Jakarta (Antara News) - Perkembangan demokrasi Indonesia yang mendapat pujian dari berbagai kalangan di luar negeri merupakan buah dari reformasi pada 1998 dengan keyakinan untuk mengurangi korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga kehidupan bernegara menjadi lebih adil bagi rakyat.
Salah satu pujian yang dialirkan berbagai pihak terhadap Indonesia terkait dengan proses pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah yang menerapkan pilihan langsung oleh konstituen tanpa perwakilan. Kondisi ini memungkinkan pemilu di Indonesia menjadi pemilu terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India.
Pascareformasi 1998 pemilihan kepala daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota tidak lagi hanya terjadi di ruang sidang paripurna DPRD. Rakyat dengan hak suaranya datang dan memberikan suaranya langsung dalam proses pemungutan suara kepada calon kepala daerah yang akan mereka pilih.
Dengan pola pemilihan kepala daerah seperti ini semua pihak berharap pemimpin daerah yang terpilih merupakan sosok yang betul-betul pilihan rakyat karena tidak melakukan tindakan yang melawan hukum, memperhatikan kepentingan masyarakat dan menjalankan pemerintahan dengan transparan dan jujur.
Dalam perkembangannya, terutama terkait pilkada serentak tahap kedua pada Februari mendatang, ada wacana tentang diperbolehkannya calon peserta pilkada yang memiliki status hukuman percobaan.
Wacana ini sontak mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak. Bagi pihak yang tak berkeberatan, wacana ini merupakan wujud pelaksanaan demokrasi yang adil dan kesamaan hak bagi semua kalangan. Sementara bagi pihak yang menolak, wacana ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pelaksanaan pemerintahan yang jujur, bersih, dan bebas korupsi.
PDI Perjuangan berpandangan seseorang yang telah divonis pengadilan dengan hukuman tetap maupun percobaan tidak boleh maju sebagai calon kepala daerah pada pilkada serentak 2017.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto berpandangan apakah divonis hukuman tetap maupun percobaan, substansinya sama saja yakni bersalah.
Hasto menegaskan, seseorang yang bersalah agar tidak maju sebagai calon kepala daerah adalah aspirasi rakyat dan telah diatur dalam UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
"Bagi PDI Perjuangan, berpolitik harus sesuai dengan aspirasi rakyat," katanya.
Hasto menambahkan sikap PDI Perjuangan sejalan dengan sikap KPU yang tidak membolehkan sesorang yang bersalah maju sebagai calon kepala daerah.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR, Didik Mukrianto mengatakan fraksinya menolak aturan terpidana maju dalam pilkada karena seorang kepala daerah harus memiliki integritas dan reputasi yang baik.
Didik mengatakan partainya ingin meningkatkan mutu demokrasi dan melahirkan calon kepala daerah yang memiliki integritas kuat dan reputasi yang bagus.
Dia mengatakan ke depan kepala daerah harus bisa merepresentasikan kepentingan rakyat dan melahirkan kebijakan serta keputusan yang berpihak pada masyarakat.
Didik menegaskan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mensyaratkan keterbukaan bagi calon kepala daerah yaitu orang tidak terpidana atau pernah terpidana mengumumkan kepada publik sebagai syarat keterbukaan.
Senada dengan PDI Perjuangan dan Partai Demokrat, Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR Dadang Rusdiana menegaskan fraksinya menolak apabila seorang terpidana atau terpidana percobaan ikut serta dalam pilkada karena seorang pemimpin harus memiliki integritas dan terpercaya.
Hanura menilai seorang pemimpin harus punya integritas dan terpercaya, bila seorang pemimpin nanti terpilih berstatus terpidana, tentu akan menjadi masalah tersendiri.
Dia menjelaskan kalau terjadi reaksi dari publik, akan berdampak pada stabilitas di daerah karena seorang pemimpin membutuhkan dukungan rakyat.
Menurut dia, apabila kasus hukum seorang kepala daerah selalu diungkit, tentu jalannya pemerintahan tidak akan efektif ketika ada keraguan di masyarakat.
Fraksi Hanura menolak bila terpidana bisa ikut pilkada. Terlepas jika ada ayat 14c yang kemudian di situ dijelaskan bahwa hakim menentukan syarat-syarat khusus bagi terpidana khusus tidak boleh kemudian mengganggu hak atau membatasi kebebasan berpolitik dan kebebasan beragama, kata Dadang.
Dia mengingatkan bahwa dalam konteks pilkada, butuh seorang pimpinan yang kuat dan tidak menimbulkan kontroversi yang berdampak pada tidak efektifnya pemerintahan itu.
Kepercayaan Rakyat
Adanya peluang bagi mereka yang dipidana dengan hukuman percobaan untuk maju sebagai calon kepala daerah dalam pilkada memang menjadi perdebatan.
Pemerintah menyerahkan boleh tidaknya aturan tersebut kepada Komisi Pemilihan Umum. KPU sendiri atas wacana itu kemudian menyiapkan mekanisme yang mengatur agar hal tersebut tidak disalahgunakan atau menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pilkada yang akan menghasilkan pemimpin yang bersih.
Pakar hukum Universitas Trisakti Yenti Garnasih mengatakan seorang calon peserta pilkada yang memiliki status terpidana berpotensi melanggar undang-undang.
Ia menilai terpidana hukuman percobaan adalah terpidana yang oleh majelis hakim dengan pertimbangan tertentu tidak menjalani hukuman penjara. Meskipun seseorang tersebut tidak menjalani hukuman penjara tapi dia adalah terpidana.
Menurut dia, pada pasal 7 ayat (2) UU No 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota atau UU Pillada tidak membedakan terpidana hukuman tetap dan terpidana hukuman percobaan.
Pasal 7 Ayat (2) butir g UU Pilkada tertulis: "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".
Menurut Yenti, dalam pasal tersebut telah menyebutkan secara jelas tidak membedakan hukuman tetap dan hukuman percobaan serta tidak membatasi masa hukuman.
Wacana bisa saja bergulir menjadi sebuah aturan, namun yang harus diingat, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan pemungutan suara langsung dari masyarakat yang memiliki hak pilih sehingga keputusan akhir seseorang mendapatkan suara mayoritas untuk menduduki kursi kepala daerah tentunya ada di tangan rakyat.