Jakarta (ANTARA) - Berada di tengah konser musik berskala besar, berdesakan di antara pengantre diskon midnight sale, menyaksikan pertandingan bola secara langsung ataupun berjalan bersama ribuan demonstran adalah sebuah kegiatan yang disenangi sebagian orang bahkan membuatnya ketagihan.
Fenomena ini tentu bukan dengan alasan hanya sekadar suka pada suatu benda, hobi atau isu terkini, namun ada penjelasan dari sisi psikologi mengapa orang senang berada di tengah keramaian.
Orang lain memengaruhi hidup kita
Psychology Today menyebutkan bahwa orang lain turut andil dalam mempengaruhi perilaku kita, salah satu alasannya adalah karena kita hidup dalam dunia yang kompleks. Seseorang akan senang jika ada orang lain yang menavigasi hidupnya.
Psikolog Robert Cialdini, dalam buku "Influence: The Psychology of Persuasion" memberikan contoh melalui sebuah iklan yang menggunakan kata "paling laris". Orang yang melihat tidak perlu diyakinkan apakah produk tersebut baik atau tidak, mereka hanya perlu mengetahui bahwa orang lain berpendapat demikian.
Dengan kata lain, mengikuti kerumunan memungkinkan seseorang dapat berfungsi dalam lingkungan yang rumit. Sebab, tidak semua orang memiliki waktu untuk menambah pengetahuan atau meneliti sesuatu dengan detail.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang bertahan bila bersatu. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi psikologi seseorang.
Seorang peneliti di University of Essex, Julia Coultas mengatakan, "Bagi seseorang yang bergabung dengan suatu kelompok, meniru perilaku mayoritas akan menjadi perilaku yang masuk akal dan adaptif."
Di masa lalu evolusi, nenek moyang kita selalu berada di bawah ancaman. Kesadaran yang tajam tentang orang lain membantu nenek moyang kita bertahan hidup di dunia yang berbahaya dan tidak pasti. Manusia modern telah mewarisi perilaku adaptif tersebut.
Refleksi yang bijaksana tentang pengaruh sosial dapat membawa kita pada kesadaran yang lebih besar tentang diri kita sendiri dan hubungan kita dengan orang lain.
Berada di kerumunan sangat menyenangkan
Menurut Independent.ie, seorang psikolog dari University of Sussex, John Drury, mengatakan hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa orang-orang yang berada di tempat yang sangat ramai justru menemukan diri mereka yang seutuhnya. Survei ini dilakukan pada penonton yang menyaksikan DJ Fatboy Slim di Big Beach Boutiquw pada tahun 2002 yang dihadiri oleh 250.000 orang.
"Itu memang acara yang sangat ramai. Namun, di antara peserta survei kami, semakin mereka mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari kerumunan, semakin sedikit mereka melaporkan merasa terlalu ramai," kata Dr. Drury.
Pada acara musik, kerumunan adalah bagian penting dari daya tarik. Meski berada di tempat ramai dengan berbagai identitas, ruang pribadi mereka tidak akan terusik.
"Pada saat orang berbagi identitas sosial dengan kita, kehadiran mereka sama sekali tidak mengganggu ruang kita. Mereka bukan 'yang lain', mereka adalah 'kita'," ujar Dr. Drury.
Menyatu dalam kerumunan
Sementara itu, The Cut menyebutkan bahwa kata "kegembiraan kolektif" sudah diciptakan oleh sosiolog Prancis, Emile Durkheim, sejak seabad lalu untuk menggambarkan euforia yang menular. Ini merupakan perasaan yang bersinar saat terkoneksi dengan manusia lain.
Shira Gabriel dari SUNY Buffalo, sebuah universitas di Bufallo, New York mengatakan bahwa kegembiraan kolektif adalah sebuah hasrat memenuhi kebutuhan manusia untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial dengan cara yang cenderung diabaikan seperti mengikuti aksi protes, menyaksikan pertunjukan atau olahraga pro agar lebih merasa terhubung, bahagia dan bermakna secara pribadi.
"Ini adalah pengalaman khusus, perasaan terhubung, bisa berada di kerumunan raksasa seperti itu. Anda dan semua orang di stadion mengetahui lagu-lagunya, dan ketika Anda merasakan not-notnya menyatu, Anda mengalaminya secara kolektif. Anda merasakan hal yang sama meski tidak mengenal semua orang di sana," kata Gabriel.