Makassar (ANTARA) -
Organisasi perempuan tersebut terdiri dari YPMP (Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan) Sulsel, Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi, komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Sulsel, KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) Sulsel, dan YLK Sulsel.
Ketua Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi Rosniaty Azis di Makassar, Selasa menyebut hal ini kerap terjadi karena perempuan memiliki peran ganda yang juga selalu mementingkan pangan keluarga, apalagi di tengah melonjaknya seluruh harga komoditas pangan.
"Mereka tahu bahwa rakyat, apalagi perempuan, dihadapkan dengan biaya hidup, biaya keluarga yang semakin tinggi. Itu yang dilihat oleh calon," kata Rosniaty.
Kondisi ini membuat banyak perempuan merasa mau tidak mau memilih berdasarkan imbalan finansial daripada berdasarkan program dan visi calon.
Rosniaty menilai calon kepala daerah kerap kali mengeksploitasi isu kemiskinan. Mereka tahu betul apa kebutuhan rakyat sehingga memanfaatkannya untuk meraup suara.
Maka dari itu, sejumlah organisasi perempuan di Sulsel menyerukan pilkada bebas korupsi dan bebas dari praktek politik uang. Meskipun mereka menilai fenomena ini sebagai tantangan. Terlebih, politik uang sudah sangat merajalela di Indonesia.
Dia juga menyerukan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) lebih aktif dalam menangani praktik politik uang yang menargetkan perempuan. Seharusnya, kata dia, Bawaslu semakin ketat dalam mengawasi.
"Ketika ada transaksi itu, ketika Anda (Bawaslu) mendengar ada dugaan (politik uang), harus segera turun," kata Rosniaty.
Rosniaty menekankan pentingnya bahwa mencegah politik uang harus dimulai dari sendiri. Menurutnya, sudah saatnya pemilih mulai berpikir cerdas.