Kendari (ANTARA) - Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Aspekindo) Kabupaten Bombana meminta semua pihak, termasuk unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) setempat, untuk bersikap bijaksana menyikapi persoalan aktivitas pertambangan batuan yang tengah menjadi sorotan di wilayah itu.
Ketua Aspekindo Bombana Asrin Sarewo, Selasa, mengatakan polemik mengenai tambang batuan yang dinilai tidak berizin telah menimbulkan keresahan bagi para kontraktor yang sedang mengerjakan proyek-proyek pemerintah daerah.
“Kami berharap persoalan ini mendapat perhatian bersama. Saat ini kami dihadapkan pada situasi yang sulit karena kebutuhan material bangunan seperti batu, pasir, dan timbunan sangat sulit diperoleh,” kata Asrin.
Menurut dia, sebagian besar proyek konstruksi yang dananya bersumber dari APBD belum rampung, sementara waktu pelaksanaan tahun anggaran 2025 tinggal sekitar dua bulan. Kondisi itu diperparah dengan terbatasnya pasokan material bangunan di daerah tersebut.
Asrin menyebutkan, satu-satunya perusahaan tambang batuan yang memiliki izin resmi di Bombana adalah PT Bombana Maju Makmur (BMM). Namun, izin operasi perusahaan tersebut hanya untuk kebutuhan internal Jhonlin Group, bukan untuk komersialisasi.
“Kalaupun diperbolehkan menjual keluar, kapasitas produksinya tetap tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan pembangunan di Bombana,” katanya.
Ia menambahkan, aktivitas pertambangan batuan tanpa izin bukan hanya terjadi di Bombana, melainkan juga di beberapa daerah lain di Sulawesi Tenggara. Meski demikian, kata dia, pembangunan di daerah lain tetap berjalan dan mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
“Aspekindo memahami pentingnya penegakan hukum di sektor pertambangan. Namun, perlu juga ada kebijaksanaan agar proyek-proyek yang sudah berkontrak dapat diselesaikan tepat waktu,” ujarnya menambahkan.
Asrin menilai, jika kontraktor dipaksa hanya menggunakan material dari tambang batuan resmi, hampir dipastikan seluruh proyek fisik di Bombana tidak akan tuntas pada 2025 karena biaya pengadaan material menjadi sangat tinggi.
“Alternatif pengambilan material dari Tinanggea atau Moramo di Kabupaten Konawe Selatan membutuhkan biaya besar. Harga batu di sana mencapai Rp1,3 juta per ret, sementara harga dalam kontrak hanya sekitar Rp800 ribu. Kondisi ini jelas memberatkan rekanan,” jelasnya.
Ia menegaskan, permintaan kebijaksanaan itu bersifat sementara agar para kontraktor dapat menuntaskan pekerjaan hingga akhir tahun anggaran.
“Kalau tahun depan ingin diperketat, kami siap mengikuti aturan. Tapi untuk proyek yang sedang berjalan, kami berharap diberi ruang agar bisa diselesaikan. Kami tidak ingin pembangunan di Bombana terhenti total,” ujar Asrin.

