Kendari (ANTARA) - Indonesia menegaskan posisinya sebagai pemain utama dalam peta transisi energi global melalui peran strategis sektor mineral kritis seperti nikel dan tembaga. Komitmen tersebut mengemuka dalam sesi dialog bertajuk “Indonesia at the Epicenter of Critical Minerals: Nickel, Copper, and the Global Energy Transition” yang diselenggarakan oleh PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale) pada ajang Indonesia International Sustainability Forum (IISF) di Jakarta.
Sesi yang mempertemukan para pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, industri, dan lembaga keberlanjutan itu membahas bagaimana Indonesia dapat mengelola potensi besar sumber daya mineralnya secara berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan bagi masyarakat.
Acara berdurasi 90 menit tersebut dimoderatori oleh Ashwin Balasubramanian, Partner di McKinsey & Company, dengan menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Presiden Direktur & CEO PT Vale Indonesia Bernardus Irmanto, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Dr. Ing. Tri Winarno, General Manager Huayou Indonesia David Wei, Head of Corporate Communications PT Merdeka Copper Gold Tbk Tom Malik, dan Deputy Director Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) Rebecca Burton.
Dalam diskusi tersebut, Bernardus Irmanto menyampaikan bahwa Indonesia berada di garis depan dalam memenuhi kebutuhan mineral kritis dunia, khususnya nikel dan tembaga yang menjadi fondasi bagi kendaraan listrik dan energi terbarukan.
“Mineral kritis merupakan fondasi dari transisi energi global, dan Indonesia berada di pusatnya. Misi kami bukan hanya memenuhi permintaan global, tetapi melakukannya secara bertanggung jawab — memastikan keberlanjutan, transparansi, dan pemberdayaan masyarakat menjadi landasan kontribusi Indonesia bagi masa depan dunia yang net-zero,” ujar Bernardus.
Sementara itu, Dr. Ing. Tri Winarno menegaskan bahwa pemerintah terus memperkuat kebijakan hilirisasi dan dekarbonisasi dengan menempatkan keberlanjutan sebagai bagian dari strategi nasional.
“Komitmen Indonesia terhadap pengelolaan mineral yang bertanggung jawab sangat jelas. Kita harus mendorong pertumbuhan industri tanpa mengorbankan keseimbangan lingkungan,” katanya.
Dari sisi industri global, David Wei, General Manager Huayou Indonesia, menilai bahwa keberlanjutan kini menjadi tolok ukur kredibilitas dalam bisnis mineral.
“Kolaborasi dengan PT Vale menunjukkan bagaimana kemitraan industri dapat membangun rantai pasok yang bertanggung jawab, mengurangi karbon, dan memberikan kesejahteraan bersama,” ujarnya.
Sementara itu, Tom Malik dari PT Merdeka Copper Gold Tbk menuturkan bahwa perusahaan memastikan pertumbuhan sejalan dengan prinsip-prinsip ESG (Environment, Social, and Governance).
“Kami memastikan ekspansi perusahaan selaras dengan standar keberlanjutan global, terutama dalam pengelolaan air, perlindungan keanekaragaman hayati, dan keterlibatan masyarakat,” jelasnya.
Dari perspektif lembaga internasional, Rebecca Burton dari IRMA mengapresiasi langkah PT Vale yang menempuh sertifikasi IRMA sebagai salah satu perusahaan tambang pertama di Indonesia. Menurutnya, hal itu mencerminkan komitmen nasional terhadap praktik pertambangan yang transparan dan bertanggung jawab.
“Kepemimpinan Indonesia dalam mineral kritis adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa pertumbuhan dan tanggung jawab dapat berjalan beriringan,” ujar Burton.
Ia menambahkan, penerapan standar seperti IRMA memungkinkan nikel dan tembaga dari Indonesia diakui secara global sebagai hasil tambang yang dikelola dengan menghormati manusia dan alam.
Sesi diskusi ini ditutup dengan penegasan komitmen bersama bahwa kepemimpinan Indonesia dalam sektor mineral harus berorientasi pada nilai dan standar keberlanjutan, bukan semata pada besarnya volume produksi.
“Potensi sejati Indonesia terletak pada kemampuannya untuk memimpin bukan hanya dengan skala, tetapi juga dengan standar,” pungkas Bernardus.

