Setelah dilanda keragu-raguan atau ketidakpastian sejak Senin (18/7) sore, maka akhirnya rakyat Indonesia mendapat kepastian tentang nasib tokoh kelompok aliran teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso.
"Sudah terkonfirmasi (jenazah) Santoso dan satu lagi Mukhtar," kata Menteri Koordinator, Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, Selasa (19/7) sore.
Jenderal Purnawirawan TNI-AD ini memberi kabar yang sangat menggembirakan seluruh rakyat Indonesia karena pada Senin sore beberapa prajurit Batalyon Raiders 515 Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) berhasil menembak mati Santoso dan rekannya Mukhtar di Desa Tambrana, Kecamatan Poso Pesisir Utara,Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah pada Senin petang..
"Informasi ada tahi lalat di dahinya. Itu ciri khas Santoso. Lalu ada jenggotnya juga, " kata Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnivan yang sebelumnya menduduki jabatan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme alias BNPT di Jakarta, senin malam.
Penegasan Luhut itu disampaikan setelah mayat teroris itu diangkut ke Rumah Sakit Bhayangkara, Polda di kota Palu, Sulawesi Tengah.
Untuk mengejar tokoh aliran kekerasan itu, sekitar sembilan prajurit Batalyon Raiders 515 Kostrad itu harus berjalan kaki tidak kurang beberapa hari dengan harus melewati medan yang begitu berat. Akhirnya terjadi baku tembak antara para para prajurit TNI itu dengan para pemberontak yang sudah merajalela selama beberapa tahun.
Saking berat dan sulitnya medan, maka para prajurit pilihan tersebut terpaksa harus mengendap-endap sehingga bisa mendekati lokasi persembunyian Santoso dan komplotannya. Mayat penjahat itu kemudian dibawa ke Palu, untuk menjalani proses identifikasi agar tidak terjadi kesalahan.
Dengan matinya Santoso dan rekan dekatnya itu, maka harus ditutup atau diakhirinyakah Operasi Tinombala?
Ternyata tidak, karena aparat keamanan masih menduga terdapat sekitar 19 anggota Mujahidin Indonesia Timur yang terus berkeliaran di hutan- hutan di Kota Poso itu . Jika benar masih ada belasan pemberontak itu, maka sudah pasti aparat keamanan harus tetap berkewajiban membekuk mereka semua dalam keadaan hidup atau mati. Kenapa begitu?
Ciri khas dari kelompok teroris adalah jika pemimpin mereka sudah ditembak mati aparat keamanan, maka akan muncul pemimpin baru yang terus beroperasi apalagi bila mereka masih menguasai atau memiliki senjata api. Aparat keamanan baru-baru ini berhasil menyita senapan M16 yang pastinya bukan senapan kuno.
Operasi pemberantasan tetap harus dilakukan karena dikabarkan kelompok Santoso ini menjalin hubungan erat dengan kelompok-kelompok ekstrimis di beberapa negara mulai di Filipina hingga kelompok ISIS yang sudah terkenal beroperasi di beberapa negara seperti Suriah.
Bahkan ISIS diduga keras juga terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan di berbagai negara seperti yang terjadi kota Nice, Prancis dalam kasus bom yang dibawa sebuah kendaraan besar yang mengakibatkan lebih dari 100 orang harus kehilangan nyawa mereka.
Kalaupun nanti para prajurit TNI dan Polri berhasil menggulung semua anggota Mujahidin Indonesia Timur di Poso, maka pertanyaan yang bisa disampaikan kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI Gatot Nurmantyo serta Kapolri Jenderal Tito Karnavian adalah bagaimanakah nasib kelompok- kelompok teroris lainnya di Tanah Air?.
Baru-baru ini, seorang pemuda yang berusia sekitar 31 tahun mencoba menerobos halaman kantor Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surakarta pada saat para prajurit Polri sedang apel pagi. Untung saja seorang polisi berhasil menghalangi pembawa bom itu masuk kehalaman kantor itu, sehingga bisa dicegah banyaknya jatuh korban jiwa atau luka-luka. Yang mati sia-sia adalah pembawa bom bunuh itu yang entah kenapa membawa kartu tanda penduduk (KTP) istrinya sehingga sang lelaki itu dengan mudah bisa dilacak identitasnya.
Bom Thamrin
Beberapa bulan lalu, segerombolan lelaki mencoba merusak ketenangan dan keamanan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dengan berusaha melakukan serangan terhadap pertokoan di Jalan Mohammad Husni Thamrin di Jakarta Pusat.
Mereka berusaha menyerang atau meledakkan sebuah tempat minum kopi alias kafe di kawasan pertokoan PT (Peser) Sarinah yang merupakan sebuah badan usaha milik negara.
Untung saja, petugas-petugas Polda Metro Jaya melakukan tindakan yang cepat dan sigap termasuk seorang perwira menengah berpangkat komisaris besar polisi yang memegang jabatan penting di Polda Metro Jaya sehingga dalam waktu yang relatif tak lama atau beberapa jam maka keadaan sudah bisa dikendalikan.
Akibat kejadian berdarah itu, Presiden Joko Widodo yang sebenarnya sedang melakukan kunjungan kerja ke sebuah kota di dekat ibu kota langsung pulang dan kemudian langsung menuju kawasan pertokoan terkenal itu untuk menyaksikan secara langsung situasi disana.
Akhirnya suasana tegang di jantung kota Jakarta itu kembali menjadi tenang sehingga kini masyarakat bisa berlalu lalang dengan tenang di Jakarta tercinta.
Dengan telah matinya Santoso serta Mukhtar itu, maka pertanyaan yang bisa muncul pada hari rakyat adalah sudah selesaikah ancaman terorisme itu baik di ibu kota Jakarta maupun di daerah-daerah lainnya di Tanah Air?
Kejadian bom bunuh diri di Solo mengingatkan orang bahwa kota itu adalah tempat asal Presiden Joko Widodo, bahkan anak-anaknya tinggal disitu, apalagi dia pernah menjadi wali kota disana. Mungkinkah bom bunuh diri itu merupakan uji coba atau kerennya istilah asingnya "test case" terhadap penjagaan keamanan di kota-nya Jokowi itu?.
Masyarakat juga tahu bahwa di sekitar kota Solo itu, ada kesatuan elit TNI Angkatan Darat yakni sebuah satuan (grup) Komando Pasukan Khusus TNI AD alias Kopassus yang dahulu dikenal dengan Nama Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD.
Kasus bom diri Solo mengingatkan masyarakat bahwa kelompok teroris bisa saja beroperasi dimana pun, baik dalam bentuk kelompok maupun beroperasi sendirian. Sementara itu, pemboman di Jalan MH Thamrin-- karena PT Sarinah berkeberatan jika disebut sebagai kasus bom Sarinah-- terjadi hanya sekitar satu hingga dua kilometer dari Istana Merdeka dan Istana Negara yang merupakan lambang negara karena menjadi tempat tinggal resmi dan kantor bagi presiden yang mana pun juga.
Jika nantinya kelompok Santoso berhasil ditumpas hingga keakar- akarnya maka tentu seluruh rakyat Indonesia sudah akan bisa hidup tenang termasuk tidur dengan nyenyak.
Akan tetapi ada satu pertanyaan "kecil atau sederhana" yang tiap saat bisa muncul hati seluruh orang Indonesia baik yang tinggal di Tanah Air maupun di luar negeri.
Pertanyaan itu adalah kenapa sampai ada segelintir orang asing khususnya China yang ikut bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin Santoso? Mampukah intel-intel di Tanah Air mampu mencegah dan menghalangi masuknya ekstrimis-ekstrimis asing model itu?.
Di Indonesia terdapat berbagai organisasi intelijen mulai dari Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen dan Strategis(Bais) Markas Besar TNI. Kemudian di setiap kodam atau komando daerah militer di lingkungan TNI-AD ada satuan intelijen. Demikian juga di setiap kepolisian daerah atau polda.
Gerak-gerik kelompok teroris memang sulit dideteksi karena mereka beroperasi secara diam-diam sehingga sulit dilacak. Namun yang seharusnya terjadi adalah badan- badan intelijen itu tentu mempunyai rekam jejak atau "record" para mantan teroris atau teroris yang sedang dipenjara atau ditahan. Mudah-mudahan para mantan teroris itu sudah "sadar" sehingga tidak berbuat aneh-aneh lagi.
Karena itu, masyarakat tentu berhak menyampaikan harapan kepada Presiden Joko Widodo untuk memperkuat semua lembaga intelijen untuk saling berkoordinasi guna melacak semua kegiatan berlatar belakang teror, sehingga tidak ada instansi yang mana pun merasa paling hebat atau paling berhak menangani ataupun bertanggung jawab menangani kasus terorisme.