Kolaka (ANTARA) - "Teguhkan Iman dan bangunkan kembali Korps Kepolisian Seperti sediakala" (RS.Soekanto, 17-12-1959).
Hari ini, tanggal 1 Juli, bangsa kita mengenangnya sebagai hari Bhayangkara. Bhayanghkara Negara, mengambil bahasa Sansekerta, yang berujung jauh pada kejayaan negeri Nusantara. Hampir semua rakyat bangsa ini pernah mendengar nama besar Gadja Mada, ya'... tokoh pemersatu pertama Nusantara, yang bersumpah tidak akan menikmati kehidupan yang enak sebelum seluruh Nusantara berada dibawa panji panji-Majapahit.
Alhasil Gadjah Mada berhasil mengabadikan namanya bak legenda, tetapi hidupnya sendiri entah sampai akhir tetap tidak menikmati kebesaran Majapahit dalam arti hidup tenang dan santai sejahtera bersama anak cucu. Paling tidak sampai saat ini, tidak ada yang pasti dimana nisan terakhir Sang Bhayangkara sejati itu. Apalagi menemukan istana terakhirnya berikut anak cucu pelanjut darah biologisnya.
Bhayangkara itu hilang setelah sumpahnya terpenuhi, karena jiwa dan sumpah bhayangkaranya dia relah kehilangan kedudukan, setia mengawal pemimpin besar Majapahit hingga akhir hayatnya walaupun harus mengorbankan diri dan perasaannya.
Begitulah jiwa satria seorang ksatria negeri yg membentuk pasukan Bhayangkara, pasukan khusus pengawal raja-raja Majapahit, lalu mencetuskan sumpah Palapa saat raja Majapahit memberi kepercayaan untuk menjadi maha patih Majapahit dan kemudian hilang entah kemana saat sumpahnya telah terpenuhi.
Begitulah, kawan nama bhayangkara itu berat, pencetusnya memiliki kepemimpinan dan ketauladanan serta keberanian yang teruji. Berat untuk diikuti tapi layak untuk diteladani semampu kita warga bangsa Nusantara, bukan hanya anggota Polri tetapi semua anak negeri apalagi pengelola negara.
Adalah RS. Soekanto, pemimpin Polri pertama, dialah peletak dasar kepolisian di negara kita. Beliau yang dengan mantap memilih sebutan "Bhayangkara" untuk organisasi yang wajib ada di suatu negara yg eksis menjalankan pemerintahan, ya organisasi polisi, yang wajib menjaga ketertiban dan menegakan peraturan untuk berjalanya roda pemerintahan dalam saat genting, damai dan musibah apapun yang sedang melanda. Bhayangkara mesti terlihat ada. Karena kehadirannya menjadi tanda bahwa "pemerintahan" itu masi ada dan berjalan. Ingat pemerintahan, bukan negara. Karena dalam keadaan genting saat negara dalam bahaya invasi, maka seluruh warga bangsa harus berjuang mengangkat senjata untuk mempertahankan negara di bawah kepemimpinan militer.
Polisi pun berubah menjadi militer dan itu terjadi di negeri kita saat awal pergerakan perebutan dan mempertahankan kemerdekaan, hingga Soekanto beserta jajarannya ditahun 1946 harus pindah ke Yogyakarta mendampingi Ir. Sukarno, kemudian Polri berada di bawah menteri pertahanan dan keamanan. Untuk semangat dan kondisi perjuangan tersebut juga hingga Hoegeng, sempat bergabung dengan AL dan menyandang pangkat Mayor sampai kemudian bertemu Soekanto dan memintanya kembali ke korpsnya Polri. Atas panggilan itu pula M. Yassin, menggerakan pasukannya melawan penjajah di Surabaya dan atas keberaniannya, sehingga panglima besar Jendral Sudirman memanggilnya dan memberikan tugas khusus agar dia dan pasukannya menangkap seorang rekan pejuang yg telah salah arah tapi disegani dan ditakuti oleh para pemimpin pasukan lainnya saat itu.
Ya. M. Yasin sempat mengajukan keberatan kepada panglima kenapa harus dia dan pasukannya, tapi dijawab oleh panglima bahwa engkau dan pasukannmu yang sanggup. Tugas ditunaikan dengan baik. (Silakan baca memoar M. Yasin).
Begitu beratnya memikul nama Bhayangkara dalam filosofi dan idealnya hingga saya berani membuat tulisan ini, menyematkan bhayangkara ideal itu pada tiga sosok anak bangsa yang namanya seharusnya tidak hanya terpatri dalam organisasi Polri, tetapi patut diteladani oleh generasi bangsa ini sebagaimana meneladani para pejuang pejuang bangsa besar lainnya.
Ya. Kepemimpinan Soekanto. Beliau sosok yang bahkan untuk pertama kalinya ditunjuk oleh Bung Karno, setelah PPKI membentuk Badan Kepolisian Negara tanggal 19 Agustus 1945. Soekanto ditunjuk untuk membentuk dan memimpin kepolisian negara yang baru diproklamasikan itu, selanjutnya Bung Karno mengangkatnya sebagai kepala Polri yang saat itu ditempatkan dibawah Mendagri sebagai satu jawatan semacam direktorat, Djawatan Kepolisian Negara (DKN) sampai kemudian Soekanto, meminta kepada kabinet Syahrir agar polisi dilepaskan dari Depdagri yang dipimpin oleh pejabat menteri agar Polisi bisa independen dari subjektifitas politik. Syahrir selaku Perdana Menteri merespon itu dengan mengeluarkan keputusan tanggal 1 Juli 1946. Polri berada langsung dibawah Perdana Menteri. Karena situasi perjuangan, Presiden dan Wakil Presiden beserta sebagian anggota kabinet pindah ke Yogyakarta, Soekanto beserta staf juga beralih ke Yogyakarta. Karena perdana Mentri Syahrir banyak berada di Jakarta, maka pertangungjawaban Kapolri dilimpahkan kepada Menhankam.
Setelah kondisi republik kembali normal, Polri kembali berada di bawah Presiden melalui Menhankam. Sampai kemudian terjadi kehangatan politik nasional akibat progresifnya PKI, juga saat menghadapi perang penyatuan kembali Irian Barat, Presiden Sukarno, menghendaki agar Polri disatukan dengan ABRI, sebagai satu angkatan di bawah Panglima ABRI.
Keputusan tersebut ditolak Soekanto sebagai Kapolri, dengan alasan bahwa tugas dan independensi Polri akan terganggu dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.
Alhasil, karena keteguhan sikapnya dalam meletakkan dasar-dasar kepolisian, Soekanto, tentunya dengan dibumbui beberapa alasan subjektif para pembenci sikap idealisnya, tersingkir dari jabatan Kapolri. Bung Karno kemudian memanggil M. Yasin, menawarkan posisi sebagai wakapolri bagi kapolri pengganti Soekanto tapi lagi-lagi idealisme dan sikap ksatria bhayangkara yang tertanam pada diri M. Yasin menyebabkan dengan lugas menolak menjadi wakapolri dan justru menjelaskan sikapnya yang berada pada barisan sang atasan Soekanto, bahwa Soekanto adalah figur yang banyak berjasa serta membangun dan meletakan dasar dasar kepolisian yg baik. Alhasil idealisme dan sikap ksatria M. Yasin berbuah penugasan diluar instansi kepolisian, beliau ditugaskan sebagai minister konsuler di KBRI Jerman Barat, setelah mendampingi sang atasan yang tdk mau lagi memakai seragam Polri saat akan serah terima kepada penggantinya. Karena Soekanto merasa bahwa dirinya telah diberhentikan dari Polri. Saat tandatangan serah terima Soekanto tetap bersikukuh didepan Menhankam Kasab. Jenderal Nasution bahwa dia mau tandatangan bila di atas namanya ditambahi kata "bekas" Kapolri.
Ya, RS. Soekanto Kapolri terlama, sejak 1945-1959 itu, diberhentikan karena sikap dan idealismenya untuk korps kepolisian yang dibangun dan dibanggakannya.
Pencetus Tribarata Polri itu, harus menjadi contoh kepada para bhayangkara selanjutnya bagaimana teguh dalam idealis, seperti sesanti Tri Bharata yang telah diukirkannya pada pataka Polri. Bendera pataka yang didalamnya memuat untaian katalimat "1. Rastra sewakottama : Abdi Utama dari Nusa dan Bangsa, 2. Negara sanotama: warga negara teladan dari negara, 3. Yana anucasana dharma; wajib menjaga ketertiban rakyat". Gambar perisai, serta setangkai bunga berdaun 29 lembar, berbungah sembilan buah serta setangkai padi 45 biji yang menandakan tangga 29 bulan 9 tahun 1945. sebagai simbol tanggal, bulann dan tahun pelatikan pertamanya sebagai Kapolri. Dia memilih bertahan pada idealisme akan korps yang dibangunnya. Ketimbang kemewahan jabatan. Alhasil beliau tetap sehat hingga mangkat diusia senja dalam ketenangan di rumah asrama polri yang bukan rumah pribadinya. Juru tulisnya yg kemudian menjadi Kapolri Awaludin Jamin, bersaksi bahwa Soekanto tidak meninggalkan apa apa kepada keluarganya, rumah pribadi sebagai tempat bernaung pun tak punya, (Historia, juli 2017).
Idealisme itu juga ditunjukan oleh M. Yasin. Pejuang dan pemberani itu memilih mengemukakan kebenaran di depan panglima tertinggi, dan menunjukan sikap keberpihakan dan loyalitas kepada atasannya yang memang layak ditauladani, hingga jabatan wakapolri pun ditampik, rela menerima penunjukan sebagai atase di KBRI yang secara karier menunjukan bahwa dia telah ditamatkan.
Lalu Hoegeng, siswa yang sempat dididik oleh Soekanto saat pendidikan di sekolah kader tinggi di Sukabumi saat zaman Jepang itu, juga dianggap bagian dari penerus ideologis Soekanto, segera dimutasi dan tidak diberi penugasan apa apa. Sampai kemudian Jakarta bingung bagaimana memutus mata rantai kongkalingkong bisnis ilegal di Medan, maka pilihan jatuh padanya. Di Medan Hoegeng kembali menunjukan idealismenya sebagai bhayangkara sejati, menolak suap dan pemberian apapun. Harta dan benda benda mentereng yang tak mungkin bisa dibelinya andaipun semua gajinya dikumpulkan, tak akan sanggup dibelinya, dihempaskan kejalanan demi menjaga idealisme bhayangkara negara. Sampai kemudian, idealismenya kembali berbenturan dengan kepentingan kekuasaan tertinggi, yang mulai banyak dikelilingi para pemburu rente, Hoegeng tetap dengan kesahajaannya hingga permainan golfpun tak bisa diikutinya, bukan karena tak suka tapi karena jujur gajinya tak bisa dipakai membeli stik golf yang baginya mahal itu. Akhirnya terjadila peristiwa sum kuning, yang melibatkan kepentingan orang-orang di lingkaran kekuasaan utama, Hoegeng dipanggil agar kasus itu dihentikan. Tapi sang bhayangkara ideal itu teguh berpegang pada tribharata. Bahwa sebagai perisai negara dia juga harus adil melindungi dan menghadirkan keadilan kepada seluruh anak bangsa tak peduli ia hanya jelata di negeri ini. Bhayangkara sejati mesti tegak bahwa yang benar itu benar dan salah itu salah. Hingga jabatan sebagai Kapolri itupun tandas. Diberi pilihan untuk menjadi dubes beliau menolak dengan meminta diberi tugas lain bila masih diperlukan asal dalam negeri, tapi dijawab bahwa tak ada lagi tempat bagi Hoegeng dalam negeri. Maka dijawab dengan tegas bahwa bila demikian dia telah selesai. Beliau diberhentikan dengan alasan regenerasi.
"Teguhkan Iman dan bangunkan kembali korps kepolisian seperti sedia kala, Soekanto, 17-12-1959". Kalimat nan indah syarat makna yang diucapkan oleh sang peletak dasar, saat beliau dihentikan dari jabatan dimasa gonjang ganjing menjelang peristiwa 65. Patut tetap dipegang oleh para penerus Bhayangkara, saat negara penuh dengan intrik politik seperti kala itu.
Menjadi Bhayangkara sejati itu berat kawan, paling tidak, kita teramat berat menjadi Gajah Mada, tapi paling tidak kita bisa, mengidolakan jiwa kepemimpinan Soekanto, meneladani keberanian dan keteguhan hati dalam satunya kata dan perbuatan M.Yasin serta meneladani sikap sederhana dan keteguhan sikap dalam melayani seperti Hoegeng. Mereka memang tidak meninggalkan apa apa yang berwujud bendawi buat anak keturunan biologisnya, tapi mereka meninggalkan nama dan ketauladanan yangg tak akan lekang oleh waktu.
Selamat Hari Bhayangkara 1Juli 2020, semoga seluruh Anggota Polri selaku bhanyangkara Negara, selalu diberi kekuatan dan keteguhan dalam melayani dan menjaga masyarakat dalam bingkai NKRI yang berlandaskan Pancasila.
*) Penulis adalah Rektir Universitas Sembilanbelas November Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara