Jakarta, 28/2 (Antara) - Sudah saatnya bagi negara-negara Muslim yang akan menggelar konferensi luar biasa pada akhir pekan depan di Jakarta, berhenti mendiamkan dan membenarkan kekerasan atas nama agama yang terjadi di Palestina dan Israel sepanjang enam bulan terakhir.
Sejak pertengahan September tahun lalu, kekerasan di Tepi Barat, Palestina, dan di Israel memang terus meningkat akibat gelombang "serangan pisau" yang menewaskan 32 warga Israel.
Sebagai balasannya, lebih dari 160 warga Palestina--yang sebagian besar di antaranya diduga pelaku serangan--terbunuh oleh tembakan pasukan keamanan Israel.
Gelombang serangan pisau bermula pada September 2015 saat muncul selentingan kabar bahwa pemerintah Israel akan mengubah status manajemen Kompleks al-Haram (Temple Mount)--di dalamnya terdapat Masjid al Aqsa--di Yerusalem yang selama ribuan tahun menjadi tempat suci bagi tiga agama besar di dunia, Islam, Yahudi, dan Kristen.
Manajemen Kompleks al Haram saat ini berada di tangan kaum Muslim dengan bantuan keamanan dari kepolisian Israel. Menurut aturan yang berlaku, hanya pemeluk Islam yang boleh beribadah di tempat tersebut sementara kaum Yahudi hanya boleh mengunjunginya secara terbatas.
Rumor bahwa pemerintah Israel akan mengizinkan kelompok non-Muslim berdoa di Kompleks al Haram muncul menjelang Hari Raya Idul Adha yang kebetulan terjadi hampir bersamaan dengan festival Sukkoth Yahudi.
Pada hari-hari itu, kunjungan pemeluk Yahudi ke Kompleks al-Haram terus meningkat sehingga menambah kecurigaan mengenai kebenaran rumor.
Akibatnya, aktivis pemuda Masjid al Aqsa sempat bentrok dengan kepolisian Israel selama tiga hari berturut-turut pada 13-15 September 2015.
Sejak saat itulah gelombang serangan pisau terjadi hampir setiap hari di Yerusalem dan meluas sampai kota-kota lain hingga saat ini. Menurut catatan Badan Keamanan Israel, jumlah insiden telah mencapai 228 serangan sampai Februari.
Dalam konteks itulah Arab Saudi dan Palestina pada bulan lalu meminta negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menggelar konferensi tingkat tinggi darurat yang kelima. Mereka juga menyepakati Jakarta sebagai tuan rumah acara pada 6-7 Maret mendatang.
Sebagai tuan rumah, Indonesia telah menyiapkan dua usulan dokumen yang diharapkan dapat menekan Israel untuk mempertahankan "status quo" Kompleks al Haram dan juga desakan bagi kemerdekaan Palestina sebagai sebuah negara-bangsa.
"Konferensi ini adalah langkah nyata komitmen Indonesia bagi perdamaian dunia dan kemerdekaan Palestina," kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi saat mengumumkan penyelenggaraan konferensi pada awal bulan ini (3/2).
Setiap gelombang kekerasan yang melibatkan Israel memang hampir selalu dikaitkan dengan kemerdekaan Palestina. Dalam pandangan ini, semua bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel akan selesai jika rakyat Palestina mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Menurut sejumlah pengamat Timur Tengah, gelombang serangan pisau yang terjadi pada akhir-akhir ini hanya merupakan puncak dari gunung es yang menyembunyikan persoalan yang jauh lebih mendasar.
"Bahkan (tokoh anti-kekerasan seperti) Mahatma Gandhi pun akan memaklumi alasan di balik melonjaknya insiden yang terjadi di Palestina," tulis Gideon Levy, koresponden surat kabar terbesar di Israel, Haaretz.
Nasib warga Palestina di Yerusalem Timur, Tepi Barat dan Gaza memang mengerikan. Mereka kehilangan tanah akibat dirampas oleh Israel untuk membangun pemukiman ilegal yang melanggar hukum internasional. Impunitas juga sering terjadi dalam kasus pembunuhan dengan pelaku tentara dan warga sipil Israel.
Selain itu dalam sebuah laporan Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) tahun 2012 lalu, lebih dari 80 persen anak-anak di Yerusalem Timur kini hidup di bawah garis kemiskinan akibat kebijakan-kebijakan sistemik Israel sejak tahun 1968.
Tidak heran jika kemudian sebagian besar pelaku penusukan selama enam bulan terakhir adalah anak-anak muda di bawah 20 tahun.
Itulah sebabnya kolumnis surat kabar The Guardian, Mairav Zonszein, menegaskan bahwa "dominasi Israel terhadap Palestina membuat kekerasan menjadi tidak terhindarkan."
Menghalalkan "cara"?
Zonszein dan Levy--dan negara-negara Muslim anggota OKI pada umumnya--nampaknya membenarkan kekerasan oleh warga Palestina pada akhir-akhir ini dengan alasan itu semua terjadi karena penindasan Israel.
Namun, kedua pengamat tersebut nampak seperti filsuf Machiavelli yang tidak bisa membedakan antara "tujuan" dan "cara."
Keadilan bagi warga Palestina memang merupakan "tujuan" yang layak diperjuangkan. Namun apakah penusukan terhadap warga sipil membenarkan "tujuan" tersebut?
Harus dicatat di sini bahwa sebagian besar dari target serangan penusukan adalah warga sipil yang bukan merupakan pengambil kebijakan di Israel.
Beberapa di antara mereka bahkan merupakan ibu-ibu dan anak bayi yang sama sekali tidak berdosa. Dalam standar moral apa pun, pembunuhan terhadap mereka sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Selain itu, maraknya gelombang penusukan dalam beberapa hal juga terjadi akibat seruan-seruan elit agamawan dan pemerintahan otoritas Palestina.
Pada 6 Oktober lalu misalnya, penasihat Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Sultan Abu Al-Einein, secara terbuka memuji serangan di sekitar Pintu Gerbang Domba, Kota Lama Yerusalem, yang menewaskan seorang ayah dan melukai ibu beserta anaknya yang baru berusia dua tahun. Al-Einen menyebutnya sebagai "tindakan yang heroik."
Seruan untuk melakukan penusukan itu juga muncul dari seorang imam masjid di Rafah, Sheikh Muhammad Sallah. Dalam khutbah shalat Jumat yang mengerikan pada Oktober lalu, dia berteriak "Saudaraku di Tepi Barat, tusuk!" sambil mengucungkan pisau di depan para jamaah.
Seruan kebencian itu sudah sedemikian jauh sampai-sampai sekelompok simpatisan Hamas--organisasi yang kini berkuasa di Gaza--mengunggah video di media sosial yang mengajarkan bagaimana menusuk dengan benar.
Negara-negara Muslim nampak menutup mata terhadap perlaku elit pemerintah dan agama di Palestina ini, terbukti dengan draft usulan dokumen final konferensi di Jakarta yang hanya menyebutkan tuntutan terhadap kemerdekaan secara umum dan status manajemen Kompleks al Haram.
Memang betul bahwa penyebab struktural gelombang serangan pisau adalah penindasan oleh Israel. Namun itu bukan satu-satunya. Kekerasan akan terus terjadi jika elit politik dan agama di Palestina dibiarkan menyebarkan seruan kebencian. Dan ironisnya, yang menjadi korban utama lagi-lagi adalah warga Palestina sendiri.
Oleh karena itu, konferensi tingkat tinggi darurat negara-negara Muslim di Jakarta pekan mendatang harus menjadi momen yang penting bagi Indonesia untuk tidak hanya mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi juga menegaskan bahwa dukungan itu tidak muncul tanpa syarat tanpa harga.
Pemerintah Indonesia harus menegaskan bahwa ada cara-cara terhormat dalam memperjuangkan keadilan Palestina. Dan itu tidak dengan cara penusukan terhadap warga tak-bersalah.
Indonesia memang wajib ikut berjuang untuk kemerdekaan Palestina sebagaimana maklumat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan."
Tetapi, cita-cita internasionalisme itu harus dicapai dengan prinsip "kemanusiaan yang adil dan beradab." Seruan penusukan terhadap ibu dan bayinya bukan merupakan tindakan yang "beradab."