Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah 2024 untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah merupakan putusan yang berani dan tepat.
"Saya percaya dengan model persidangan yang terbuka untuk publik, putusan akhir MK terkait dengan PHPU tidak sembarangan, terlebih sorotan publik akhir-akhir ini sangat kuat," kata Toha dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Toha menyebutkan total 15 daerah yang wajib melaksanakan PSU, 9 daerah PSU di sejumlah TPS, dan 2 daerah pilkada ulang karena kemenangan kotak kosong.
Menurut dia, biaya untuk menggelar kembali PSU di 24 daerah mencapai Rp1 triliun.
Berdasarkan RDPU di DPR RI pada hari Kamis (27/2), KPU mengajukan anggaran sebesar Rp486 miliar dan Bawaslu Rp206 miliar untuk kembali melaksanakan PSU di 24 daerah imbas dari putusan akhir MK pada hari Senin (24/2).
"Dana tersebut belum termasuk dua pilkada ulang akibat kemenangan kotak kosong di Kota Padang Sidempuan dan Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditaksir semua menjadi kurang lebih Rp1 triliun," ujarnya.
Meski begitu, Toha yang membidangi urusan dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur mengakui MK telah menjadi lembaga tinggi negara yang berwenang mengadili perkara-perkara tertentu, termasuk PHPU dengan mempraktikkan prinsip audi et alteram partem.
Dalam pergelaran sidang PHPU, mulai saat pendaftaran sampai sidang akhir putusan, semua pihak bebas mengadu (fair), persidangan dibuka dan terbuka untuk umum, live TV, dan dapat diakses berbagai kanal (transparan), serta terbukti putusannya tidak pandang bulu (equality before the law).
"Respons bijak atas putusan MK seharusnya tidak dilihat kepada siapa sanksi itu dijatuhkan, tetapi perkara aduan, bukti-bukti persidangan, dan kesaksian saksi atau saksi ahli," jelas Toha
Wakil rakyat yang berada di komisi yang membidangi pemerintah dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur ini juga mengingatkan bahwa putusan MK itu final dan mengikat (final and binding).
Toha menghargai segelintir pendapat yang menyoal dasar putusan MK, misalnya pada perkara keabsahan persyaratan pencalonan yang pasti putusan itu sudah dijatuhkan dan semua pihak harus menghargai.
"Putusan ini harus menjadi pelajaran terbaik untuk kinerja penyelenggara pemilu agar lebih profesional," ucapnya.
Di sisi lain, Toha menyayangkan putusan MK terkait dengan PHPU bukan hanya karena kesalahan penghitungan suara, pencurian suara, penghilangan suara, dan perubahan status suara sah menjadi tidak sah atau yang tidak sah menjadi sah.
Ia merasa terjadi kesalahan administrasi di awal tahapan, bahkan ada yang terjadi karena pelanggaran netralitas pejabat negara.
"Kesalahan administrasi kategori malaadministrasi dan dapat dipidana. Pun dengan pelanggaran netralitas oleh pejabat negara, pejabat daerah, dan TNI/Polri dalam pilkada juga dapat diberi sanksi pidana," pungkas dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Anggota DPR: Putusan MK pilkada ulang di 24 daerah tepat