Peneliti Nyamuk Ber-Wolbachia Universitas Gadjah Mada dr. Riris Andono Ahmad MPH. Ph.D mengatakan pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dapat menurunkan bahkan mengabaikan peluang peningkatan bahaya dalam 30 tahun ke depan.
“Pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, di mana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan,” kata Riris saat dikonfirmasi ANTARA, Senin (11/11).
Direktur pusat kedokteran tropis Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK KMK) UGM ini mengatakan dalam jurnalnya bahwa Wolbachia tidak menginfeksi manusia dan tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain juga tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.
Ia menuliskan bahwa Wolbachia merupakan bakteri alami di serangga yang juga ada pada sekitar 6 dari 10 jenis serangga di dunia termasuk kupu-kupu, lalat buah dan lebah.
Wolbachia yang disuntikkan dalam tubuh nyamuk aedes aegypti dapat menurunkan replikasi virus dengue sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk sebagai vektor dengue.
Salah satu metode pelepasan Wolbachia adalah saat nyamuk jantan yang disuntikkan bakteri Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia maka telur tidak akan menetas, sehingga memberikan dampak penurunan populasi. Atau dengan metode pelepasan nyamuk jantan dan betina ber-Wolbachia agar menghasilkan telur nyamuk dengan Wolbachia.
Manfaat pelepasan teknologi nyamuk ber-Wolbachia sukses dilakukan di Yogyakarta, di mana hasilnya menurunkan 77 persen kasus dengue dan penurunan fogging sebesar 83 persen di area pelepasan.
Strategi ini secara paralel dilakukan Kementerian Kesehatan untuk penanggulangan dengue secara nasional dan teknologi Wolbachia telah merupakan bagian dari inovasi program pengendalian dengue. Maka dari itu, Riris mengatakan Kemenkes akan melanjutkan program ini di lima kota di Indonesia lainnya untuk menurunkan angka kasus DBD.
“Saat ini Kementerian Kesehatan sedang melakukan pilot projek implementasi di 5 Kota di Indonesia. Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Bontang dan Kupang,” katanya.
Dukungan dari masyarakat dan pemerintah daerah juga diharapkan agar penerapan teknologi ini bisa di implementasikan untuk menurunkan kejadian kasus DBD. Hal ini seperti peletakan ember berisi telur nyamuk yang dilakukan oleh para kader masyarakat dan LSM dengan supervisi teknis.
Direktur pusat kedokteran tropis Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK KMK) UGM ini mengatakan dalam jurnalnya bahwa Wolbachia tidak menginfeksi manusia dan tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain juga tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.
Ia menuliskan bahwa Wolbachia merupakan bakteri alami di serangga yang juga ada pada sekitar 6 dari 10 jenis serangga di dunia termasuk kupu-kupu, lalat buah dan lebah.
Wolbachia yang disuntikkan dalam tubuh nyamuk aedes aegypti dapat menurunkan replikasi virus dengue sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk sebagai vektor dengue.
Salah satu metode pelepasan Wolbachia adalah saat nyamuk jantan yang disuntikkan bakteri Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia maka telur tidak akan menetas, sehingga memberikan dampak penurunan populasi. Atau dengan metode pelepasan nyamuk jantan dan betina ber-Wolbachia agar menghasilkan telur nyamuk dengan Wolbachia.
Manfaat pelepasan teknologi nyamuk ber-Wolbachia sukses dilakukan di Yogyakarta, di mana hasilnya menurunkan 77 persen kasus dengue dan penurunan fogging sebesar 83 persen di area pelepasan.
Strategi ini secara paralel dilakukan Kementerian Kesehatan untuk penanggulangan dengue secara nasional dan teknologi Wolbachia telah merupakan bagian dari inovasi program pengendalian dengue. Maka dari itu, Riris mengatakan Kemenkes akan melanjutkan program ini di lima kota di Indonesia lainnya untuk menurunkan angka kasus DBD.
“Saat ini Kementerian Kesehatan sedang melakukan pilot projek implementasi di 5 Kota di Indonesia. Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Bontang dan Kupang,” katanya.
Dukungan dari masyarakat dan pemerintah daerah juga diharapkan agar penerapan teknologi ini bisa di implementasikan untuk menurunkan kejadian kasus DBD. Hal ini seperti peletakan ember berisi telur nyamuk yang dilakukan oleh para kader masyarakat dan LSM dengan supervisi teknis.