Jakarta (Antara News) - Selama dua tahun pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, pembenahan di dunia pendidikan terus dilakukan meskipun masih banyak program yang belum terealisasi dengan baik.
Dalam catatan "Capaian Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK" yang disampaikan Kantor Staf Presiden RI, disebutkan bahwa pada tahun 2016, upaya percepatan pembangunan infrastruktur di dunia pendidikan telah dilakukan.
Kesenjangan pendidikan di wilayah terluar, terdepan dan tertinggal (3T) diatasi dengan membangun sekitar 114 sekolah garis depan (SGD) dan program pengiriman 7.000 guru garis depan (GGD) di sedikitnya 31 dari 34 provinsi di Tanah Air.
Angka tersebut berarti mengalami peningkatan 10 kali lipat dibandingkan dengan pengiriman GGD pada 2015 yang berjumlah 797 GGD.
Pembangunan 114 SGD diharapkan dapat memberikan contoh dan "motor penggerak" bagi sekolah dan sekitarnya sehingga dapat merasakan pendidikan yang berkualitas meski berada di wilayah 3T.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan sekolah di daerah perbatasan melalui SGD merupakan bukti kehadiran negara.
Kehadiran sekolah di perbatasan, menurut dia, merupakan bukti kehadiran negara di tempat itu kuat. Hal itu sesuai dengan Program Nawacita dari Presiden Jokowi yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran.
Menurut Mendikbud, program ini dimulai dengan melakukan revitalisasi terhadap sekolah-sekolah yang sudah ada, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Selain itu juga dilakukan pembangunan sekolah garis depan yang baru. Revitalisasi sekolah dan pembangunan sekolah baru tersebut merupakan kerja sama antara pemerintah pusat dengan daerah.
Untuk tahap awal, prioritas pembangunan sekolah garis depan diberikan kepada daerah yang sulit dan tidak mendapatkan layanan pendidikan seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB dan Bangka.
Melalui kehadiran SGD tersebut, dengan dioperasikannya program ini, Muhadjir mengharapkan ketimpangan mutu pendidikan semakin berkurang.
Di sisi lain, penguatan kebudayaan juga terus dilakukan melalui berbagai pendekatan yang inovatif, di antaranya dengan memperkenalkan Program Seniman Masuk Sekolah, Belajar Bersama Maestro, Kemah Budaya Nasional, serta Workshop Guru Sejarah.
Dalam program tersebut, pemerintah memberikan bantuan fasilitas sarana kesenian tradisonal baik berupa alat musik, pakaian tari maupun pakaian adat ke sekolah-sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA-SMK. Jumlah sekolah penerima fasilitas sarana kesenian tradisional pada 2016 sebanyak 695 sekolah atau meningkat beberapa kali lipat dibanding tahun 2014 sebanyak 134 sekolah.
Bantuan berupa bangunan fisik dan sarana pendukung laboratorium seni budaya dan film di tingkat SMA juga telah diberikan kepada 21 SMA selama 2015-2016.
Saat ini pemerintah terus mendata sekolah yang bangunannya rusak, baik itu rusak total, sedang dan ringan. Sekolah-sekolah tersebut juga ada yang memenuhi standar pelayanan minimum dan ada juga yang belum memenuhi standar pelayanan minimum.
Realokasi dana pendidikan yang ada, akan difokuskan pada revitalisasi dan rehabilitasi sekolah yang mengalami masalah tersebut, terutama pada sekolah rusak berat.
Selain itu, guna meningkatkan daya saing dan produktivitas rakyat, pemerintah membangun proyek pendidikan vokasi. Pada 2016, dibangun sebanyak 213 sekolah baru dengan 5.438 ruang kelas baru. Sebanyak 999 ruang kelas direhabilitasi, bantuan 1.333 ruang laboratorium, serta membangun 363 ruang perpustakaan.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga membuat proyek percontohan pendidikan vokasi atau kejuruan terintegrasi (SMK-Kursus-SMA-industri) di sejumlah kota yakni Batam, Solo, Malang, Mataram, Makassar, Sidoarjo, Tuban, semarang, Jayapura, Metro (Lampung), dan Cikarang Barat (Bekasi).
Distribusi KIP
Upaya lain yang dilakukan Kemdikbud menyalurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang diberikan kepada anak-anak yang masuk dalam Program Indonesia Pintar (PIP).
Program tersebut bertujuan untuk mendorong anak-anak yang berusia enam hingga 21 tahun untuk mendapatkan akses pendidikan.
KIP merupakan identitas yang menjadi penjamin anak-anak mendapatkan PIP. PIP sendiri tak hanya diselenggarakan oleh Kemdikbud, tetapi juga oleh Kementerian Agama.
Hingga September 2016, sekitar 17 juta lebih KIP telah disalurkan kepada para siswa di seluruh Tanah Air. Berdasarkan data Kemdikbud, sejak disalurkan pada April 2016, KIP yang diterima siswa sudah mencapai 17,06 juta. Dari jumlah itu, sebanyak 765.193 kartu masih dalam perjalanan dan 94.164 kartu dikembalikan.
Pengembalian KIP tersebut terjadi karena alamat penerima tidak dikenal, sudah pindah, dan meninggal dunia. Ada juga penerima yang menolak menerima KIP karena merasa mampu atau sudah lulus sekolah.
Hingga saat ini, dana yang sudah dicairkan untuk jenjang SD hingga SMA mencapai Rp2,3 triliun atau sekitar 41,27 persen dari dana yang disalurkan.
KIP juga bertujuan untuk mencegah peserta didik putus sekolah karena kesulitan ekonomi. Untuk siswa sekolah dasar, dana yang diberikan untuk satu semester sebesar Rp225.000, sementara untuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP) mendapatkan dana Rp375.000 per semester.
Sedangkan untuk jenjang sekolah menengah atas (SMA), rata-rata mendapatkan bantuan pendidikan Rp500.000 per semester.
Dengan Program Indonesia Pintar, anak-anak yang telah putus sekolah bisa mendapatkan akses pendidikan.
"Mereka bisa kembali ke sekolah melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan mengambil paket A, B atau C, ataupun masuk lembaga kursus untuk meningkatkan kompetensi mereka," kata Mendikbud Muhadjir Effendy.
Upaya penyaluran KIP ke berbagai wilayah di Tanah Air diakui pemerinah bukan perkara mudah. Sejumlah kendala masih terus dihadapi namun segera dilakukan solusinya, khususnya perihal data valid penerima KIP.
Kendala yang dihadapi terutama dalam hal penyalurannya, antara lain karena alamat penerima tidak dikenal, sudah pindah, atau penerima sudah meninggal dunia. Selain itu, ada pula penerima yang menolak KIP karena merasa mampu.
Benahi kekurangan
Sementara itu, menanggapi apa yang telah dilakukan pemerintah di dunia pendidikan dalam beberapa tahun terakhir, pakar pendidikan Prof Arief Rachman menuturkan sedikitnya ada empat hal yang perlu diperhatikan dan dibenahi pemerintah, yakni masalah peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan, fasilitas pendidikan yang juga masih belum merata khususnya di daerah 3T, masalah keuangan atau anggaran pendidikan yang di banyak daerah belum mencapai 20 persen, serta belum adanya kolaborasi pemerintah dengan pihak swasta dalam pembangunan mutu pendidikan.
Arief mengharapkan pendidikan tinggi mengubah skema penerimaan calon guru karena kemunduran mutu pendidikan terjadi karena banyak yang menjadi guru bukan sebagai profesi, tetapi untuk mencari uang atau karena tidak ada pilihan.
"Pendidikan ini tulang punggung pembangunan bangsa, jadi harus diperhatikan serius," ujarnya.
Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) harus mengubah skema perekrutan karena animo siswa menjadi guru sangat rendah. Pemerintah juga harus memberikan insentif dan kesejahteraan guru sehingga anak-anak cerdas, berbakat dan berprestasi, cita-citanya tidak hanya jadi dokter saja tetapi juga mau menjadi guru.
Apa yang telah dicapai pemerintah dalam membangun dunia pendidikan di Tanah Air patut dihargai, meskipun masih banyak "pekerjaan rumah" yang mesti dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas serta pemerataan akses pendidikan.
Pembenahan masih akan terus dilakukan dan masyarakat pun hendaknya bisa mengkritisi apa yang sudah dikerjakan pemerintah. Penuntasan program wajib belajar 12 tahun, penyempurnaan Kurikulum 2013, peningkatan kualitas dan pemerataan akses pendidikan, serta program peningkatan kualitas kompetensi guru, menjadi beberapa catatan yang masih harus diperbaiki.