Ratusan batang kayu jati dalam bentuk balok menumpuk di halaman bagian belakang Kantor Polres Buton, Sulawesi Tenggara di Pasarwajo, Selasa (25/11) lalu.
"Kayu-kayu ini kami amankan dari pelaku pencurian kayu. Kayu-kayu ini akan dilelang, kalau bapak berminat membeli, kami akan informasikan jadwal pelelangannya nanti".
Kata-kata tersebut terlontar dari salah seorang petugas Polres Buton di tempat penumpukan ratusan batang kayu jati di halaman bagian belakang Kantor Polres Buton, Sulawesi Tenggara di Pasarwajo, Selasa (25/11) lalu.
Kayu-kayu jati tersebut terlihat belum lama ditebang dari kawasan hutan karena warna balok kayu tampak masih `segar`.
"Saat petugas kami mengamankan kayu-kayu itu baru-baru ini, pemiliknya sudah kabur lebih dahulu," kata Kapolres Buton, AKBP Fachrurozi saat ditemui di Mapolres Buton di Pasarwajo.
Kayu jati tanpa dokumen itu lanjutnya dijaring petugas di wilayah kawasan hutan jati Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan.
Saat ini kata dia, petugas masih menyelidiki siapa pemilik kayu-kayu itu. "Siapa pun pemilik kayu-kayu itu, jika ketahuan petugas, maka yang bersangkutan akan diproses sesuai prosedur hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya," katanya.
Kasus pembalakkan liar di dalam kawasan hutan jati di Sampolawa tersebut, hanyalah satu kasus pencurian kayu di Sultra yang terjadi di tengah ketatnya pengawasan kawasan hutan di daerah itu.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Sultra, Amal Jaya dalam keterangan terpisah, kasus pembalakan liar di Sultra hampir terjadi di seluruh wilayah kabupaten.
Sampai dengan November 2014 ini, petugas Dinas Kehutanan sendiri berhasil mengamankan ribuan meter kubik kayu berbagai jenis tanpa bisa meringkus pelaku pencurian.
"Kita kesulitan mengawasi dan mengamankan kawasan hutan di tingkat kabupaten/kota karena aparat Dinas Kehutanan di tingkat kabupaten otonom merasa tugas mengamankan dan menjaga kawasan hutan sudah menjadi wewenang mereka setelah otonomi daerah diberlakukan pemerintah," kata Amal Jaya.
Alasan otonomi daerah itu ujarnya, yang membuat Dinas Kehutanan Sultra tidak bisa berbuat banyak dalam melindungi, menjaga dan mengamankan kawasan hutan.
Tiga aktor
Kepala Dinas Kehutanan Sultra, Amal Jaya mensinyalir pembalakkan liar (ilegal loging) di dalam kawasan hutan lindung di Provinsi Sultra, melibatkan tiga aktor utama.
Ketiga aktor utama tersebut yakni cukong kayu, beking dan oknum aparat sendiri, baik aparat Dinas Kehutanan maupun petugas isntansi lain.
"Ketiga aktor utama itu, memainkan peran dalam aksi pembalakan liar sesuai kapasitas masing-masing," kata Amal Jaya.
Cukong kayu lanjutnya, memberi jaminan modal kerja dan membeli kayu hasil curian, beking memberikan perlindungan pengamanan dalam memobilisasi kayu keluar dari kawasan dan oknum aparat memberikan informasi kegiatan petugas melakukan operasi pengamanan hutan.
Pola kerja ketiga aktor tersebut yang menggunakan kecanggihan teknologi telekomunikasi dan informasi, sangat menyulitkan petugas pengamanan kawasan hutan menangkap para pelaku pencurian kayu.
Selain memanfaatkan kecanggihan teknologi telekkomunikasi dan informasi, para pemain pembalakan liar, juga kerap kali menyelewengkan izin pengolahan kayu milik masyarakat atau IPKTM.
Dengan IPKTM, kayu-kayu yang diangkut dari kawasan hutan seolah-seolah memiliki dokemen resmi.
"Padahal, kayu-kayu tersebut sesungguhnya ditebang di luar area IPKTM yang dibolehkan," ujar Amal Jaya.
Indikasi itu ujarnya, tampak dari area IPKTM yang diizinkan, kayunya tidak berkurang sama sekali setelah masa berlakunya IPKTM berakhir.
"Kami banyak menemukan kasus seperti itu di daerah ini, kayu di lokasi IPKTM tidak berkurang setelah masa berlaku izin berakhir," katanya.
Pihak Dinas Kehutanan sendiri kesulitan membawa pemegang IPKTM ke ranah hukum, karena saat petugas mengetahui penyalahgunaan izin tersebut tidak ada lagi barang bukti kayu yang bisa diidentifikasi diambil dari dalam kawasan hutan lindung.
"Membawa pelaku pencurian kayu tidak cukup hanya dengan asumsi-asumsi, melainkan harus dilengkapi dengan alat bukti kejahatan yang dilakukan berupa kayu tebangan atau kayu olahan tanpa dokumen resmi," kata Amal Jaya.
Merusak hutan
Aktivitas pelaku pembalakan luar di sejumlah kabupaten di Sultra, telah menimbulkan kerusakan kawasan hutan yang cukup serius.
Menurut Direkktur Eksekutif Wahana Lingkkungan Higup (Walhi) Sultra, Kisran Makati, luas kawasan hutan di wilayah Sultra di tahun 2007 lalu, masih tercatat 2,6 juta hektar lebih.
Saat ini, kata dia, luas kawasan hutan di Sultra tersisa seluas 2,3 juta hektar lebih.
"Sepanjang tahun 2012 lalu, kawasan hutan yang mengalami kerusakan hutan di wilayah Sultra seluas 102 ribu hektar lebih," katanya.
Kerusakan kawasan hutan seluas itu, selain dipicu aksi pembalakan liar, juga diakibatkan oleh aktivitas sejumlah perusahaan tambang yang beoperasi di daerah itu.
Kepala Dinas Kehutanan Sultra, Amal Jaya sendiri mengakui kalau ada beberapa kawasan hutan yang mengalami kerusakan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Namun kawasan hutan yang mengalami kerusakan tersebut kata dia, luasnya tidak mencapai ratusan ribu hektar.
"Lahan yang dieksploitasi sejumlah perusahaan pertambangan di daerah ini, sudah tidak lagi tercatat sebagai kawasan hutan, karena lahan konsesi pertambangan sudah ditetapkan sebagai areal peruntukkan lain dan kawasan hutan produksi," katanya.
Kawasan hutan yang sudah berubah status tersebut katanya, dibolehkan dieksploitasi asalkan mengacu pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
"Jadi, lahan kawasan hutan yang sudah diizinkan dieksploitasi menjadi lahan pertambangan, kerusakan yang timbul tidak bisa lagi dikategorikan sebagai kerusakan hutan," katanya.
Kerusakan tersebut kata dia, lebih pada kerusakan lingkungan hidup dan merehabilitasnya kembali menjadi kewajiban perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan.