Kendari (ANTARA News) - Sedikitnya ada 15 ribu buruh yang bekerja di sejumlah perusahaan pertambangan di Sulawesi Tenggara (Sultra) terancam kehilangan mata pencaharian, dampak dari peraturan menteri ESDM nomor: 07/2012 tentang kebijakan pelarangan ekspor tambang bentuk mentah (tanah ore) itu.
"Berdasarkan laporan yang kami terima, sudah ada 50 persen dari jumlah buruh yang bekerja di sejumlah perusahaan tambang itu, sudah dirumahkan," kata Koordinator Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional (SPARTAN) Sultra, Hamrullah, usai melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD Sultra, Kendari, Selasa.
Ia mengatakan, dampak dari Permen 07/2012 itu, banyak perusahaan tambang saat ini, sudah mengalami kerugian besar-besaran karena ratusan alat berat yang biasa digunakan dalam beraktivitas mengolah tambang, kini tidak lagi beroperasi.
"Bahkan di Kabupaten Konawe Utara dan Bombana, ada beberapa perusahaan seperti PT Billy dan PT Starget sudah memberhentikan 50-70 persen karyawannya karena sudah tidak mampu lagi untuk membiayai upah buruh yang mereka harus terima setiap bulannya," katanya.
Oleh karena itu, lanjut mereka, pemerintah semestinya jeli melihat persoalan di lapangan dan tidak serta merta mengeluarkan Permen itu, lalu memberlakukan secepat itu.
Terbitnya Permen 07/2012 yang secara tiba-tiba memutuskan untuk melarang perusahaan tambang melakukan ekspor bahan mentah mineral pada tahun ini adalah menjadi teror dan ancaman bagi pekerja tambang.
"Sudah hampir dapat dipastikan bahwa tentu ada ribuan perusahaan tambang akan berhenti beroperasi sehingga akan mem-PHK lebih dari 4 juta pekerja tambang di seluruh tanah air," kata Hamrullah.
Yang anehnya lanjut dia, dengan Permen ini tidak diberlakukan bagi perusahaan pemegang kontrak karya yang rata-rata dimiliki oleh asing seperti Freeport, Inco, Newmont dan lain sebagainya.
Dampak dari Permen 07/2012 itu, juga sudah dapat dipastikan akan bermuara pada konflik perburuhan lingkaran setan, pengusaha melawan pekerja, pekerja melawan pemerintah dan pemerintah melawan pengusaha.
Salah seorang mantan karyawan perusahaan tambang di Bombana, Anto (30), mengaku sudah menjadi korban PHK di salah satu perusahaan pertambangan itu.
Ia mengatakan, dirinya yang sudah bekerja hampir dua tahun di salah satu perusahaan tambang milik perusahaan lokal, tiba-tiba diberhentikan bersama puluhan rekannya dengan alasan, perusahaan untuk sementara tidak lagi bisa mengolah tambang mentah seperti yang sudah dilakukan selama ini.
"Kami juga tidak tahu, tiba-tiba ada belasan rekan-rekan saya yang bersamaan diberhentikan saat ini," kata dia yang mengaku bekerja sebagai operator mesin pengisap air saat mesin tambang itu beroperasi.
Hal senada diungkap, Herman (23), juga salah satu karyawan tambang di Konawe Utara, yang mengaku sudah tidak bekerja lagi, dan kini kembali berprofesi sebagai nelayan di daerahnya.
Menurut dia, saat bekerja di perusahaan tambang itu, masih bisa mendapatkan gaji di atas Rp1,5 juta hingga Rp2 juta per bulan, namun setelah diberhentikan perusahaan kini tidak lagi mampu mendapatkan penghasilan sebesar itu.
"Apalagi saat ini, kondisi sudah musim timur, ombak dan angin kencang, sehingga menyulitkan kami untuk melakukan aktivitas turun melaut untuk mencari ikan untuk memenuhi hidup keluarganya," katanya. (ANT).