provinsi; meneruskan Gerakan Nasional Saya Perempuan Anti Korupsi (GN SPAK) yang ingin mengoptimalkan peran perempuan dalam masyarakat untuk menciptakan kondisi bebas dari korupsi; meluncurkan permainan Sahabat Pemberani: Permainan Kejujuran yang dapat diunduh secara gratis melalui Google Play.
Selanjutnya ada juga peluncuran media pembelajaran antikorupsi berbasis online, yakni Portal Anti Corruption Learning Center (ACLC); menandatangani perjanjian kerja sama tentang pemanfaatan informasi dan publikasi dengan tujuh perguruan tinggi terkait pemanfaatan publikasi lokal yang diterbitkan masing-masing lembaga; memperkenalkan aplikasi JAGA yang diunduh melalui play store untuk mencegah korupsi di sektor pelayanan publik seperti terhadap sekolah, rumah sakit, puskesmas dan fasilitas publik lain.
Masih ada kerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyediaan dan pemanfaatan data, informasi statistik, pengembangan metodologi, sistem informasi statistik, dan sumber daya manusia termasuk dengan melaksanakan Survei Penilaian Integritas di kementerian/lembaga/pemerintah daerah; menggelar Festival Anak Jujur hingga meluncurkan gerakan Profesional Berintegritas (PROFIT) yang akan menjadi landasan operasional BUMN, swasta dan sektor bisnis dalam gerakan antikorupsi.
Dari program-program pencegahan itu memang tampak berbasis teknologi informasi seperti yang pernah disampaikan oleh Agus pada masa-masa awal menjabat.
"Kalau hari ini baru ada e-procurement dan seharusnya ada e-budgeting, berikutnya ada e-monitoring. Kalau diterapkan di seluruh Indonesia, Anda akan lihat e-planning dan e-budgeting. Kita akan secara partisipatif mengontrol dan melakukan koreksi, memberikan input, mengkritik jalannya pemerintahan yang sedang berjalan," ungkap Agus pada 1 Januari 2016.
Dalam perbaikan sistem, KPK hingga saat ini masih berupaya meloloskan pemidanaan sektor korporasi dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Perma dibutuhkan agar ada hukum acara yang mewadahi pengusutan tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi.
PR KPK
Selain melakukan sekian banyak OTT dan pengembangan penyelidikan dan penyidikan, sesungguhnya masih banyak pekerjaan rumah (PR) KPK termasuk yang sudah naik ke tingkat penyidikan seperti kasus pengadaan atau peningkatan sarana prasarana Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) di Hambalang tahun anggaran 2010-2012 dengan tersangka adik mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, Andi Zulkarnaen Mallarangeng Choel Mallarangeng.
Masih ada juga kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) tahun 2010 dengan tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino yang ditetapkan sebagai tersangka pada 15 Desember 2015. RJ Lino diduga memerintahkan pengadaan tiga quay container crance dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari China sebagai penyedia barang. KPK juga sudah memenangkan praperadilan yang diajukan oleh Lino.
Selanjutnya dalam kasus tindak pidana korupsi pengadaaan alat kesehatan (Alkes) tahap I tahun 2007 dan korupsi pengadaan alat kesehatan "buffer stock" untuk kejadian luar biasa 2005 dengan tersangka mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang sudah lebih dari dua tahun proses belum ada perkembangan hingga Siti Fadilah pun mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan.
Sedangkan di tingkat penyelidikan masih teronggok dua kasus besar yaitu penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Laksamana Sukardi.
Dari Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara karena tidak dikembalikan kepada negara, tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.
Selanjutnya KPK juga belum menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Baru mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya yang divonis 15 tahun dan denda Rp1 miliar padahal Budi Mulya dalam perkara itu dituntut bersama-sama dengan Boediono sebagai Gubernur BI, Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Dubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjriah, S Budi Rochadi, Harmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono dan Ardhayadi Mitroatmodjo masing-masing selaku Deputi Gubernur BI dan saksi Raden Pardede selaku sekretaris KSSK.
Setelah 300 hari
Berdasarkan penjelasan UU No 30 tahun 2002 tentang KPK, pembentukan KPK dilatarbelakangi oleh tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun.
Bebas dari kekuasaan manapun menjadi modal tidak ternilai agar KPK punya prioritas dengan rasionalitas yang sehat dalam mengusut kasus-kasus yang jelas-jelas melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat luas, bukan masyarakat setempat.
Seperti yang disampaikan oleh kriminolog CLyaton A Hartjen, "It doesnt matter what the law says, what matters is what the guy behind the desk interprets the law to say".
Editor: Aditia Maruli