Jakarta (ANTARA) - Seorang petugas KPK menggeret koper mewah merek Louis Vuitton (LV) untuk ditunjukkan kepada wartawan saat penyampaian keterangan terkait kasus dugaan suap perizinan budidaya benih lobster di gedung KPK pada Kamis (26/11) dini hari.
Koper itu lalu dijejerkan dengan barang bukti lain yang didapat dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan 16 orang lainnya.
Barang bukti lain itu termasuk jam tangan merek Rolex, kartu ATM BNI, tas tangan Chanel, dompet LV, sepasang sepatu hitam hingga sepeda balap merek Specialized S-Works.
Barang-barang mewah tersebut diduga adalah bagian dari Rp3,4 miliar yang diperuntukkan untuk Edhy Prabowo; istri Edhy, Iis Rosyati Dewi; Staf Khusus Edhy sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Safri; dan staf khusus Menteri KKP Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Andreau Pribadi Misata.
Oleh Edhy dan Iis, uang tersebut digunakan untuk berbelanja barang-barang mewah antara lain jam tangan Rolex, tas Tumi, tas LV, baju Old Navy saat Edhy melakukan kunjungan kerja ke Honolulu, Amerika Serikat, pada 21 - 23 November 2020.
Pengurusan izin
Menteri KKP Edhy Prabowo pada 4 Mei 2020 diketahui membuka keran ekspor benih lobster dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Permen tersebut sekaligus meniadakan Permen No. 56 Tahun 2016 yang dibuat mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti yang membatasi penangkapan lobster dan melarang perdagangan benih lobster (benur).
Edhy pada 14 Mei 2020 kemudian menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.
Edhy menunjuk Andreau Pribadi Misata selaku Staf Khusus Menteri juga selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) dan Safri selaku Staf Khusus Menteri sekaligus menjabat selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence).
Salah satu tugas dari tim adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.
Selanjutnya pada awal Oktober 2020, Suharjito selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu dengan Safri.
Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui perusahan kargo PT Aero Citra Kargo (ACK) dengan biaya angkut Rp1800/ekor yang merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin (Sespri menteri KKP) dengan Andreau dan Siswadi (pengurus PT ACK).
Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp731.573.564.
Selanjutnya PT DPP atas arahan Edhy melalui Tim Uji Tuntas memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster/benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT ACK.
Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri dari Amiril Mukminin dan Ahmad Bahtiar yang diduga merupakan "nominee" dari Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja.
Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening Amiril Mukminin dan Ahmad Bahtiar masing-masing dengan total Rp9,8 miliar.
Selanjutnya pada 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Fiqih sebesar Rp3,4 milyar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy Prabowo, Iis Rosyati Dewi, Safri dan Andreau.
Di samping itu pada Mei 2020, Edhy juga diduga telah menerima sejumlah uang sebesar 100 ribu dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril Mukminin.
KPK pun menetapkan 7 orang tersangka dalam perkara ini yaitu sebagai tersangka pemberi adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Andreau Pribadi Misata, Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Safri, pihak swasta yang juga Sekretaris pribadi menteri KKP Amiril Mukminin, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi dan staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih.
Sedangkan sebagai tersangka pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito.
Perusahaan pengekspor
Dari laman KKP diketahui lebih dari 20 perusahaan telah diverifikasi dan 15 di antaranya sudah mengekspor benih lobster.
Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain adalah CV Sinar Lombok, CV Guntur Jaya Perkasa, CV Nusantara Berseri, CV Setia Widara, PT Alam Laut Agung, PT Royal Samudera Nusantara, PT Samudera Bahari Sukses, PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Gerbang Lobster Nusantara, PT Agro Industri Nasional (Agrinas).
PT Grahafoods Indo Pasifik, PT Indotama Putra Wahana, PT Nusa Tenggara Budidaya, PT Bima Sakti Mutiara, UD Samudera Jaya, PT Natuna Prima Kultur, PT Tania Asia Marina, PT Bahtera Damai Internasional, PT Dua Putra Perkasa dan PT Mina Jaya Wysia dengan jumlah pengiriman bervariasi antara 2.000 ekor - 70.851 ekor benur.
Benih lobster yang dikirim adalah benih lobster jenis mutiara dan jenis pasir.
Beberapa perusahaan tersebut diduga punya kaitan dengan beberapa kader partai asal Edhy Prabowo yaitu Partai Gerinda.
Misalnya PT Royal Samudera Nusantara yang komisaris utamanya adalah Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, organisasi sayap Partai Gerindra, Ahmad Bahtiar Sebayang. Bahtiar juga menjadi Kepala Departemen Koordinasi dan Pembinaan Organisasi Sayap.
Selanjutnya PT Bima Sakti Mutiara yang direktur utamanya adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang juga calon Wakil Wali kota Tangerang Selatan. Sedangkan pemilik perusahaan tersebut adalah ayah Rahayu yang juga adik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo.
Masih ada PT Agro Industri Nasional (Agrinas). Pada susunan direksi di laman perusahaan tersebut disebutkan Rauf Purnama menjabat sebagai direktur utama. Rauf diketahui adalah anggota Dewan Pakar tim kampanye Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada pilpres 2019.
Di kursi wakil direktur utama ada Dirgayuza Setiawan yang juga menjabat Ketua Bidang Media Sosial dan Informasi Publik DPP Partai Gerindra sedangkan anggota Dewan Pembina Gerindra Simon Aloysius Mantiri menjadi direktur keuangan.
Perusahaan lain adalah PT Nusa Tenggara Budidaya yang dimiliki politikus senior yaitu Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah. Perusahan itu baru didirikan pada April 2020.
Masih ada PT Alam Laut Agung yang pemiliknya adalah politikus PKS sekaligus calon bupati Lombok Tengah Lalu Suryade.
Sementara lokasi PT Dua Putra Perkasa (DPP) di Tangerang juga pernah disidak oleh Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tb Haeru Rahayu dan Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini pada 28 Oktober 2020.
Sidak dilakukan untuk memastikan kran ekspor Benih Bening Lobster (BBL) yang sudah dibuka oleh KKP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Saat itu tidak menemukan adanya indikasi pelanggaran.
Berdasarkan laporan perusahaan-perusahaan itu, harga benih lobster jenis pasir antara Rp7.000/ekor – Rp14.000/ekor. Sementara benih lobster jenis mutiara, harganya antara Rp26.000/ekor – Rp34.000/ekor.
Permasalahan Ekspor
Sejak Permen Kelautan dan Perikanan No 12 tahun 2020 pada 4 Mei 2020 pelaksanaannya bukanlah tanpa masalah.
Pada pasal 5 Permen No. 12 Tahun 2020 tersebut menyebut ekspor benih bening lobster (puerulus) hanya dapat dilakukan dengan melalukan pembudidayaan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat dengan menunjukkan sudah panen berkelanjutan dan telah melepasliarkan lobster sebanyak 2 persen dari hasil pembudidayaan dengan ukuran sesuai hasil panen.
Artinya, ekspor perdana baru bisa dilakukan paling tidak pada 2021 karena setidaknya butuh 8-12 bulan untuk memanen lobster yang dibesarkan dari benih yaitu menghasilkan lobster berukuran 800 gram - 1 kilogram. Namun pada kenyataannya ekspor telah dimulai sejak Juni, sebulan setelah peraturan menteri terbit.
Terkait kuota benur yang diekspor disebutkan dalam pasal 3 Permen No. 12 bahwa kuota dan lokasi penangkapan benur ditetapkan direktorat jenderal yang menyelenggarakan bidang perikanan tangkap.
Maka Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap pada 15 Mei 2020 menyebutkan kuota penangkapan benur adalah 139,47 juta ekor dengan merujuk pada Keputusan Menteri kelautan dan Perikanan No. 50 Tahun 2017 tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan tingkap pemanfaatan sumber daya ikan. Jumlah benih 6 jenis lobster di 11 wilayah perikanan Indonesia sendiri diprediksi 26 miliar ekor.
Penerimaan negara dari ekspor benih lobster juga sangat kecil. Dari ekspor sekitar 100 ribu ekor benih lobster pada 12 Juni 2020 misalnya, negara hanya menerima Rp34.375 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Hal tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2015 menyebutkan PNBP untuk per seribu ekor benur hanya Rp250 sedangkan bila sudah menjadi induk lobster nilai PNBP-nya mencapai Rp97,5 juta.
Masalah hukum lain adalah meski sudah ada Permen 12 tahun 2020, di lapangan tetap ada penyeludupan benur. Contohnya pada 16 September 2020, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengamankan 2,7 juta benur yang hendak dibawa ke Vietnam untuk diekspor melalui bandara Soekarno Hatta.
Sebanyak 315 koli berisi benih lobster yang ditaksir bernilai sekitar Rp36 miliar itu tidak sesuai dengan jumlah yang dicantumkan di dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
Dalam dokumen dicatat ekspor 1,5 juta ekor bibit lobster tapi ternyata ada 2,7 juta ekor sehingga ada selisih 1,2 juta ekor. Artinya dalam pemberitahuan hanya ditulis nilainya Rp20 miliar padahal total nilainya Rp36 miliar.
Untuk itu, bila melihat besarnya potensi ekspor benur di masa mendatang, maka penguatan aturan dan penegakan hukum menjadi penting, sehingga tidak merugikan negara dan masyarakat.