Kendari (ANTARA) - Pakar naskah kuno dan budayawan Universitas Haluoleo (UHO) Kendari Sulawesi Tenggara, Prof. Dr La Niampe, M.Hum mengatakan mempelajari objek kebudayaan seperti ladang emas yang tidak akan habis, sebab semakin dikaji, digali dan dipelajari maka semakin menarik dan memperkaya harga diri manusia akan lebih tinggi dan dihargai.
"Berbeda dengan ladang tambang yang dimiliki setiap daerah, semakin di gali dan diolah maka cepat atau lambat justru akan habis dan merusak lingkungan masyarakat di sekitar," kata La niampe, pada acara seminar/Workshop terkait Program Pelestarian Budaya yang diselenggarakan UPTD Museum dan Taman Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Sultra di Kendari, Sabtu.
Ia mengatakan, sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UHO, mewajibkan para mahasiswanya untuk banyak mengangkat kebudayaan, baik itu budaya lokal di daerah Sultra maupun kebudayaan lain dari luar Sulawesi Tengara dalam kajiannya.
"Tetapi yang anehnya, banyak masyarakat kita seolah-olah malu dan menutup diri untuk mempelajari budayanya sendiri, apalagi itu terkait masalah tradisi, bahasa dan kebiasaan, termasuk identitas khas makanan daerah seperti Mosonggi etnis Tolaki, Kambuse dari Muna dan Kasuami (Buton-Wakatobi)," ujarnya.
La Niampe mengatakan untuk melestarikan kebudayaan tidak cukup bila hanya selalu disuarakan dari kalangan akademisi, tetapi harus terlibat dari berbagai komponen atau lembaga, baik pemerintah, legislatif, tokoh agama, tokoh masyarakat, lembaga adat dan organisasi paguyuban lainnya.
Sebab memajukan kebudayaan daerah. saat ini tidak lagi dilihat sebelah mata karena payung hukumnya sudah ada melalui Undang-Undang nomor.5 tahun 2017 tentang kemajuan kebudayaan. Dimana dalam UU itu mencakup sedikitnya 10 objek kebudayaan diantaranya masalah naskah kuno, tradisi lisan, bahasa, ritual, seni, pengembangan tradisional, dan permainan rakyat lainnya.
Oleh karena itu, kata Prof La Niampe yang juga masuk dalam Tim Perumus Strategi Kebudayaan Indonesia itu, mahasiswa sebagai generasi milenial yang menjadi tonggak dan penerus budaya untuk lebih banyak mempelajari dan mencintai apa itu kebudayaan. Sebab, siapa lagi yang akan mewariskan kebudayaan ini kepada generasi selanjutnya.
Senada dengan hal itu, nara sumber lainnya Rahmat Sewa Suraya, M.Si yang juga dosen FIB UHO Kendari mengatakan Sultra adalah miniatur NKRI. Karena Sultra dihuni oleh kurang lebih 30-an etnik dan setiap etnik memiliki kebudayaannya masing-masing sebagai pandangan hidup mereka.
Bahkan Animo generasi muda dalam meningkatkan kebudayaan juga saat ini cenderung tinggi. Semangat generasi muda baik SMP, SMA dan mahasiswa di perguruan tinggi begitu antusias dalam mengembangkan dan melestarikan budaya-budaya lokal dan tradisi lisan yang telah ada.ma
Seminar sehari yang melibatkan para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di Kendari diikuti sekitar 70-an orang, berlangsung selama dua hari (25-26 Juli 2020), dimana di hari pertama dua narasumber Prof. Dr. La Niampe dan Rahmat Sewa Suraya, MSi dan hari kedua Prof Dr. Sidu Marafat dan Ajemain Surumba, MSi.
Kepala UPTD Museum dan Taman Budaya, Dody Syahrulsyah, SE. MSi mewakili Kadis Dikbud Sultra menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada nara sumber dan peserta yang hadir dalam kegiatan yang dinilai penting itu.
Seminar dan diskusi yang di laksanakan di gedung kesenian Taman Budaya dan para peserta maupun nara sumber tetap menerapkan protokol kesehatan COVID-19 dengan mewajibkan seluruh peserta memakai masker dan tetap menjaga jarak dalam kegiatan itu.*