Jakarta (ANTARA) - Ketika banyak laki-laki kerap merasa frustrasi untuk memahami perempuan, Dr. Louann Brizendine, peneliti klinis di Universitas California, San Francisco, melakukan terobosan menakjubkan dengan mengungkap teka-teki otak perempuan.
Dalam bukunya berjudul "The Female Brain", Brizendine yang juga pelopor neuropsikiatri itu menjelaskan bagaimana perempuan berpikir, berkomunikasi, dan merasakan hal-hal dengan cara yang berbeda dibandingkan laki-laki.
Maka membaca buku yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa ini rasanya seperti diajak memahami otak perempuan layaknya membuka buku catatan rahasia yang penuh dengan kode-kode tersembunyi.
Namun begitulah sensasi membaca "The Female Brain, Teka-Teki Otak Perempuan" karya Dr. Louann Brizendine ini. Dengan pengetahuan ilmiah yang kuat dan gaya penulisan yang hidup, Brizendine mengajak pembacanya masuk ke labirin yang tak terduga bernama otak perempuan.
Buku ini, menurut San Francisco Chronicle, merupakan separuh peta jalan bagi perempuan yang mencari penjelasan ilmiah atas perilaku mereka, dan separuhnya lagi adalah panduan bagi laki-laki untuk mengatasi masalah mereka dalam menjalin hubungan.
Buku yang di Indonesia diterbitkan oleh Aruna Books pada Desember 2024 itu, wajar jika kemudian menjadi fenomenal. Selain karena telah terjual lebih dari sejuta eksemplar, buku setebal 275 halaman ini dianggap berhasil meluruskan pemahaman tentang otak perempuan.
Dengan kata-kata yang mudah dipahami dan disertai contoh-contoh yang diambil dari pengalaman sehari-hari, buku ini mengungkap fakta dari berbagai pertanyaan di antaranya mengapa perempuan menggunakan sekitar 20.000 kata per hari, sedangkan laki-laki hanya sekitar 7.000 kata per hari.
Maka, buku yang diterjemahkan oleh Priska Ghania ini bukan hanya untuk perempuan. Siapa pun yang ingin memahami bagaimana perbedaan otak laki-laki dan perempuan membentuk cara berpikir, merasa, dan bertindak akan terpesona oleh isi buku ini.
Brizendine, yang juga pendiri Women's Mood and Hormone Clinic di Universitas California itu, membuka buku ini dengan sebuah pernyataan yang menggugah: “Apa yang membuat kita menjadi perempuan.”
Ia kemudian membawa pembacanya ke sebuah perjalanan untuk memahami bagaimana otak perempuan bekerja, dipengaruhi oleh perubahan hormon sepanjang hidup, dan bagaimana ini membedakan perempuan dari laki-laki.
Buku ini memecah mitos, mengurai kompleksitas, dan menyajikannya dengan gaya yang ramah pembaca.
Brizendine memulai dari fase perkembangan otak sejak dalam kandungan hingga masa dewasa, sambil menjelaskan bagaimana fluktuasi hormon seperti estrogen, progesteron, dan oksitosin memainkan peran utama dalam setiap tahapan kehidupan perempuan.
Seolah sedang mendengar seorang teman pintar yang tahu banyak tentang psikologi, pembaca diajak merenungkan dinamika yang sering diabaikan tetapi nyata, yaitu mengapa bayi perempuan cenderung lebih responsif terhadap wajah dibandingkan bayi laki-laki, atau mengapa masa remaja perempuan menjadi begitu rumit.
Namun, di balik pendekatannya yang santai, Brizendine tetap berpegang pada bukti ilmiah. Ia menggunakan data penelitian terkini untuk mendukung klaimnya, yang disampaikan dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Salah satu kekuatan buku ini adalah kemampuannya menjembatani dunia ilmiah dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, ia menjelaskan bagaimana hormon memengaruhi perilaku perempuan dalam hubungan, dari fase jatuh cinta yang penuh gairah hingga tantangan mempertahankan hubungan jangka panjang.
Pembaca mungkin tertawa ketika membaca bahwa "otak perempuan dirancang untuk membaca bahasa tubuh seperti Google membaca internet," tetapi kemudian berhenti sejenak untuk merenungkan betapa benarnya itu.
Buku ini tidak hanya membahas tentang hubungan atau cinta, ada juga bahasan yang lebih dalam tentang kekuatan perempuan. Brizendine menyoroti bagaimana otak perempuan dirancang untuk empati, komunikasi, dan koneksi sosial.
Ia juga menggarisbawahi bagaimana kekuatan ini, meskipun sering dianggap sebagai "kelemahan" dalam dunia yang maskulin, sebenarnya merupakan keunggulan yang luar biasa.
Dalam bab-bab tentang keibuan, misalnya, Brizendine menggambarkan bagaimana perubahan otak selama kehamilan dan setelah melahirkan membuat perempuan lebih responsif terhadap kebutuhan bayi.
Ini adalah bukti bahwa otak perempuan terus berubah, beradaptasi, dan memperkuat dirinya dalam menghadapi tantangan hidup.
Stereotip gender
Namun, bukan berarti buku ini tanpa kontroversi. Salah satu kritik yang sering muncul adalah bahwa Brizendine terkadang terkesan memperkuat stereotip gender.
Sebagai pembaca kritis, sebagian pembaca mungkin merasa ada generalisasi yang terlalu menyederhanakan. Akan tetapi, di sisi lain, Brizendine juga dengan jelas menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak mutlak.
Ia mengakui bahwa pengaruh budaya dan pengalaman hidup memainkan peran besar dalam membentuk otak manusia. Dengan kata lain, biologi adalah fondasi, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menentukan siapa sosok seseorang.
Salah satu bagian paling menarik adalah bagaimana Brizendine membahas fase menopause, yang sering kali dianggap sebagai akhir dari “masa keemasan” perempuan.
Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa ini adalah fase baru dalam kehidupan, dengan tantangan dan peluang yang berbeda.
Ia menggambarkan bagaimana penurunan hormon tertentu dapat membawa perubahan emosional, tetapi juga menawarkan kebebasan dari tekanan biologis yang pernah mendominasi hidup perempuan.
Dengan sudut pandang ini, Brizendine berhasil mengubah persepsi tentang menopause dari sesuatu yang menakutkan menjadi sesuatu yang bisa dirayakan!
Bahasa Brizendine yang penuh energi membuat setiap halaman terasa hidup. Ia menggunakan metafora yang segar dan analogi yang cerdas untuk menjelaskan konsep yang kompleks.
Sebagai contoh, ia menggambarkan otak perempuan selama masa pubertas seperti “komputer yang sedang mengunduh perangkat lunak baru, tetapi koneksi internetnya lambat.”
Ini tidak hanya membuat pembaca tersenyum, tetapi juga membantu memahami bagaimana proses hormonal memengaruhi emosi dan perilaku.
Pembaca bisa jadi akan menemukan saat ketika sering mengangguk setuju atau merenung setelah membaca setiap bab.
Banyak dari perempuan juga mungkin tidak pernah menyadari sejauh mana hormon memengaruhi keputusan sehari-hari.
Brizendine tidak hanya memberikan wawasan baru, tetapi juga alat untuk memahami dan menerima diri sendiri, atau pasangan, anak, teman, dan kolega.
Ini adalah buku yang penuh dengan aha-moment, saat-saat di mana pembaca bisa merasakan seperti akhirnya memahami sesuatu yang sebelumnya membingungkan.
Membaca "The Female Brain Teka-Teki Otak Perempuan" adalah seperti duduk di sebuah kelas yang menyenangkan tentang neurobiologi, psikologi, dan kehidupan sehari-hari.
Brizendine berhasil menciptakan karya yang seimbang antara sains dan humanisme, mengingatkan semua bahwa di balik setiap teori dan data, ada manusia yang hidup, merasakan, dan berpikir.
Bagi perempuan, buku ini adalah cermin yang memungkinkan untuk melihat diri sendiri dengan cara baru. Sementara bagi laki-laki, ini adalah panduan yang membuka pintu untuk memahami perempuan lebih baik.
Dan bagi siapa pun yang penasaran dengan misteri otak manusia, buku ini adalah permata yang tidak boleh dilewatkan.
Dengan gaya penulisan yang memikat dan wawasan yang mendalam, "The Female Brain Teka-Teki Otak Perempuan" adalah buku yang menghibur sekaligus mendidik.
Ketika selesai membacanya, maka pembaca tidak hanya akan merasa lebih memahami otak perempuan, tetapi juga merasa lebih menghargainya.
Sebuah karya yang menggugah, menginspirasi, dan seperti otak perempuan itu sendiri penuh dengan keajaiban.
Sebagaimana Sarah Blaffer Hrdy, penulis Mother Nature, yang berpendapat bahwa buku ini hadir tepat waktu, mendalam, enak dibaca, dan secara keseluruhan sangat luar biasa.