Jakarta (ANTARA) - Pada era modern, arus globalisasi membawa kecenderungan untuk menyeragamkan berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Modernisasi sering dimaknai sebagai adopsi standar-standar global dalam bidang teknologi, ekonomi, pendidikan, hingga budaya.
Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, terjebak dalam pola pikir yang berusaha meniru sistem dan cara hidup negara maju, dengan harapan dapat menjadi bagian dari masyarakat industri yang dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan.
Namun, pandangan yang terkesan lazim ini sebenarnya kurang realistis. Mengapa? Setiap bangsa memiliki keunikan dan keragaman yang terbentuk dari sejarah, kondisi sosial, dan budaya yang khas.
Ketika modernisasi diterapkan tanpa mempertimbangkan latar belakang budaya dan konteks sosial setiap bangsa, hal ini berpotensi mengabaikan aspek-aspek yang membentuk identitas bangsa. Dalam hal ini, modernisasi yang terlalu seragam dapat menyebabkan krisis identitas bagi bangsa yang tidak memiliki ketahanan budaya.
Setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan pandangan hidup dan cara berpikir yang sejalan dengan akar sosial dan budayanya. Bagi Indonesia, prinsip ini telah tertuang dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan bahwa kemerdekaan diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang bebas. Dengan demikian, kemerdekaan ini mencakup hak untuk menentukan arah pembangunan yang selaras dengan karakter dan nilai-nilai bangsa.
Pemikiran ini juga sejalan dengan konsep posmodernisme, yang menolak gagasan narasi besar (grand narrative) yang berlaku secara universal.
Posmodernisme menawarkan pendekatan yang menghargai pluralitas dan mengakui bahwa setiap bangsa memiliki sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang berbeda, yang membentuk identitas nasionalnya. Pendekatan pembangunan yang mengedepankan tradisi, sejarah, dan kearifan lokal merupakan pilihan yang sah dan patut dihormati. Identitas bangsa bukan sekadar pembeda; ia adalah pilar utama yang membangun rasa percaya diri dan kebanggaan bangsa dalam menghadapi dinamika global.
Sebuah konsep pembangunan suatu bangsa idealnya tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi atau pertumbuhan material semata. Pembangunan seharusnya mencakup aspek-aspek yang menjadi identitas dan jati diri bangsa.
Setiap program pembangunan yang dijalankan sudah selayaknya berlandaskan pada nilai-nilai lokal yang relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat, bukan sekadar meniru praktik-praktik dari luar. Misalnya, dalam pembangunan ekonomi, budaya gotong royong yang merupakan nilai lokal bisa dikembangkan menjadi model kolaborasi bisnis di desa atau kota kecil, yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan merasakan manfaat secara langsung.
Pembangunan yang selaras dengan identitas bangsa cenderung lebih efektif karena mencerminkan aspirasi dan kepentingan warga negara. Hal ini penting agar setiap warga dapat merasakan manfaat nyata dari pembangunan dan terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam prosesnya.
Posmodernisme menekankan bahwa keragaman dan pluralitas adalah kekuatan, bukan kelemahan. Menghormati identitas suatu bangsa dan akar sosial-budayanya adalah langkah penting untuk memastikan bahwa pembangunan tidak sekadar mengikuti tren global, tetapi benar-benar memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat.
Pembangunan yang berakar pada jati diri bangsa tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan meningkatkan kebanggaan nasional. Kohesi sosial ini sangat penting dalam membangun bangsa yang kuat, yang dapat tetap teguh dalam menghadapi perubahan global tanpa harus mengorbankan keunikan budaya dan nilai-nilainya sendiri.
Salah satu prasyarat penting untuk melaksanakan pembangunan berbasis identitas bangsa adalah menjadikan budaya sebagai subjek utama, bukan sekadar objek. Budaya harus menjadi sudut pandang utama dalam memandang, memahami, menilai dan menyikapi berbagai aspek kehidupan.
Kita adalah kebudayaan kita. Termasuk dalam merespons pengaruh dari luar misalnya, penting bagi kita untuk menggunakan cara pandang dari dalam kebudayaan. Dengan cara ini, penting mengkonsolidasikan nilai-nilai budaya sebagai landasan untuk berpikir, bersikap, dan bertindak. Dengan perspektif ini, gagasan dan arah pembangunan yang autentik diletakkan.
Saat ini, dengan adanya kabinet baru yang sudah dilantik, momen ini seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk mengkaji ulang arah pembangunan nasional. Ide-ide dasar tentang kebangsaan dan harapan akan kemajuan yang berpijak pada sejarah dan budaya lokal perlu dirumuskan sebagai panduan untuk menentukan agenda pembangunan.
Dengan demikian, Indonesia dapat berkembang sebagai bangsa yang besar, berdaulat, dan berbangga diri di tengah pergaulan global, tanpa harus kehilangan jati diri dan keunikannya.
Pada akhirnya, pembangunan yang ideal bukan hanya soal mengejar kemajuan ekonomi, tetapi juga tentang memperkuat ikatan sosial dan menumbuhkan rasa bangga terhadap tanah air. Di tengah lingkungan global yang semakin kompleks dan saling terkait, identitas bangsa yang kuat akan menjadi pilar dalam menghadapi tantangan dari luar.
Dengan menempatkan budaya dan identitas bangsa di jantung pembangunan, Indonesia tidak hanya akan menjadi bangsa yang maju dan berdaulat, tetapi juga akan memiliki keunikan yang memperkaya dunia internasional dan menjadi contoh bagi negara lain dalam menjaga dan mengembangkan identitas nasional.
*) Adib Achmadi adalah pemerhati sosial budaya dan pegiat di Padepokan Kalisoga, sebuah lembaga sosial yang berfokus pada pendidikan kepemimpinan dan penguatan kelembagaan desa.