Jakarta (ANTARA) -
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI Hasto Wardoyo menyebut bahwa pola pikir orang tua bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya angka stunting.
"Pola pikir itu kalau bisa diubah, 70 persen bisa menurunkan stunting. Contoh, kalau orang tua sadar dan melek pentingnya jamban, maka dia menabung untuk memperbaikinya, air bersihnya dikontrol betul, daripada uangnya untuk membeli rokok, misalnya," kata Hasto pada diskusi bersama media di Jakarta, Jumat.
Ia menegaskan, apabila pola pikir orang tua sudah bagus, maka meskipun perekonomian keluarga terbatas, pasti bisa memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan yang penting, misalnya kebutuhan protein hewani anak.
"Kalau orang tua yang punya pola pikir baik seperti itu, maka akan sadar juga pentingnya memperhatikan makanan anak, tidak hanya mie dan mie, tetapi telur dan ikannya dipenuhi, dia sadar betul pentingnya protein hewani," ujar dia.
Ia menjelaskan, angka stunting di Indonesia sekarang masih tinggi, berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) masih di angka 21,6 persen, sedangkan saran dari Organisasi Kesehatan Dunia, standar prevalensi stunting harus di bawah 20 persen.
Sehingga, program-program yang melibatkan seluruh unsur masyarakat terkait percepatan penurunan stunting mesti digenjot agar berhasil mencapai target sesuai arahan Presiden, yakni 14 persen di tahun 2024.
"Stunting sekarang menjadi kepentingan semua pihak. Tidak ada kepala desa yang tidak khawatir dengan stunting, karena dana desanya sudah diarahkan untuk stunting. Puskesmas juga sibuk mencari cara untuk mengelola makanan lokal dan dibagikan pada keluarga berisiko stunting," ucapnya.
Maka, untuk mengejar penurunan angka stunting tersebut, BKKBN bersama seluruh pemangku kepentingan telah mengarahkan berbagai program untuk mengatasi angka stunting dari hulu.
"Pola pikir kawin usia muda, terlalu tua, terlalu sering hamil, dan terlalu banyak (anak) ini sekarang sedang kita hapus, karena ini kan terkait pola pikir yang termasuk faktor jauh (penanganan sensitif atau tidak langsung). Kalau faktor jauhnya bagus, maka bisa dipastikan anaknya tidak akan stunting," tuturnya.
Dokter spesialis kandungan lulusan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ini mengisahkan, salah satu pasiennya yang sudah menempuh pendidikan S2 juga ada yang belum memahami pentingnya menjaga angka kelahiran.
"Saya bertemu pasien yang sudah S2, jadi anaknya yang pertama umur 1 tahun 3 bulan, tetapi dia sudah hamil lagi 6 bulan, terus saya tanya, ibu kan S2, apakah tidak sadar kalau ini jaraknya terlalu dekat? Jawabannya sederhana, kata dia, ini dokter, sekalian repotnya," paparnya.
Ia menegaskan, kasus ini adalah salah satu contoh bahwa pendidikan tinggi tidak menentukan bahwa pola pikir seseorang bisa bagus, dan dampaknya akan memunculkan angka stunting yang semakin tinggi.
"Anak yang jaraknya terlalu dekat, akan mengalami stres. Pertama, bayi yang di luar stres karena puting ibu disedot terus-menerus, tetapi ASI tidak produktif karena ibu mengandung, sehingga plasentanya menghasilkan hormon estrogen dan progesteron, yang bisa mengurangi produksi ASI," tuturnya.
Untuk itu, ia menekankan kepada seluruh pemerintah daerah untuk melakukan edukasi yang masif melalui Tim Pendamping Keluarga (TPK), para kader, Generasi Berencana (Genre), tim Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan seluruh masyarakat hingga tingkat RT atau RW, untuk mengubah pola pikir masyarakat yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan program percepatan penurunan stunting.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kepala BKKBN sebut pola pikir orang tua bisa pengaruhi angka stunting