Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan stunting banyak ditemukan pada anak-anak yang berusia enam hingga 24 bulan atau setelah masa ASI eksklusif selesai diberikan oleh ibu.
“Ada banyak titik-titik waktu lain, tapi yang determinannya paling tinggi, yang risk factor-nya paling tinggi, yang menyebabkan stunting paling tinggi adalah masa-masa ibunya hamil dan bayi pada masa enam sampai 24 bulan,” kata Menkes Budi Gunadi dalam webinar "Cegah Stunting, Cegah Infeksi Pada Anak" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Menkes menyoroti usia enam hingga 24 bulan pada anak tersebut merupakan masa yang sangat rawan, dimana asupan gizi seorang anak harus ditambah dengan pemberian Pendamping Makanan Tambahan (PMT).
Ketika seorang ibu selesai menjalankan perannya dalam memberikan ASI eksklusif selama anak berusia nol hingga enam bulan, kata dia, orang tua perlu menyadari PMT dapat membantu tumbuh kembang anak menjadi lewat optimal, utamanya bagi PMT yang mengandung protein hewani.
Protein hewani, kata Menkes, bisa didapati dari telur, ikan, ayam, maupun daging. Mirisnya pengetahuan terkait asupan gizi ini belum banyak dijalankan dengan benar oleh orang tua di rumah.
Menurut Menkes Budi, para ahli gizi menyarankan intervensi gizi mulai dilakukan sejak dari hulu. Intervensi selama 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) bisa mencegah anak terkena stunting atau mengkoreksi kondisi kesehatan anak.
Budi menambahkan hanya ada lima persen anak yang terkena stunting, yang ditemukan bisa sembuh. Dengan catatan pengobatan harus dijalankan di rumah sakit dan membutuhkan biaya hingga jutaan rupiah.
“Kalau kita lihat berdasarkan ahli gizi, dua minggu dikasih intervensi makanan protein hewani yang baik dia bisa kembali normal. Bayangkan itu relatif lebih murah intervensinya. Tidak mungkin sampai Rp500 ribu satu paket sampai selesai. Kita berikan selama dua minggu jadi mungkin Rp30-40 ribu sehari harusnya bisa mencegah (stunting),” kata Menkes.
Selain rawan terjadi pada anak usia enam sampai 24 bulan, kata dia, stunting juga berisiko terjadi sejak ibu memasuki masa kehamilan.
Menkes Budi menjelaskan biasanya ibu sudah kekurangan gizi dan zat besi, sehingga asupan makanan tidak bisa memenuhi kebutuhan janin untuk berkembang maksimal.
Dengan demikian ia berharap para ibu hamil mulai rutin memeriksakan kehamilan mereka selama enam bulan di puskesmas dan dua kali setidaknya untuk diperiksa dengan USG. Jika panjang janin tumbuh lambat maka harus segera diintervensi di puskesmas. Upaya lainnya yakni ibu harus rutin meminum tablet tambah darah agar tidak anemia
“Kalau pertumbuhan janinnya tidak cukup panjangnya, artinya kurang gizi dan intervensinya di puskesmas. Kesehatan ibu pada saat hamil sangat menentukan apakah bayinya lahir stunting atau tidak,” ujar Menkes.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri rutin memantau stunting melalui Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) yang diadakan setiap tahun. Data itu membantu pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah dijalankan.
“Saya rasa kalau itu bisa dilakukan secara disiplin pengukurannya, kemudian intervensinya, by name by address-nya kita didik semua kader di puskesmas kita, ibu-ibu dan anak-anaknya, maka saya percaya kita bisa mengatasi masalah stunting ini dan target 14 persen bisa dicapai,” kata Menkes.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menkes: Stunting banyak ditemukan pada anak usia 6 hingga 24 bulan