New Jersey (ANTARA) - Peristiwa ini bisa jadi momentum membahagiakan, layaknya kabar kelahiran 24 bayi di sini atau pernikahan pada pekan lalu.
Atau mungkin momen itu berupa obrolan tentang trauma di antara para pengungsi atau warga Afghanistan yang memunguti pakaian di atas meja lipat setelah benar-benar kehilangan segalanya.
Namun, ada perasaan bahwa peristiwa kehidupan dengan segala kompleksitasnya bergulir begitu saja bagi lebih dari 9.300 pengungsi Afghanistan yang datang untuk menyebut pangkalan militer AS di New Jersey sebagai rumah selama sebulan terakhir atau lebih dan mungkin bagi mereka yang berada di sini untuk beberapa waktu.
Pangkalan Bersama McGuire-Dix-Lakehurst adalah salah satu dari delapan lokasi di AS yang menampung puluhan ribu warga Afghanistan yang melarikan diri dalam penerbangan evakuasi AS saat negara itu keluar dari Afghanistan bulan lalu pascakalah perang dengan Taliban.
Berupaya membuat mereka merasa disambut, para pejabat di sini menyebut warga Afghanistan sebagai "tamu" mereka.
Tanda-tanda tantangan logistik yang membengkak ada di mana-mana. Pekerja bangunan mendorong tumpukan kerikil dan menambah luas tenda-tenda putih yang menampung para pengungsi.
Pakaian disampirkan di pagar rantai, mungkin sedang dijemur. Anak-anak ada di mana-mana.
Mungkin tidak mengherankan, tantangan yang tak terlihat sama menakutkannya, terutama terkait kesehatan mental.
“Setiap orang telah melalui pengalaman yang traumatik sejak melarikan diri dari Afghanistan,” kata pejabat militer AS yang memberikan arahan kepada Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin di luar asrama khusus wanita.
Austin berkunjung pada Senin saat Liberty Village merayakan pencapaian penting, yakni 11 warga Afghanistan dari dua keluarga menjadi yang pertama keluar dari pangkalan untuk tinggal di AS.
Itu langkah kecil dan tanda bagaimana banyaknya pekerjaan terbentang di depan.
“Saya tahu ini tidak mudah,” kata Austin seiring berterima kasih kepada personel AS.
“Saya tahu kami datang bersama dalam jangka waktu yang singkat. Tetapi, Anda telah menyelesaikan pekerjaan yang luar biasa,” katanya.
Keinginan Menjadi Warga AS
Kunjungan pada Senin adalah pertama kalinya awak media diizinkan memasuki Liberty Village. Pangkalan itu memiliki sejarah menolong pengungsi. Pada 1999, pangkalan itu menampung lebih dari 4.000 pengungsi yang meninggalkan perang di Kosovo.
Ketika orang-orang Afghanistan datang, mereka memberikan gelang dengan nomor identifikasi unik. Beberapa cukup beruntung mendapatkan tempat di asrama, sementara yang lain tinggal di tenda besar di mana privasi hanya dihalang kain yang memisahkan antarkeluarga.
Masyarakat sekitar pangkalan telah banyak menyumbang, mulai dari peralatan sekolah hingga mainan dan sajadah. Tetapi, skala donasi awalnya membuat personel militer kewalahan.
Saat Liberty Village berkembang, pembelian pasokan mulai dilakukan secara teratur dan mendorong para simpatisan untuk mengganti ke kartu hadiah elektronik ketimbang donasi fisik untuk para pengungsi.
Tidak semua orang mengerti saran tersebut. Seorang penduduk lokal mengatakan dalam ajang di balai kota belum lama ini dengan anggota kongresnya yang ia ajak ke tempat pengumpulan donasi dan melihat “banyak dan banyak lagi tas terbuka di luar sana di tengah hujan”.
“Sekarang saya punya berkardus-kardus berisi barang-barang yang saya beli dan ingin berikan,” katanya.
Berapa lama Liberty Village akan bertahan masih belum jelas. Pejabat Pemerintah AS telah mendirikan kantor darurat untuk mempercepat proses dokumen bagi warga Afghanistan, mempersingkat proses yang terkadang bertahun-tahun menjadi berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk memungkinkan mereka menjadi penduduk.
Tetapi jelas bahwa Liberty Village bersiap menghadapi cuaca dingin ke depannya, dengan lebih banyak pengungsi yang akan datang dari pangkalan AS di luar negeri.
Warga Afghanistan di sini juga mulai menetap. Sekelompok perempuan Afghanistan mendirikan salon kecantikan di Liberty Villange yang membantu mempersiapkan pengantin untuk pernikahannya akhir pekan lalu.
Kembali ke Afghanistan, video viral yang beredar menunjukkan salon kecantikan melukis gambar wajah perempuan setelah Taliban mengambil alih kembali kendali.
Selama pemerintahan Taliban 1996-2001, mereka melarang perempuan meninggalkan rumah tanpa ditemani seorang kerabat pria dan menutup sekolah untuk anak perempuan.
Saat Austin berkeliling Liberty Village dalam kunjungannya, Senin, ia mendengar dari dua wanita yang berharap menjadi dokter di AS. Wajah mereka dipenuhi optimisme.
“Saya ingin sekali menjadi penduduk Amerika,” kata salah satu di antara mereka.
“Kamu akan menjadi warga AS," jawab Austin.
sumber: Reuters