Jakarta (Antara News) - Kesejahteraan adalah satu kata yang diidamkan oleh kebanyakan orang. Siapa yang tidak mau hidup dengan sejahtera baik lahir batin mau pun materi.
Hidup sejahtera dengan rasa nyaman dan aman memang idaman setiap orang, hal ini juga yang kemudian diperjuangkan oleh para senator dan legislator negeri ini, supaya masyarakat di tempat terpencil bisa merasakan kesejahteraan.
Kesejahteraan itu kemudian ditawarkan melalui proyek daerah otonomi baru (DOB) atau yang juga dikenal dengan sebutan pemekaran daerah.
Dewan Perwakilan Rakyat kemudian mengajukan usulan pembentukan 65 DOB di Indonesia kepada pemerintah. Atas nama pemerataan kesejahteraan, tentu banyak pihak yang mendukung langkah DPR ini.
"Kami sangat mendukung usulan pembentukan 65 DOB untuk meningkatkan pembangunan di daerah dan menyejahterakan masyarakat setempat," kata anggota DPD asal Maluku Utara, Abdurahman Lahabato, di Ternate, Selasa (12/11).
Dari 65 usulan pembentukan DOB tersebut, dua di antaranya terdapat di ada di Maluku Utara, yaitu Pulau Obi di Kabupaten Halmahera dan Wasilei di Kabupaten Halmahera Timur.
Senator itu mengatakan, DPD sebagai wakil daerah di pusat akan merespon usulan DPR tersebut dengan membentuk tim kerja untuk turun di semua daerah yang masuk dalam usulan pembentukan DOB.
Menurut dia, kunjungan kerja resmi dari timja DPD ini untuk melihat persiapan daerah yang masuk dalam DOB, dimulai dari persiapan infrastruktur hingga berbagai persyaratan lainnya yang dipenuhi oleh daerah yang akan masuk dalam DOB.
Setelah itu, kata dia, DPD akan menyampaikan pendapat akhir dari hasil kunjungannya di semua daerah tersebut ke DPR sebagai salah satu dukungan, apalagi pemekaran merupakan kebutuhan daerah yang harus diresponi.
Tidak hanya wilayah Maluku saja, namun hampir semua pejabat-pejabat daerah terpencil di wilayah Indonesia tampaknya setuju dan sangat mendukung pemekaran daerah ini, yang tentu saja demi kesejahteraan masyarakatnya. Oleh sebab itu, banyak pejabat daerah yang kemudian mengemukakan aspirasinya, supaya daerah tempat mereka menjabat bisa dimekarkan.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arif Wibowo menyatakan bahwa Komisi II DPR RI siap menampung aspirasi daerah yang menginginkan pemekaran.
"Prinsipnya DPR RI siap mengakomodir daerah-daerah yang ingin dimekarkan, sesuai dengan syarat-syarat data yang otentik. DPR RI pun tidak akan menolak. Saat ini DPR saja juga sudah masuk Daerah Otonomi Baru (DOB) sebanyak 65 wilayah yang ingin dimekarkan," kata Arif di Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Hal itu dikemukakan oleh Arif setelah terjadi keributan di Kabupaten Luwu Tengah, Sulawesi Selatan, setelah DPR menolak aspirasi daerah ini untuk dimekarkan.
Salah satu alasan DPR belum mau memproses usulan pemekaran di Kabupaten Luwu Tengah ini, karena ada sejumlah persyaratan yang belum dipenuhi oleh daerah tersebut. Akibatnya, Kabupaten Luwu Tengah menjadi slaah satu daerah yang usulan pemekarannya tidak lolos di Badan Legislasi.
Terkait dengan tuntutan pemekaran di Kabupaten Luwu Tengah yang memicu keributan, Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa berpendapat bahwa hal itu terjadi akibat wilayah daerah selalu dijadikan objek pembangunan bukan menjadi subjek dari pembangunan.
Akibatnya, perputaran uang di daerah menjadi sulit karena sebagian perputaran uang berpusat di Jakarta.
"Uang itu didikte sesuai maunya Jakarta dan beredar di Jakarta," kata Agun ketika dijumpai di Gedung Parlemen Jakarta, Rabu (13/11).
Akan tetapi bila daerah menjadi subjek pembangunan, maka uang secara riil akan beredar dan pemekaran akan berhenti dengan sendirinya.
Agun kemudian berpendapat sepanjang kebijakan pemerintah terkait dengan politik anggaran tidak berpihak kepada rakyat, maka tuntutan rakyat di berbagai wilayah terkait tidak akan bisa dihentikan.
Pemekaran untuk siapa?
Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro menilai bahwa pemekaran daerah bukanlah sesuatu yang tidak mendesak bagi kesejahteraan rakyat, apalagi mengingat bahwa pemerintah saat ini sedang menerapkan moratorium daerah otonomi baru.
"Pemekaran memang sebaiknya ditunda dulu sampai paket UU Otda (revisi UU 32/2004 tentang Pemda, RUU Pilkada dan RUU Desa) rampung dulu," ujar perempuan yang akrab disapa Wiwieq itu saat dihubungi Antara di Jakarta, Sabtu (30/11).
Wiwieq menilai bahwa baik DPR mau pun pemerintah tidak memiliki perspektif yang sama dan sejalan. Hal ini mengingat bahwa moratorium pembangunan daerah otonomi baru tampaknya hanya berlaku bagi pemerintah, namun tidak untuk DPR.
Lebih lanjut Wiwieq menilai, bila pemerintah konsisten dan percaya diri dalam membangun negeri ini, bisa saja 65 RUU pemekaran daerah yang diusulkan oleh DPR tersebut, tidak ditanggapi oleh pemerintah.
Menurut dia karena usulan pemekaran 65 daerah itu tidak relevan, tidak signifikan dan tidak mendesak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
"Untuk saat ini tak ada cara mujarab mengendalikan hasrat DPR untuk memekarkan daerah, kecuali usulan mereka ini diendapkan dulu atau tak perlu direspon," ujar Wiwieq.
Akibatnya, setiap menjelang Pemilu DPR kemudian mengajukan RUU pemekaran dengan jumlah daerah yang banyak.
"Gencarnya RUU pemekaran tak dapat dilepaskan dari kepentingan politik anggota dewan yang ingin mendapatkan dukungan konstituens di daerah," kata Wiwieq.
Dengan kata lain, kepentingan politik jangka pendek dinilai Wiwieq lebih memotivasi para anggota DPR ketimbang kepentingan menata daerah dan mendorong keberhasilan otonomi daerah. Padahal prasyarat atau parameter untuk memekarkan daerah menurut Wiwieq tidak semudah itu.
Prasyarat ekonomi dikatakan Wiwieq juga harus dipenuhi agar daerah-daerah yang dimekarkan memiliki potensi ekonomi dan tidak bermasalah ketika dimekarkan.
"Termasuk didalamnya potensi SDM birokrasi yang acap kali diabaikan di tengah vitalnya peran birokrasi dalam pembangunan daerah," tegas Wiwieq.
Menanggapi hal tersebut, Arif Wibowo sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI tidak menampik bahwa ada suatu masyarakat daerah yang diminta dimekarkan berkaitan dengan unsur politik.
"Bilamana ada pihak-pihak yang manfaatkan politik itu biasa saja," ujar Arif.
Arif mengemukakan bahwa pihaknya melihat aspirasi rakyat yang serius serta didukung oleh data-data yang lengkap.
"Konteks pemekaran daerah kita tidak perlu khawatirkan, tapi kontek pengelolaan daerah itu yang perlu kita khawatirkan," papar Arif.
Politik Dinasti
Wiwieq juga mengkhawatirkan munculnya politik kekerabatan atau politik dinasti sebagai dampak dari perwujudan daerah otonomi baru ini.
"Karena daerah yang dimekarkan ini sebagian besar bukan merupakan daerah yang sumber daya manusianya maju, baik dalam birokrasi maupun penduduk," kata dia.
Wiwieq menilai bahwa politik dinasti atau politik kekerabatan dapat tumbuh dengan subur di daerah yang masyarakatnya berpendidikan rendah.
Sementara itu sebagian besar daerah yang akan dimekarkan merupakan wilayah dengan masyarakat berpendidikan rendah ditambah dengan lembaga swadaya masyarakat dan media lokal di wilayah tersebut yang kurang berani menyuarakan pendapatnya, jelasnya.
"Apa yg diharapkan dari gambaran atau pemetaan seperti itu ketika masyarakat sipil lemah, dominasi dari birokrasi lokal juga kental," jelas dia.
Dia kemudian menambahkan bahwa birokrasi lokal yang mendominasi dapat menimbulkan pemerintahan yang tidak transparan dan akuntabel, sehingga berisiko tinggi menciptakan politik kekerabatan.
"Maka rekrutmen untuk posisi-posisi yang strategis hanya berlangsung di antara mereka," tegasnya.
Lebih lanjut Wiwieq mengemukakan bahwa politik dinasti di wilayah pemekaran dapat dicegah bila masyarakat sipil, pihak intelektual, juga media mau bergerak, berani bersuara, serta memberikan edukasi yang baik dan benar kepada masyarakat.
"Ini tugas kita semua untuk mencegahnya, karena kita tidak dapat mengandalkan pemerintah atau pun partai politik, karena tidak dipungkiri bahwa sebagian besar dari mereka sibuk dengan urusannya sendiri dengan urusannya sendiri," tandas dia.