Jakarta (ANTARA) - Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri belum memberikan jawaban atas permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh Ruslan Buton, tersangka kasus penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian.
"Itu kewenangan penyidik, nanti penyidik yang menilai," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Surat permohonan penangguhan penahanan telah dikirimkan kuasa hukum Ruslan Buton sejak Sabtu (30/5). Hingga kini, surat tersebut masih dipelajari dan dipertimbangkan penyidik Bareskrim.
Kuasa hukum Ruslan Buton, Tonin Tachta Singarimbun membeberkan alasan pengajuan surat permohonan penangguhan penahanan bagi kliennya.
"Orang tua klien kami sedang sakit," kata Tonin, dalam keterangannya, Sabtu (30/5).
Kemudian Tonin menambahkan, istri Ruslan Buton juga dalam keadaan kritis, karena sakit di Bandung, Jawa Barat.
"Sehingga dengan rasa kemanusiaan, sepatutnya penangguhan bisa diberikan. Penyidik juga mengetahui klien kami kooperatif dan tidak dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti serta mengulangi tindak pidana. Apalagi penjaminnya adalah beberapa purnawirawan, istri dan penasihat hukumnya," kata Tonin.
Sebelumnya, Tim Bareskrim Polri bersama Polda Sultra dan Polres Buton menangkap Ruslan alias Ruslan Buton di Jalan Poros, Pasar Wajo Wasuba, Dusun Lacupea, Desa Wabula 1, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada Kamis (28/5).
Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam bentuk rekaman suara pada 18 Mei 2020, dan kemudian rekaman suara itu menjadi viral di media sosial.
Dalam kasus ini, barang bukti yang disita polisi yakni satu ponsel pintar dan sebuah KTP milik Ruslan.
Bareskrim Polri kemudian menetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian terkait surat terbuka yang meminta Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Ruslan pun langsung ditahan di Rutan Bareskrim per Jumat (29/5) selama 20 hari hingga 17 Juni 2020.
Ruslan dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.