Kendari (ANTARA News) - Pemerintah Sulawesi Tenggara membentuk tim terpadu pengawasan pengapalan atau pemuatan tambang bijih nikel atau ore ke luar dari Sultra.
Gubernur Sultra, Nur Alam, di Kendari, Senin, mengatakan, hal ini dilakukan guna mengantisipasi adanya perusahaan tambang yang tidak memenuhi atau tidak membayar kewajibannya terhadap pemerintah.
"Dalam tim terpadu ini, kita libatkan berbagai stakeholder terutama instansi vertikal seperti administrator pelabuhan (adpel), Bea Cukai, dan instansi pemerintah daerah terkait," katanya.
Gubernur Nur Alam mengatakan, dalam tim terpadu tersebut pertama-tama yang disepakati bahwa setiap bijih nikel yang keluar dari Sultra harus jelas dan terang sumber perolehan ore atau bijih nikel tersebut.
"Apakah berasal dari kawasan hutan lindung atau bukan hutan lindung, apakah memiliki legalitas surat-surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang betul," katanya.
Kemudian katanya, apakah perusahaan tersebut sudah menyetor dana jaminan reklamasi kepada pemerintah setempat, kemudian harus menunjukkan terlebih dahulu bukti pembayaran royalti kepada pemerintah, kemudian kapal itu bisa berlayar.
Menurut Guberbur Sultra , selama perusahaan belum memenuhi ketentuan tersebut, termasuk dengan ketentuan dari Kementerian Perdagangan maupun Perindustrian untuk ekspor impor, maka kapal itu tidak boleh melakukan pemuatan bijih nikel.
Nur Alam, memperkirakan, akibat pemuatan atau pengapalan bijih nikel yang selama ini dilakukan tanpa memenuhi kewajibannya tersebut, pemerintah sangat dirugikan dari segi penerimaan negara.
"Dihitung saja, kalau satu kapal itu memuat 50 ribu ton, dan kita mendapatkan royalti empat persen dari harganya, maka kita bisa mendapat kurang lebih Rp1 miliar dari satu kapal berasarkan harga bijih nikel saat ini," katanya.
Nur Alam mencontohkan, di Kabupaten Kolaka, pernah berlabuh 24 kapal pengangkut bijih nikel, dan sekarangg masih ada 14 kapal berdasarkan laporan Bea Cukai yang masih menunggu pengapalan.
"Bayangkan kalau 24 kapal yang ke luar Sultra membawa bijih nikel, kalau misalnya satu kapal negara harus mendapatkan royalti Rp1 miliar, maka kita kehilangan royalti Rp24 miliar," katanya.
Ia menjelaskan, kebanyakan kapal itu yang memuat bijih nikel, dari sumber yang tidak jelas, sehingga pengusahanya tidak bisa dilacak dengan jelas, sehingga akibatnya negara kehilangan royalti. (Ant).