"Infrasound dikenal sejak fenomena letusan Gunung Krakatau pada abad ke-18. Para scientific engineer mendeteksi (letusan gunung) dari instrumentasi sederhana," kata Peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN Mario Batubara melalui keterangan di Jakarta, Senin.
Mario menjelaskan teknologi infrasound mampu mengindikasikan adanya fluktuasi tekanan udara, yang diakibatkan oleh letusan gunung.
Ia menekankan pemanfaatan hasil riset infrasound berpeluang sebagai pendukung dalam mitigasi bencana, di mana fokus riset infrasound di Indonesia berkaitan dengan banyaknya fenomena vulkanis.
Tidak hanya itu, Mario mengungkapkan teknologi infrasound bisa dimanfaatkan untuk bencana alam yang berkenaan dengan fenomena meteor, tsunami, dan gempa bumi, di mana, peristiwa itu menjadi sumber pembangkit alami terhadap gelombang infrasound.
Dalam satu tahun terakhir, ungkap dia, pihaknya masih melakukan uji coba aplikasi dalam dinamika atmosfer, terkait propagasi subsonik dan supersonik.
"Studi infrasound dalam kaitannya pada dinamika atmosfer saat ini cukup berpeluang besar untuk pemanfaatannya," ujarnya.
Mario menyebut penelitian infrasound dilakukan untuk kepentingan spesifikasi parameter atmosfer, khususnya di lapisan atmosfer rendah sampai menengah, di mana parameter ini umumnya banyak diperoleh dari pemodelan matematis, seperti numerical weather prediction.
Diketahui, infrasound merupakan bunyi dengan frekuensi sangat rendah untuk bisa didengar manusia, di mana infrasound memiliki rentang frekuensi antara 20 Hz sampai 0,001 Hz.
Kajian riset infrasound telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Selain digunakan dalam beberapa aplikasi militer, pemanfaatan teknologi ini juga digunakan dalam pengamatan vulkanisme.