Penghulu memang bukan nyamuk, siapa pun itu tahu.
Dua mahluk Tuhan ini memang punya perbedaan mencolok. Yang membedakan manusia dengan mahluk lain, seperti binatang (nyamuk) adalah karena akal budinya. Allah memberi kelebihan tersendiri kepada manusia.
Namun jangan dikira, seperti dikatakan ulama, dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, manusia pun bisa terjerembab jauh di bawah derajat binatang. Utamanya tatkala manusia mengandalkan nafsu.
Nyamuk dan binatang lain hidup dengan mengandalkan nafsu, instink atau naluri yang dikaruniai Allah. Meski begitu, mahluk itu dengan kelebihannya pula bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Binatang itu pun bisa "survive" walaupun hidup dari menghisap darah manusia sholeh atau pun seorang koruptor.
Bagi nyamuk, lagi-lagi, siapa pun tahu bahwa menghisap darah manusia untuk menghidupi dirinya bukan soal. Apakah akan berisiko atau tidak, baginya menghisap darah sudah menjadi bagian dari kehidupan.
Perilaku manusia yang berprofesi sebagai penghulu dan "nyamuk" ternyata menarik pula untuk disinggung. Pasalnya, kedua mahluk itu punya kesamaan "watak" dalam kondisi tertentu.
Penghulu dari sisi perilaku bisa mengambil alih profesi "nyamuk", menghisap "darah" warga dengan dalih untuk kemaslahatan umat, untuk kepentingan masa depan pasangan pengantin dengan alasan apa yang dilakukan penghulu agar lahir keluarga sakinah, mawadah dan warohmah.
Siapa pun tahu, nyamuk tak memikirkan risiko tatkala menghisap darah manusia. Lagi-lagi, alasannya hanya tak punya akal budi. Tak punya akhlak. Tapi, tatkala penghulu "menghisap" darah warga, khususnya terhadap kelompok warga miskin yang meminta bantuan untuk menikahkan dua insan guna disatukan dalam satu rumah tangga, tentu akan ada risikonya. Sebagai mahluk berakhlak, penghulu bekerja dipagari "rambu-rambu" berupa sejumlah aturan. Melanggar peraturan tentu artinya akan berhadapan dengan hukum, yang bermuara bisa masuk bui.
Penghulu memang bukan "nyamuk". Menurut Kepala Seksi Bimas Islam kantor Kementerian Agama kota Batam, H. Nabhan, para penghulu yang bertugas di pulau-pulau terkecil seputar kota Batam sudah lama diwanti-wanti agar menjauhkan diri dari perilaku "nyamuk".
Jika ada penghulu ketangkap tangan, risikonya fatal. Seperti halnya nyamuk yang tengah menghisap darah manusia, sekali tepuk tangan akan mati di tempat.
"Sekali tepuk, kena, maka nyamuk hancur, mati tak nampak lagi tulang belulangnya," ungkap Nabhan dengan nada canda dan disambut tawa rekan-rekannya.
Siapa pun tahu, mahluk penghisap darah itu kerap mengganggu jika hadir di berbagai tempat. Utamanya pada malam hari, menghisap darah manusia yang tengah tertidur. Nyamuk, sudah lama dan kini masih menjadi musuh bebuyutan bagi manusia. Di rumah, di kantor dan bahkan pada siang hari yang melalui gigitannya bisa menyebabkan seseorang mengalami demam berkepanjangan, berhari-hari dan bahkan ada yang berakhir dengan kematian.
Pandai membawa diri
Lantas, apa upaya penghulu untuk menghindari dirinya agar tidak berperilaku seperti nyamuk. Menurut Nabhan, penghulu harus "pandai-pandai" membawa diri. Sebagai warga yang diberi kedudukan terhormat, siapa lagi yang pantas menjaga martabat penghulu jika bukan dirinya sendiri. Dalam berbagai kesempatan, khususnya pada perayaan acara hari besar Islam, Idul Fitri, Idul Adha dan Ramadhan, penghulu selalu diberi tempat terhormat di hadapan publik.
Tapi, sejak ada aturan penghulu dilarang menerima "sesuatu" dari sohibul bait, tuan rumah, maka integritas dan kehormatannya kini menjadi taruhan. Penghulu tidak boleh menerima imbalan, apalagi dana gratifikasi. Aturan sudah jelas. nikah di balai nikah kantor urusan agama (KUA) adalah gratis. Sedangkan di luar jam kerja, hari libur dan di kediaman kedua mempelai, dikenai bayaran Rp600 ribu. Pembayarannya pun harus melalui bank yang sudah ditunjuk Kementerian Agama.
Hal ini menjadi tantangan bagi para penghulu yang melayani warga di sejumlah pulau Kecamatan Belakang Padang, Batam. Tatkala warga sudah melunasi pembayaran melalui bank Rp600 ribu, lantas tanda bukti diserahkan ke KUA, tidak ada pilihan lain bagi penghulu untuk memberi pelayanan.
Kecamatan Belakang Padang mempunyai enam kelurahan/desa. Yaitu, -Kelurahan Pempin, Kelurahan Kasu, Kelurahan Pecong, Kelurahan Pulau Terong, Kelurahan Sekanak Raya, Kelurahan Tanjung Sari. Di wilayah itu ada 55 pulau-pulau kecil yang masuk dalam wilayah kecamatan Belakang Padang.
Sayangnya, sejak aturan berlaku Juni 2014, dana operasional penghulu tak kunjung cair. Sementara itu, untuk melayani pulau-pulau terluar, para penghulu di daerah itu harus menalangi dengan uang sendiri.
"Dari mana uangnya? Kita ngutang, cari pinjaman," kata Nabhan, sambil menceritakan nasib para penghulu yang bekerja di sejumlah pulau terluar.
Kadang, jika lagi beruntung, para penghulu di daerah itu dijemput oleh penyelenggara nikah atau sohibul bait. Tuan rumah mengerti posisi penghulu yang tengah dibutuhkan. Cara seperti ini selain meringankan ongkos bagi penghulu, juga guna menghindari risiko di tengah perjalanan. Maklum, peristiwa meninggalnya penghulu Hamdan - pada 2007 - masih teringat di antara petugas KUA di kota Batam.
Hamdan, yang bertugas di KUA Kecamatan Sekupang, meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Saat itu, permintaan layanan nikah di luar jam kantor masih tinggi. Lagi musim perkawinan lagi.
Pekerjaan menikahkan kadang berbau klenik. Sebab, ada tuan rumah yang minta nikahkan pada jam tertentu, hari tertentu. Bahkan malam hari dengan jam tertentu pula. Orang Jawa dan Melayu, tatkala hendak menikahkan anaknya, kerap menggunakan perhitungan tersendiri.
Keadaan itu kadang membuat repot petugas KUA. Padahal tugas KUA adalah mencatatkan nikah saja. Ternyata, realitasnya, penghulu diminta melayani di luar tugas-tugas yang menjadi kewajibannya; seperti menjadi wali nikah, membaca khotbah nikah, sighat ta'lik nikah sampai pada tausiah.
Sebagai ungkapan rasa hormat warga terhadap profesi penghulu, usai menikahkan kadang diberi ikan atau kepiting ala kadarnya. Jumlah pemberiannya tak banyak. Ada penghulu yang menolak, takut disebut sebagai gratifikasi. Tuan rumah merasa tersinggung. Tapi ada yang menerima, sebagai ungkapan menghormati tuan rumah.
"Dalam keadaan seperti itu, penghulu memang harus pandai membawa diri," ungkapnya.
Kepala KUA Belakang Padang, H. M. Arsyad, mengatakan, biaya operasional untuk para penghulu yang dialokasikan dari dana pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas Biaya Nikah dan Rujuk masih diproses. Arsyad mendengar kabar bahwa pihak Ditjen Bimas Islam kini tengah memproses dan tengah minta persetujuan dari Kementerian Keuangan untuk pencairannya.
Karena itu, pihaknya dan seluruh KUA telah diminta segera melaporkan data peristiwa pernikahan kepada kantor wilayah Kementerian Agama setempat.
Sekretaris Ditjen Bimas Islam, Muhammadiyah Amin kepada Antara membenarkan bahwa seluruh KUA telah diminta merapikan data dan melaporkan jumlah peristiwa pernikahan. Sehingga pada waktunya pencairan dapat lebih cepat.
Amin menjelaskan, dana penyetoran biaya nikah di luar KUA, sesuai dengan Peraturan Menteri Agama hingga kini mencapai sekitar Rp234 miliar. Dana tersebut merupakan akumulasi dari biaya nikah dari seluruh Indonesia yang disetorkan oleh calon pengantin yang hendak menikah di luar jam kerja atau luar kantor KUA. Setoran biaya nikah yang disetorkan melalui bank (yang ditunjuk Kementerian Agama) itu berlaku sejak Juni 2014.
"Kita ingin secepatnya biaya operasional para penghulu segera cair," kata Amin. Penjelasan Amin ini juga sekaligus menanggapi keluhan para penghulu di seluruh Indonesia bahwa hingga kini pemerintah belum juga mengucurkan dana operasional bagi penghulu.
Karena keterbatasan dana, para penghulu yang bekerja di wilayah perbatasan seperti di Belakang Padang, Batam - Singapura, harus pandai-pandai agar pelayanan nikah tetap jalan.
Kementerian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No.24 tahun 2014 yang mengatur pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas Biaya Nikah dan Rujuk di luar KUA Kecamatan sudah terbit. PMA tersebut ditandatangani Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin 13 Agustus.
PMA itu terbit menyusul diundangkannya PP No 48 tahun 2014 tentang Perubahan atas PP No 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agama.
Amien menjelaskan pula bahwa PMA PNBP Biaya Nikah dan Rujuk mengatur pengelola, mekanisme pengelolaan PNBP Biaya Nikah dan Rujuk, tipologi KUA Kecamatan, perangkat pencairan, pelaporan, syarat bebas biaya nikah dan rujuk, serta supervisi.
PMA tersebut mengatur pengelompokan KUA menjadi dua: tingkat pusat dan tingkat daerah (Kanwil, Kankemenag, dan KUA Kecamatan), berikut dengan tanggungjawabnya masing-masing. Sedangkan penyetoran biaya nikah di luar KUA, lanjutnya lagi, PMA ini di antaranya mengatur bahwa calon pengantin wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk ke rekening Bendahara Penerimaan sebesar Rp600 pada bank.
*) Penulis adalah Wartawan Senior LKBN ANTARA