Kendari (ANTARA News) - Eksploitasi kawasan hutan oleh sejumlah perusahaan pertambangan di Sulawesi Tenggara telah mengancam kepunahan sejumlah satwa liar yang dilindungi, terutama satwa khas Sultra jenis Anoa (bubalus depressicornis).
Masalahnya pembukaan kawasan hutan oleh sejumlah perusahaan tambang tersebut, telah membuat habitat satwa liar seperti Anoa semakin menyempit dan kehidupannya makin terusik.
"Pemakaian kawasan hutan oleh sejumlah perusahaan pertambangan di Sultra telah menjadi ancaman serius bagi kepunahan satwa liar di daerah ini, terutama jenis anoa, satwa khas Sultra, dan rusa," kata aktivis lingkungan, Hartono di Kendari.
Karena itu, pemerintah pusat harus turun tangan untuk ikut menertibkan izin tambang yang dikeluarkan tanpa kendali oleh sejumlah pemerintah daerah (pemda) di Sultra saat ini.
Anoa yang telah sekian lama menjadi kekhasan Sultra kini populasinya terus menurun karena habitatnya rusak dan terdesak oleh eksploitasi kawasan hutan.
Menurut Hartono, Anoa sulit berkembang biak jika lingkungannya terganggu. Karena itu, ia juga mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjaga satwa langka di Tanah Air saat ini.
"Regulasi yang mengatur penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan untuk melindungi satwa langka dan liar ini seperti apa sebenarnya. Sekarang hutan habis, satwa liar dan langka mulai terancam punah," katanya.
Kerusakan lingkungan karena aktivitas perusahaan tambang di Kabupaten Bombana, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kabupaten Buton saat ini sangat masif.
Bahkan di sekitar kawasan Hutan Lindung Lambusango, Kabupaten Buton yang oleh warga telah dijaga ratusan tahun, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memberi izin penambangan. Dampaknya, sejumlah wilayah menjadi kering dan petani harus kehilangan lahan pertanian.
Limbah tambang yang masuk ke laut juga menyebabkan air laut keruh dan petani rumput laut merugi karena tanamannya tumbuh kerdil dan sebagian rusak.
Populasi menurun
Pengunaan kawasan hutan oleh sejumlah perusahaan tambang tersebut, telah memicu menurunnya populasi anoa di beberapa daerah suaka marga satwa dan kawasan konservasi.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara, memperkirakan populasi anoa khususnya yang masuk dalam kawasan konservasi yang tersebar pada 12 kawasan seluas 276.000 hektar itu di Sultra habitatnya diperkirakan dengan kisaran 180 sampai 200 ekor.
"Kami menduga, menurunnya populasi satwa langka anoa dan endemik sekaligus maskot Sulawesi Tenggara itu, disebakan alih fungsi hutan secara besar-besaran pada sektor pertambangan," kata Kepala BKSDA Sultra, Sahulata R Rohana didampingi Kabag TU Ny Anis Suratin awal pekan ini.
Menurut dia, populasi anoa terbesar saat ini ada di dua kawasan suaka margasatwa yakni Suaka Margasatwa Kabupaten Buton Utara dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Konawe Selatan.
Sedangkan populasi anoa yang hidup di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN-RAW) di Konawe Selatan dan Bombana, diperkirakan sekitar 50-60 ekor.
"Data itu, berdasarkan laporan dari petugas yang mengawasi kawasan Taman Nasional Rawa Aopa di tahun 2009 dan 2010," kata Rohana.
Selain di dalam kawasan konservasi yang diawasi BKSDA Sultra seluas 276.000 ha, populasi satwa langka anoa, masih terdapat di kawasan hutan lindung (HL) dan hutan produksi di bawah wewenang Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten/kota.
Namun jumlah populasinya kata dia, sudah sulit diprediksi, karena habitannya yang sudah terganggu akibat aktifitas dari pertambangan di dalam kawasan hutan yang mendapat izin dari Kementerian Kehutanan.
"Alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi oleh Kementerian Kehutanan dalam lima tahun terakhir, menjadi pemicu utama menurunnya populasi anoa, apalagi diketahui bahwa satwa ini sangat peka dan mudah terusik bila ada manusia di sekitarnya," tuturnya.
Perlu regulasi
Untuk menyelamtkan satwa langka khas Sultra, Anoa memerlukan regulasi aturan yang tidak membolehkan alih fungsi hutan untuk kepentingan pertambangan.
Masalahnya, penggunaan kawasan hutan oleh aktifitas pertambangan bukan mengancam kepunahan satwa langka melainkan juga mengganggu keseimbangan lingkungan dan ekosistem.
"Kalau penggunaan kawasan hutan oleh pertambangan terus berlangsung, satwa liar jenis Anoa di Sultra hanya akan tinggal nama," kata anggota DPRD Sultra, Nursalam Lada.
Karena memang kata dia, hewan jenis anoa akan sulit berkembang biak, ketika habitat tempat tinggalnya sudah terganggu.
"Itu sifat khas dari binatang anoa, tidak bisa berkembang biak pada kondisi alam habitatnya yang sudah terganggu," katanya.
Karena sifat anoa seperti itu kata dia, maka binatang khas Sultra itu, tidak bisa ditangkar seperti jenis-jenis hewan kebanyakan.
Oleh karena itu, jika satwa jenis Anoa tetap hidup dan menjadi penghuni kawasan hutan di daerah ini, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan harus membuat aturan khusus yang tidak membolehkan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.
"Regulasi aturan yang melarang penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan itu, bisa diterapkan di kawasan-kawasan hutan lindung yang dihuni berbagai satwa liar yang dilindungi," katanya.
Nursalam berharap intansi terkait seperti Pertambangan, Kehutanan dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), menjalin kerjasama dalam hal penyelematan lingkungan dari berbagai ancaman kesurakan, termasuk melindungi satwa liar dari ancaman kepunahan.
"Pihak BKSDA memliki peran penting dalam menjaga dan melindungi keselamatan satwa liar yang dilindungi," katanya.
Karena itu ujarnya, setiap penggunaan kawasan hutan untuk aktifitas pertambangan, perlu mendapat rekomendasi dari lembaga tersebut.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sultra, H Amal Jaya dalam keterangan terpisah mengatakan dalam upaya menyelamat satwa langka jenis Anoa di Sultra, pihaknya saat ini telah mengusulkan kawasan pegunungan Mekongga di Kolaka dan Kolaka Utara untuk menjadi kawasan Taman Nasional kepada Kementerian Kehutanan.
"Kawasan pegunungan Mekongga yang meliputi dua wilayah kabupaten itu, merupakan habitan anoa terbesar di Sultra," katanya.
Olehnya itu, kawasan tersebut diusulkan menjadi kawasan Taman Nasional, sehingga di dalam kawasan tersebut tidak boleh ada aktifitas pertambangan maupun kegiatan lain yang bisa mengganggu habiat satwa liar dan keseimbangan lingkungan.

