Jakarta (ANTARA) - Indonesia darurat judi online. Begitu kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi baru-baru ini, setelah polisi menangkap seorang selebgram yang mempromosikan judi online di Instagram.
Sikap tegas Menteri Budi tentu patut kita apreasiasi. Bagaimana tidak, jerat judi online telah membuat sejumlah orang bunuh diri di Indonesia. Terbaru, seorang ibu berusia 49 tahun ditemukan bunuh diri lantaran pusing akibat ulah anaknya yang kecanduan judi slot online. Warga Kecamatan Parungponten, Tasikmalaya, Jawa Barat, itu depresi lantaran sang anak tak bisa dinasihati.
Sebelumnya, pertengahan Mei lalu, bos ekspedisi J&T Cabang Tambora, Jakarta Barat, berinisial ALG juga bunuh diri lantaran terlilit utang akibat sering kalah judi online.
Kasus serupa juga terjadi di Solo (Jateng), di Buton (Sulawesi Tenggara), juga di Penajam Paser Utar (Kalimatan Timur), yang menimpa seorang pekerja bendungan di Ibu Kota Negara (IKN). Semua bermuara pada satu hal: mereka depresi terjerat tumpukan hutang berikut bunganya lantaran kecanduan judi online.
Kasus orang bunuh diri karena judi online tentu sangat memprihatinkan, karena itu judi harus diberantas. Kemenkominfo sendiri sejak 2018 hingga Juli 2023, sudah memblokir 846.047 situs judi online.
Dari sisi pembayaran atau setoran deposit ke situs judi, Kemenkominfo telah menerima 1.859 aduan pemakaian rekening perbankan untuk perjudian online.
Namun, di tengah upaya keras pemerintah itu, hal sebaliknya diperlihatkan oleh platform media sosial. Hingga 25 Agustus kemarin, penulis masih menemukan sejumlah iklan judi online yang dipromosikan di Facebook, Instagram, hingga Youtube.
Berbeda dengan iklan oleh selebgram yang ditangkap baru-baru ini, iklan di platform medsos dipasang oleh pemilik situs judi, dan bayarannya masuk ke rekening perusahaan pengelola medsos. Jadi, ini bukan konten bikinan pengguna (user generated content), melainkan iklan B to B antara perusahaan/individu pemilik situs judi dengan platform. Ini seperti produk A memasang iklan berbayar di TV B.
Di Facebook dan YouTube, penulis dibombardir dengan iklan judi online setelah melalukan pencarian di Google dengan kata kunci "judi online" dan "game slot".
Algoritma media sosial membuat seseorang disuguhi rekomendasi konten sesuai konten yang dicari di mesin pencari. Ini lantaran algoritma dirancang untuk mendeteksi apa yang dicari sebagai sesuatu yang disukai oleh pengguna. Padahal, saya mencari "judi online" di Google hanya untuk keperluan riset, bukan karena menyukai judi online.
Sistem algoritma semacam itu membuat orang terus-menerus disajikan konten sejenis. Inilah yang membuat pengguna media sosial tak bisa keluar dari jebakan. Sekali terpapar konten judi online, maka konten serupa akan terus mengikutinya setiap dia membuka media sosial di mana pun dia berada.
Di Facebook, penulis "dipaksa" menonton iklan judi online terlebih dahulu saat hendak memutar sejumlah video di platform itu. Saat iklan itu diklik, penulis diarahkan ke sebuah situs judi online.
Sementara di YouTube, iklan itu muncul di bawah konten video yang ditonton, dengan perintah untuk mengunduh aplikasi judi online dari Google Play Store.
Kondisi ini diperparah dengan penyusupan oleh pemilik situs ke situs-situs web milik pemerintah dan institusi pendidikan. Dan, itu terindeks oleh mesin pencari Google. Walhasil, meski pemerintah sudah berupaya memblokirnya, mesin crawler Google membuatnya gampang ditemukan.
Tak percaya? Coba saja ketik 'judi online' atau 'game slot' di Google sekarang. Anda pasti akan menemukan ribuan situs judi online, termasuk yang disusupkan lewat injeksi script oleh pemilik situs judi ke situs pemerintah dan institusi pendidikan.
Sekadar contoh, saya sempat melihatnya muncul di situs dprd.paserkab.go.id, cbt.uinbanten.ac.id, atau bbplkmedan.kemnaker.go.id. Tentu itu bukan kerjaan pengelola situs pemerintah, tapi lewat injeksi script oleh pihak luar yang meretas situs pemerintah ala hacker.
Melihat masifnya kepungan judi online itu, pemerintah tidak bisa tidak harus memanggil pengelola platform semacam Facebook, Instagram (Grup Meta), Google, dan YouTube.
Pengelola platform tidak bisa berlindung di balik alasan bahwa itu adalah konten bikinan pengguna. Dalam kasus iklan berbayar, itu adalah konten berbayar yang membutuhkan mekanisme review oleh platform. Tapi toh, ternyata diloloskan juga untuk dipromosikan kepada pengguna.
Mengizinkan iklan situs judi online muncul di platform media sosial secara terang-terangan di tengah upaya pemerintah untuk memberantasnya, tentu mengesankan pemerintah seolah tidak berdaya menghadapi penyedia platform medsos.
Kita paham bahwa pemain judi besar bisa menggunakan teknik tertentu untuk tetap dapat mengakses konten judi. Namun, setidaknya, janganlah platform medsos membuat orang yang belum terpapar malah justru tergoda untuk masuk dalam jerat judi online karena dibombardir terus-menerus dengan iklan judi online.
Sejauh ini, saya baru menemukan iklan itu muncul di Facebook, YouTube, dan Instagram.
Dalam aturan iklan Facebook, pemasang iklan game online yang menyimulasikan perjudian kasino, poker, slot, rolet, diizinkan untuk target pengguna di atas 18 tahun. Hal ini tentu bertentangan dengan aturan hukum Indonesia yang melarang judi online untuk semua usia.
Selain itu, dari sisi fasilitas pembayaran atau deposit, pemerintah juga perlu memanggil penyedia sistem pembayaran dan e-wallet semacam DANA atau OVO cs.
Dari sisi penyedia domain dan hosting, kita paham bahwa situs judi online gampang sekali direproduksi. Seperti kata Wamenkominfo Nezar Patria, hari ini diblokir satu, besoknya muncul 1.000 domain baru yang sejenis.
Karena itu, pemberantasan judi online harus dilakukan dari hulu ke hilir. Dari penyedia domain dan hosting, penyedia sistem pembayaran, juga penyedia platform yang turut mendistribusikan dan mempromosikannya.
Jika tidak, pemberantasan judi online dengan memblokir situs judi oleh pemerintah hanya terkesan seperti menggarami lautan. Sesuatu yang sia-sia.
Jika konten porno bisa diblokir dengan "safe search" secara permanen oleh Google, seharusnya tak sulit juga memblokir agar konten judi online tidak muncul dalam pencarian Google dan ajakan mengunduh aplikasinya di Google Play Store.
Jika Facebook dulu bisa memblokir organisasi teroris dari kontennya, seharusnya tak sulit juga memblokir konten judi online.
Yang dibutuhkan hanya rasa peduli dan rasa turut bertanggung jawab tanpa harus menunggu ada orang yang akhirnya memilih bunuh diri karena terjerat judi online.
Dengan ketegasan dari pemerintah, adanya rasa peduli dan tanggung jawab dari pengelola platform dan semua pihak yang terlibat dalam industri judi online, saya yakin judi online dapat diminilisir kemunculannya di ranah publik, jika pun tak mungkin diberantas sepenuhnya.
Dengan begitu, kita menciptakan era digital yang lebih aman dan bermanfaat bagi Indonesia, terutama generasi muda.
*Yuswardi Ali Suud adalah wartawan pemerhati keamanan digital