Semarang (ANTARA) - Warga internet (warganet) tampaknya perlu mengenali info yang benar dan hoaks di media sosial agar tidak terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Meski bukan pembuat hoaks, netizen yang menyebarkan konten tersebut bakal berurusan dengan penegak hukum. Hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah dengan UU No. 19/2016.
Ancaman hukuman terhadap setiap warganet yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah (vide Pasal 45A UU No. 19/2016).
Gegara ketidaktahuan, sekadar main-main (iseng), atau ketidakmampuan membedakan mana info yang benar dan hoaks, mereka penyebar konten itu terpaksa berurusan dengan penegak hukum.
Pegiat literasi digital yang tegabung dalam Jaringan Penggiat Literasi Digital (Japelidi) lantas melakukan riset yang menunjukkan literasi digital anak-anak muda masih rendah.
Namun, kata Angie Mizeur (Public Affairs Officer, U.S. Consulate General Surabaya), ini fenomena di dunia, termasuk di Amerika Serikat. Anak-anak masih sulit membedakan informasi yang benar dan disinformasi.
MyAmerica Surabaya senang sekali berkolaborasi dengan Japelidi yang membuka secara resmi kegiatan penguatan kecakapan digital untuk kaum muda Indonesia bagian timur (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan) selama 6 bulan, sejak 15 September 2021 dan akan berakhir pada tanggal 28 Februari 2022.
Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA RI) I Gusti Agung Putri Astrid Kartika menilai anak muda sering kali melihat keluar (budaya luar) dan cenderung ingin meniru budaya mereka sehingga mereka tidak jarang terjebak informasi palsu.
"Padahal, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Hal ini justru yang harus digali untuk disebarluaskan," kata I Gusti Agung Putri Astrid Kartika di hadapan 135 peserta pada peluncuran perdana program pemberdayaan pemuda di Indonesia wilayah timur sebagai agen literasi digital secara daring (online), Sabtu (2/10).
Tips Lolos dari Penjara
Agar netizen, terutama anak muda tidak terjebak info hoaks, Koordinator Nasional Japelidi Dr. Novi Kurnia memberikan tips untuk membedakan antara informasi akurat dan hoaks di media sosial agar warganet tidak langsung menyebarkan pesan itu kepada sesama netizen.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menyebutkan tiga cara membedakan informasi akurat dan tidak: analisis, verifikasi, dan evaluasi.
Warganet perlu melakukan analisis dengan selalu waspada terhadap informasi yang berlebihan dan provokatif, misalnya ada huruf kapitalnya, banyak tanda seru, ada perintah viralkan, ataupun ada pernyataan katanya A dan B yang belum jelas siapa.
Biasanya, kata Novi, "too good to be true" (terlalu bagus untuk menjadi kenyataan) maupun "too bad to be true" (terlalu buruk untuk menjadi kenyataan). Ini perlu diwaspadai karena sering enggak masuk akal.
Tips kedua adalah verifikasi, yakni membandingkan informasi dengan informasi lain, kemudian melakukan cek fakta dan periksa kebenaran informasi, baik secara manual (melakukan sendiri di mesin pencari) maupun menggunakan beberapa situs cek fakta, seperti cekfakta.com dan berbagai situs cek fakta dari pemerintah, media, dan organisasi masyarakat.
Tips ketiga adalah evaluasi. Netizen perlu memastikan sekali lagi bahwa selain soal akurat, informasi tadi bermanfaat dan juga tidak berisiko. Misalnya, etis atau tidak? Melanggar hukum atau tidak? Menyerempet SARA atau tidak? Berbagai pertimbangan sosial budaya hukum lainnya.
Kalau menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), warganet terancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah (vide Pasal 45A UU No. 19/2016).
Tol Langit
Literasi digital ini sangat penting di tengah Pemerintah membangun tol langit atau proyek jaringan serat optik yang mengupayakan pemerataan kualitas internet di seluruh daerah Indonesia, termasuk wilayah timur, dengan kualitas yang merata, tanpa adanya kesenjangan.
Soal infrastruktur digital ini juga disinggung oleh Tenaga Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa Kominfo Devie Rahmawati pada acara peluncuran perdana program pemberdayaan pemuda di wilayah timur Indonesia sebagai agen literasi digital itu.
Dikatakan bahwa negara terus pacu peningkatan pemerataan infrastruktur digital berupa jalan "tol" sinyal, yang dipercepat 10 tahun dari tahun 2032 menjadi tahun 2022, sudah akan terwujud.
Ketika digital "divide" (kesenjangan digital) selesai dengan pembangunan "base transceiver station" (BTS), "cyber optic", dan sebagainya, tantangan berikutnya ialah man-divide, dari aspek literasi digital.
Di sinilah, kata Devie Rahmawati, kenapa Pemerintah mendukung penuh program Japelidi di Indonesia wilayah timur yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pada era digital.
Japelidi juga telah banyak membantu pemerintah, khususnya menyusun bukan hanya materi modul, tetapi juga aktif melakukan sosialisasi dan edukasi ke akar rumput, membekali publik dengan materi-materi dasar literasi.
Dosen pada Program Vokasi Universitas Indonesia (UI) ini menyebutkan Japelidi merupakan salah satu ekosistem yang paripurna dari kolaborasi dan kolabor-aksi seluruh elemen masyarakat dalam program literasi digital, termasuk yang saat ini masih berlangsung di wilayah timur Indonesia.
Asa pun disampaikan Ni Made Ras Amanda G. selaku Ketua Program Literasi untuk Indonesia Timur. Dia berharap program kolaborasi Japelidi dan MyAmerica Surabaya yang melibatkan 46 anggota Japelidi dari 40 perguruan tinggi di Indonesia ini bisa menjadi program yang mampu meningkatkan literasi digital masyarakat timur. Selain itu, pihaknya bisa menemukan anak muda yang akan menjadi sosok perwakilan di wilayah timur.
Untuk melihat sejauh mana warganet berkompetensi literasi digital, Japelidi membagi empat kategori, yakni keterampilan mengonsumsi informasi secara fungsional (mengakses, memilih, dan memahami); keterampilan mengonsumsi kritis (menganalisis, memverifikasi, dan mengevaluasi).
Berikutnya, keterampilan prosuming (produksi) fungsional (memproduksi dan mendistribusikan); dan keterampilan prosuming kritis (berpartisipasi dan berkolaborasi).
Oleh karena itu, warganet perlu terus meningkatkan literasi digital agar tidak mudah terjebak kabar bohong yang berpotensi berurusan dengan pihak berwajib, bahkan mendekam di hotel prodeo.