Jakarta (ANTARA) - Liestiaty Fachruddin yang merupakan istri Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif Nurdin Abdullah (NA) menolak diperiksa sebagai saksi untuk suaminya tersebut.
KPK, Senin (24/5) memanggil Liestiaty sebagai saksi untuk tersangka Nurdin dalam penyidikan kasus dugaan suap perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2020-2021.
"Liestiaty (istri NA), tidak hadir dan mengonfirmasi kepada tim penyidik dengan alasan menolak menjadi saksi untuk tersangka NA," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Namun, kata Ali, tim penyidik juga telah mengirimkan surat panggilan kepada Liestiaty sebagai saksi untuk tersangka lainnya kasus tersebut, yaitu Edy Rahmat (ER) selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel atau orang kepercayaan Nurdin.
"KPK mengingatkan kewajiban sebagai saksi untuk kooperatif hadir dijadwal pemanggilan berikutnya," ucap Ali.
Dalam penyidikan kasus itu, KPK pada Senin (24/5) bertempat di Polda Sulsel juga telah memeriksa dua saksi untuk tersangka Nurdin dan kawan-kawan, yakni wiraswasta Haeruddin dan karyawan swasta A Makassau.
"Para saksi didalami pengetahuannya antara lain masih terkait dengan dugaan penerimaan sejumlah uang oleh tersangka NA melalui tersangka ER dari berbagai pihak," ungkap Ali.
Sementara satu saksi lainnya tidak menghadiri panggilan penyidik, yaitu Idawati dari pihak swasta.
"Tidak hadir dan tanpa konfirmasi karenanya KPK mengimbau agar kooperatif memenuhi panggilan tim penyidik selanjutnya," kata Ali.
Untuk diketahui, KPK saat ini masih melakukan penyidikan terhadap dua tersangka penerima suap kasus tersebut, yaitu Nurdin Abdullah (NA) dan Edy Rahmat (ER).
Sementara pemberi suap adalah kontraktor/Direktur PT Agung Perdana Bulukumba Agung Sucipto yang saat ini sudah berstatus terdakwa dan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Makassar.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK disebut peran Agung sebagai pemberi suap kepada Nurdin Abdullah. Bahkan terdakwa sudah dua kali memberikan uang kepada yang bersangkutan sejak awal tahun 2019 hingga awal Februari 2021.
Jumlah dana suap yang diterima, pertama dengan nilai 150 ribu dolar Singapura diberikan di Rumah Jabatan Gubernur Jalan Sungai Tangka awal tahun 2019, sedangkan untuk dana kedua, saat operasi tangkap tangan tim KPK senilai Rp2 miliar pada awal Februari tahun ini.
Dana tersebut diduga sebagai uang pelicin dalam hal pemenangan tender hingga pengerjaan proyek pembangunan infrastruktur di lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel pada beberapa kabupaten setempat.