Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyetorkan uang Rp3,5 miliar ke kas negara, sebagai pelunasan uang denda dan pengganti dari terpidana korupsi mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
"Tim Jaksa Eksekutor KPK telah melakukan penyetoran ke kas negara pelunasan uang hasil penagihan, dengan total sejumlah Rp3,5 miliar dari terpidana Nur Alam, berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa.
Menurut Ali, upaya penagihan tersebut adalah sebagai optimalisasi asset recovery dari hasil tindak pidana korupsi yang dinikmati para koruptor.
"KPK, melalui Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi, terus aktif melakukan penagihan uang denda maupun uang pengganti terhadap para terpidana korupsi yang perkaranya ditangani KPK," tambahnya.
Nur Alam divonis 12 tahun penjara berdasarkan putusan kasasi Nomor 2633 K/PID.SUS/2018 tanggal 5 Desember 2018.
Nur Alam adalah terpidana kasus tindak pidana korupsi dalam Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2014.
Kasus tindak pidana korupsi yang menyeret Nur Alam itu merugikan keuangan negara sebesar Rp1,59 triliun. Nur Alam juga menerima gratifikasi sebesar Rp40,268 miliar.
Vonis itu berkurang dari putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memutuskan Nur Alam divonis 15 tahun penjara. Putusan tingkat pertama, pada 28 Maret 2018, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Nur Alam 12 tahun penjara.
Nur Alam pernah mengajukan peninjauan kembali (PK) sebanyak dua kali, yang keduanya ditolak oleh Mahkamah Agung. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp2,781 miliar dan dicabut hak politiknya selama lima tahun terhitung sejak selesai menjalani hukumannya.
Pidana pengganti itu diperhitungkan dengan harga satu bidang tanah dan bangunan di Kompleks Premier Estate Kavling 1 No 9, Cipayung, yang sudah disita. Nur Alam dinilai terbukti bersalah dalam dua dakwaan.
Dakwaan pertama, Nur Alam, sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 dan 2013-2018, bersama dengan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas ESDM Provinsi Sultra Burhanuddin dan Direktur PT Billy Indonesia Widdi Aswindi memberikan persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB), sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp1,5 triliun.
Dakwaan kedua, Nur Alam terbukti menerima gratifikasi sebesar 4,499 juta dolar AS atau senilai Rp40,268 miliar. Uang itu diterima sebesar 2,499 juta dolar AS pada September-Oktober 2010, yang ditempatkan di rekening AXA Mandiri Financial Service dari rekening Chinatrust Commericial Bank Hongkong atas nama Richcorp International Ltd.