Kendari (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, meminta pelajar untuk bijak dan cerdas menggunakan media sosial agar tidak terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kepala Bidang Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak dan Kekerasan DP3A Kendari Fitriani Sinapoy di Kendari, Kamis, mengatakan pesatnya perkembangan teknologi di era digital memberikan berbagai dampak bagi masyarakat baik secara positif maupun negatif khususnya kepada pelajar (anak).
"Anak sebagai generasi milenial harus cerdas menggunakan media sosial karena hampir setiap hari ada kasus pelanggaran UU ITE yang menimpa warga Indonesia. Kita tidak ingin generasi milenial seperti pelajar SMP terlibat pelanggaran UU ITE karena tidak ketahuannya," kata dia.
Menurutnya, dampak positif untuk anak dengan adanya perkembangan teknologi dapat dengan mudah mengakses internet untuk mengetahui berbagai informasi. Namun, dampak negatif yang dapat ditimbulkan yaitu kecanduan permainan (game), dan rentan menjadi korban kejahatan dunia maya berupa "cyber bullying" dan seksual "image" serta terpapar konten pornografi dan informasi yang berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak.
Dia mengingatkan agar generasi milenial harus berhati-hati jika menerima berita yang disebarkan dari media sosial harus tahu mana berita yang layak atau tidak baik untuk "dishare" atau disebarkan luaskan.
"Untuk itu saya ingatkan para pelajar agar dalam bermedsos jangan sampai ada konten negatif di dalamnya, penuhilah dengan hal-hal yang berguna dan bagikan hanya informasi yang kita telah saring kebenarannya dan manfaatnya," ujar dia.
Ia menilai banyaknya orang yang menjadi korban kejahatan dunia maya akibat kurangnya sosialisasi tentang modus-modus kejahatan yang berkembang dalam dunia maya.
Kejahatan pornografi yang menyasar anak di bawah umur terus mengalami peningkatan setiap tahun, salah satunya faktor pemicu tingginya kasus itu adalah mudahnya akses internet dan lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak, katanya.
Dia menyebutkan data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat total pengaduan kasus pornografi dan "cyber crime" atau kejahatan online yang menjerat anak-anak tahun 2016 sebanyak 587 kasus, tahun 2017 sebanyak 608 kasus, tahun 2018 sebanyak 679 kasus, tahun 2019 menjadi 747 kasus, dan tahun 2020 mencapai 1326 kasus.
Dia menilai meningkatnya jumlah kasus kejahatan dunia maya terjadi karena banyak faktor. Namun, salah satu pemicu utamanya adalah tidak bijaknya penggunaan media sosial atau mudahnya akses internet melalui gawai, handphone, laptop, dan lainnya.
"Data KPAI mengungkapkan bahwa dalam kejahatan dunia maya anak tak hanya sebagai korban tetapi anak dapat menjadi pelaku," jelasnya.